Ulasan Puisi Taslim Ali: SIMBOLIS MISTIK PUJANGGA BARU DAN PERANG

oleh Yonathan Rahardjo

Mengamati Karya Taslim Ali, kita mulai dari situasi sastra Indonesia saat pertama kali Taslim Ali menyastra, sesuai dengan yang dikatakan ia sendiri dan juga publik. Ia mulai menyair dalam Pujangga Baru pada tahun 1940. Puisi Angklung karya Taslim Ali yang dikenal publik dimuat di Pujangga Baru VIII/1-2 Juli-Agustus 1940, lalu puisinya pada Pujangga baru VIII/ 9 Maret 1941 yang berjudul Kepada Murai dan tentu saja karyanya yang menjadi perbincangan Kepada Angin Raja Kelana menunjukkan ia menguasai kaidah-kaidah sastra tentang suatu anatomi dan sifat sajak yang mengandung anasir lirik, dan berkenaan dengan macam: Dari berbagai-bagai aliran kesusasteraan dan pelbagai lapangan keharuan.

Anatomi puisi Taslim Ali di sini punya pola satu bait terdiri dari empat baris. Penulisannya dimulai dari kondisi subyek yang jadi pokok bahasan. Di tengah bangunan puisi itu adalah penjelasan tentang subyek itu, hal negatif maupun positif dipadukan, dan di akhir bangun puisi terdapat suatu kesimpulan, yang terkadang menyentak, menghimbau, atau bahkan menyentuh perasaan dengan ketermanguan.

Dalam dua puisi itu, semua bait memperhatikan anasir lirik. Coba perhatikan puisi Angklung bait ke enam: Berdentung-dentung bunyinya angklung/ Berdengung-dengung di dalam menung/ Berulang-ulang menyatakan malang/ Bertimpa datang, bertalu menyerang. Puisi tentang pengamen angklung ini menimbulkan keharuan dengan bunyi-bunyian merdu alat musik tradisional yang dipakai hidup mereka tak lebih peminta-minta, yang datang dan pergi. Seperti yang tertulis di akhir puisi: Hilang dengungnya, tinggallah beta/ Di penglihatan sengsara semata-mata/ Cahaya suka meninggalkan mata/ Gelombang duka bergulung di dada.

Juga perhatikan bait ketiga puisi Kepada Murai yang semua baitnya memperhatikan anasir lirik ini: Biarpun kau hitam/ Dan sedikit putih/ Memerangi malam/ Yang mengelilingi// Kecil tubuhmu, tetapi bernyala/ Di dadamu, api sakti pujangga. Suatu keharuan muncul ketika setelah diungkap burung murai yang berbulu hitam bergaris putih menerangi malam, bersuara dengan siulnya merdu, dan gerak-geriknya yang lucu, ternyata dianggap pembawa sial jika kedapatan ia bersiul-siul di malam hari, karena akan ada kematian karenanya, padahal sial peruntungan orang itu sebetulnya di tangan Tuhan, bukan di siulan burung.

Sementara pada puisi Kepada Angin Raja Kelana yang dimuat di Pujangga Baru VIII/9, Maret 1941, Taslim ali ingin menyampaikan tentang suatu nasib, darma, peruntungan bahkan perjuangan angin, yang bebas merdeka dan bisa menentukan nasibnya sendiri. Bangunan puisinya masing-masing bait terdiri dari tiga baris dan pada ujung satu pesan dari beberapa bait, Taslim ali mengakhiri dengan dua baris dalam satu bait. Dibalut dengan simbol-simbol seperti dalam tiga puisi Taslim tadi, lalu dengan gaya penulisan yang romantis itu, tak berlebihan bila Paus sastra ini mengatakan puisi-puisi Taslim Ali beraliran romantik dan cenderung kepada mistik. Soal mistik tampak dari tahyul yang diangkat, burung murai pembawa kematian, angklung yang mengabarkan kesedihan, rincian seluk-beluk yang ditemui dan dihadapi angin bahkan sampai merembet pada soal roh, nyawa.

