PELUNCURAN BUKU NURDIANA

oleh: Djoko Sri Moeljono


Sejam yang lalu aku masih duduk ditengah hadirin di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di TIM, menyimak acara peluncuran buku Nurdiana.

Pulang kantor lebih awal, sampai di TIM sebelum acara dimulai dan sempat menikmati kudapan yang disediakan panitia. Ada singkong rebus, kedelai dan kacang tanah, serta penganan serba singkong : tiwul, gesret, ongol-ongol dsb.

Dalam undangan dari Svet & Uchi via sms disebut bahwa acara dimulai jam 16.30 tetapi baru benar-benar berjalan setelah jam 16.00 lewat dan dimulai dengan pembacaan salah satu puisi yang diterjemahkan kedalam bahasa Jawa, kemudian disusul pembacaan beberapa puisi lainnya. Dan istimewanya, ada beberapa puisi yang bisa dibawakan dengan lagu tertentu dan sore tadi salah satunya dinyanyikan dengan nada lagu Sunda "Pileuleuyan", dinyanyikan oleh beberapa ibu-ibu, diantaranya aku lihat ada ibu Tuti Sumartoyo.

Pengunjung yang hadir sekitar 50 orang termasuk panitia penyelenggara, ruangan dihiasi dengan spandoek bertuliskan judul buku dan nama-nama moderator Yonathan Raharjo yang muda dan bersemangat, pembahas Bonnie Triyana yang sejarawan muda dan banyak menulis tentang G-30-S serta sastrawan Putu Oka Sukanta yang sudah menulis banyak buku (dikalangan kawan kawan dikenal sebagai pak POS, singkatan namanya).

Setelah pembacaan beberapa puisi, acara resmi dimulai dengan penyerahan
buku Jelita Senandung Hidup kepada Koesalah Soebagyo Toer satu eksem
plar dan satu lagi untuk Pusat Dokumen Sastra HB Jassin, yang diterima oleh drs Endo Senggono.

Pembahasan buku dimulai oleh Bonnie Triyana, yang sebagai sejarawan muda dan energik mengulas banyak aspek isi buku dari sudut sejarah.

Kemudian dilanjutkan oleh pak POS yang mengulas dari segi sastra,yang bagiku kurang bisa difahami, maklum aku hanya penikmat buku dan tidak tahu teori sastra atau kritik sastra. POS menyinggung pula 2 tinggi : tinggi ideologi dan tinggi estetika. Pak POS juga menyerahkan kepada para pembaca, apakah tujuan penulis bisa difahami oleh pembaca atau tidak, bisa mencapai sasaran atau tidak. Tetapi paling tidak, sebuah buku pasti punya misi.

Pak POS tidak lupa pula menyinggung bahwa penulis buku adalah seorang yang lahir di Sumatera Barat, karena itu puisi-puisinya sangat kental dan tidak jauh dari "gaya Padang". Sayang sekali penerbit kurang memperhatikan tipografinya yang dibeberapa halaman tampak ketebalan tinta cetaknya tidak sama, dibeberapa halaman jelas terbaca, dihalaman lain ada yang tintanya tipis dan kurang hitam.

Para hadirin terdiri dari beragam generasi : yang muda dan energik, yang setengah baya dan bisa memahami konteks tulisan dan generasi tua pendahulu yang mengalami sendiri betapa tragisnya Peristiwa G-30-S 1965. Acara semakin terasa hangat saat yang hadir mengomentari komentar pembahas, hadirin minta waktu nimbrung bicara.

Kebetulan sekali,sekitar sepuluh hari sebelum peluncuran aku sempat ke toko buku Ultimus di jl. Lengkong Besar 127 Bandung dan sekaligus membeli dua buku kumpulan puisi "Mawar Merah" Chalik Hamid dan "Jelita Senandung Hidup" Nurdiana, yang pertama setebal 158 halaman dan yang kedua 182 hal. Memasuki toko buku Ultimus, dipintu masuk terpampang tulisan menarik : "Jangan beli buku Ultimus kalau anda tidak punya nyali".

Kedua buku nyaris sama isinya, yaitu : kerinduan akan tanah air, rasa terasing tidak bisa pulang, cercaan kepada rezim fasis Soeharto yang memporak-poran dakan kehidupan ribuan bahkan ratusan ribu korban beserta keluarganya.

Puisi-puisi yang mereka tulis merupakan catatan sejarah, sepenggal masa yg paling hitam dalam sejarah bangsa Indonesia, dan tidak ketinggalan ungkapan rasa terima kasih kepada bangsa dan negara asing dimana mereka pernah mendapat perlindungan dan pengayoman.

Mereka adalah warga Indonesia yang tidak pernah lekang cintanya kepada tanah air dan buku yang mereka tulis adalah serpihan-serpihan kehidupan, bukan saja kehidupan pribadi masing-masing tetapi juga kehidupan bangsa.

Semoga tulisan pendek ini bisa menjadi obat rindu bagi penulis buku-buku tsb



Djoko Sri Moeljono


Titip terima kasih untuk Svet dan Uchi yang mengirim sms,
tanpa itu aku tidak tahu ada acara di PDS HB Jassin.

Lelaki Bermata Sungai


Cerpen: Yonathan Rahardjo

Yang mengangkat telepon adalah ayahnya, dengan kaki selutut terendam air di dalam rumah. Berita yang ia dengar membuatnya pilu, ayah dan ibunya yang sedang sakit mengungsi akibat rumah terkena musibah banjir. Mereka ditampung di rumah ibadat terdekat, namun ayahnya kini sendiri di dalam rumah, menyelamatkan barang-barang.

Sore pada hari itu juga, ia menuju kota kelahirannya dengan menumpang kereta api yang harus memutar lewat jalur selatan Pulau Jawa, karena jalur utara putus terendam banjir. Sepanjang perjalanan kereta panjang gabungan Gumarang-Sembrani, ia duduk di lantai kereta, mojok di pintu dekat sambungan gerbong, karena memang ia mendapat karcis tanpa tempat duduk lantaran kebanyakan penumpang.

Saat perjalanan, hujan mendera kereta, air hujan menerobos pintu tempatnya mojok, mengalir membanjiri lantai dan membasahi koran alasnya duduk. Ia pindah dari satu lantai ke lantai lain di dalam kereta.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.