Puisi Kepada Angin Raja Kelana menjadi begitu terkenal sebagai karya Taslim Ali karena angin yang dimaknakan dalam puisi ini bisa diartikan bukan semata dalam pesan fisik sebagai angin semata, tapi roh, nyawa, jiwa dan nasib bangsa. Bahkan kalau diambil nilai kebebasan memaknai puisi Angklung dan Kepada Murai pun bisa diarahkan ke sana, tentang renungan antara roh, nyawa, jiwa, nasib dan cita-cita bangsa tersebut.

Dalam Gema Tanah Air 27 Mei 1948, HB Jassin menulis, rasa keharuan itu, pada angkatan Pujangga Baru yang menerbitkan majalah yang memuat karya Taslim Ali tersebut, misalnya rasa kebangsaan yang baru timbul melihat segala dengan kaca mata cita-cita dan semuanya dirasakan dengan perasaan berlebih-lebihan. Seiring kedatangan Jepang dan berlakunya masa penjajahan Jepang dan masa perang kemerdekaan, puisi-puisi karya Taslim pun berbicara tentang kondisi ini. Tampak pada puisinya yang berjudul Rentetan Harus yang tertulis dibuat di Yogyakarta 26 Juni 1948 dan dimuat di Mimbar Indonesia, tempat Taslim Ali menunjukkan hasil proses kreatifnya sesudah masa Jepang.

Pada angkatan sesudah perang itu, perasaan keharuan gaya angkatan Pujangga Baru tersebut dikoreksi oleh pengalaman. Perbedaan sikap hidup angkatan sesudah perang dengan yang sebelumnya yaitu bahwa mereka tidak mau terikat kepada konvensi masyarakat dan kesenian dan melakukan segala macam percobaan dengan kehidupan. Di dalam lukisan, angkatan sesudah perang lebih berani dalam yang mengenai apa yang oleh angkatan lama tidak berani dipikirkan dan oleh angkatan Pujangga Baru hanya dipikir diam-diam.

Di dalam gaya bahasa, angkatan sesudah perang menyingkirkan dengan teliti pemakaian superlatif-superlatif yang disukai oleh Pujangga Baru, menjadi suatu tanda ke arah pendewasaan pikiran dan pengalaman. Dengan dasar ilmu sastranya, ditambah pengalaman mengarang di masa Pujangga Baru dan pengalaman hidup di masa penjajahan Jepang, berlanjut perlawanan masa kemerdekaan. Kondisi penderitaan karena perang laksana musim kering, atau bahkan musim kekeringan itu sendiri, pada sajak Taslim ali Di Musim Kering yang dimuat di Mimbar Indonesia Th II No 47, 20 Nopember 1948 masih memperhatikan rima sebagai sajak lirik.

Diramu dengan kepribadiannya yang dikenal teman-temannya sangat unik seperti dituturkan dalam Riwayat Hidup taslim Ali, proses kreatif ini melahirkan puisi-puisi karya Taslim Ali penuh dengan simbol-simbol dan keanehan yang menjadi ciri dunia gaib, mistik. Dalam puisi Aku dan Debu yang diciptakan pada 8 Mei 1948 dan dimuat di Mimbar indonesia Th II No 21, 22 Mei 1948, hal mistik dalam puisi Taslim Ali terasa ketika ia menuliskan tentang tampak tangis darah dan daging, mengeluh jatuh ke debu. Ia tulis, ia adalah penjelajah gelap dan caya. Hal simbolik ia terangkan dalam dalam baris aku debu, seperti tangis darah dan daging/ seperti debu keluh kakiku’ debu takdir, bedil dan mortir. Simbolismenya berlapis.

Maka pengarang beberapa esei LK Bohang menulis suatu renungan Setangkai Kembang Melati, yang menceritakan sejarah Indonesia, bernafaskan cinta tanah air yang meresap gaib, ke corak religius terdapat pada Mahatmanto dan Aoh Kartahadimadja, ke simbolik dan mistik terdapat pada Bakri Siregar dan Taslim Ali. Sementara soal ranah rasa dalam bersajak ini di kemudian hari dilontarkannya saat melontarkan pernyataan penghimpunan pukul rata pembaca Buku Puisi Dunia jilid I pilihannya sanggup merasakan dengan mudah keharuan sanubari penyair-penyair zaman praromantik. Juga sanjak-sanjak yang berdasarkan aliran simbolik tidak akan begitu menimbulkan kesukaran, kecuali barangkali buah pena penyanyi puisi murni Stephane Mallarme dan Paul Valery, penyair simbolik yang terpenting dan penghabisan. Keharuan sanubari yang keluar dari diri penciptanya, termasuk dirinya sendiri, bagi Taslim Ali, bisa dirasakan.

Memang saat itu, 1948, Paus Sastra Indonesia HB Jassin menuliskan masih terlampau besar perkataan-perkataan politis, simbolik, mistik, religius dan sebagainya ini bagi hasil-hasil yang ada, tapi cukup memberi nama benih-benih yang sekarang sudah kelihatan dan banyak memberi harapan. Suatu tanda yang baik adalah kritik diri sendiri dan kawan-kawan sekitar yang timbul dari dasar pengertian dan keyakinan yang menjadi bahan tiap-tiap pekerjaan yang besar. Pekerjaan rumah untuk menilai tentang karya yang simbolik dan mistik seperti yang ditulis Taslim Ali, bisa dibaca pada puisi-puisinya yang lain seperti Menyongsong Fajar, Renville, Awan di Tengah Hari, Ode to The Wing, Bayi Ketawa, Kabut, Di Tepi Senja, Lagu Rawana, Kampung Dibakar Orang, Tiga Hijrah, Rentetan Harus.

Dengan begitu banyaknya puisi dunia yang Taslim Ali terjemahkan, bila sedikit banyak terasa terdapat pengaruh ragam puisi lain bahkan jenis-ragam sajak-sajak yang umumnya digolongkan ke dalam puisi moderen, Taslim Ali berpendapat, “Sudah sama kita saksikan, sanjak-sanjak moderen ramai ragam dalam bentuk, bahkan ada yang sama sekali tidak punya bentuk lazim. Ada yang mirip prosa, karena amat tidak teratur iramanya. Ada yang pakai tanda baca untuk menolong pembaca memahamkan maknanya dan ada pula yang sangat sulit untuk dipahami, sekalipun bertanda baca. Bahkan ada pula yang asosiasinya terlampau jauh dicari atau ia semata-mata merupakan hasil pengalaman penyair sendiri, sehingga lukisan yang timbul tak mungkin dipahamkan orang lain.”

Keadaan itu bisa dijelaskan, bahkan bisa dibahas penukikan aliran-aliran moderen seperti kubisme, futurisme, dadaisme, surealisme dan sebagainya. Keanehan-keanehan yang kelihatan pada sanjak-sanjak moderen ini, menurut Taslim Ali umumnya berpangkal pada Baudelaire, Lautreamont dan Rimbaud dan berdasarkan pada serbacita (kecuali dadaisme) yang menghendaki terutama membuka rintisan ke arah pencarian nilai-nilai baru, mencari suatu kenyataan lebih dalam dan lebih benar daripada kenyataan yang kita hadapi sehari-hari dan kita tukik dengan hanya serba otak.

Pada hakikatnya penyair-penyair moderen itu seperti kata WJ Strachan, menunjukkan suatu sikap terhadap bahasa, menyimpulkan pengakuan bahwa kata-kata itu hidup dan berjiwa, kemajuan dalam puisi seperti juga dalam hal-hal lainnya, harus diperoleh dengan perantaraan eksperimen, dari pelajaran-pelajaran yang dipetik dari percobaan-percobaan dan kesesatan-kesesatan. Kualifikasi moderen sanjak-sanjak tersebut, letaknya- seperti kata TS Eliot- pada suatu persamaan, yang sukar dapat dibulatkan dengan kata, tetapi hanya dapat dirasakan. “Sekalipun demikian,” tegas Taslim Ali, “Tiap-tiap sanjak itu, betapa pun bentuk dan isinya, tegas menunjukkan pribadi si pencipta.” Dalam dalam puisi ini pun Taslim Ali pun sadar betul pentingnya suatu tema. ***

Tidak ada komentar: