AKU DALAM CERPEN AKU

oleh Yonathan Rahardjo

Siapakah aku sehingga kutuliskan semua begitu mudah ketika aku sudah bisa mengendapkan semua informasi, pengalaman, pemikiran, perasaan, kejadian-kejadian, tanda-tanda, gejala-gejala, segala sesuatu yang ada di sekelilingku dengan begitu penuh penghayatan, perasaan, penjiwaan, pendalaman, penelaahan?

Lalu, kutuang semuanya seperti air bah yang menderu, menggempur, mewabah, memporakporandakan setiap hati yang punya mata, mata yang punya pikiran, pikiran yang punya perasaan, pengertian yang mengerti kata-kata yang kususun dalam frasa dan kalimat, kalimat dan alinea, alinea dan struktur bangun utuh cerita-cerita?
Termasuk, cerita-cerita yang disebut cerita pendek hanya karena begitu singkat dan tidak begitu rinci mengungkapkan semua kisah dan harapan dan cinta dan kepedihan dan kegalauan dan kemurungan dan hamparan-hamparan dan kesempitan-kesempitan dan sebaliknya.

Demikianlah, ‘Aku’, menjadi semakin menjiwai segala sesuatu yang menggumpal di dalam kehendak untuk diwujudkan dalam suatu tindakan, membutuhkan ‘Hening Cipta’ untuk kemudian mencipta kehendaknya. Dan ada waktunya bagi pencipta karya itu untuk mengevaluasi, mengatakan baik tidaknya karya ciptaannya. Ada proses pengendapan, kristalisasi, lalu katarsis untuk mencipta.

Proses pengendapan, hening cipta, menjadi suatu hal yang sangat penting dalam proses penciptaan, menyatukan faktor ekstrinsik dengan faktor intrinsik untuk menghasilkan sesuatu. Proses penciptaan karya sastra pun kita tahu pasti bagaimana seorang penulis memulai dan berhasil mencipta dengan menangkap tanda-tanda luar maupun proses dan tanda di dalam dirinya sendiri.

Ketika semua masukan dan asupan ini menyatu dalam diri sendiri terwujud dalam suatu ‘Aku’ maka akan begitu mudah mengalirlah ciptaan demi ciptaan yang tercipta dari diri pengarang. Hal ini menjadi salah satu cara untuk menangkap gejala yang ditampilkan oleh banyak pengarang dalam berbagai karya cerita dengan penceritaan dari sudut pandang orang pertama (Aku).

Ambillah contoh cerita-cerita A Badri AQT dalam 9 (sembilan) cerpennya yang tergabung dalam Kumpulan Sejumlah Cerita pendek ‘Buntelan’ yang ditampilkan dalam acara Lampion Sastra Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki Jakarta belum lama ini. Dengan menempatkan posisi tokoh utama cerita sebagai aku, dengan mudah para penulis termasuk Badri bercerita menjalin rangkaian, dengan melibatkan pula tokoh-tokoh pembantu cerita.

Untuk menghidupkan cerita? Ya, sebab permasalahannya mungkin terdapat ketidakhidupan tokoh-tokoh pembantu dalam cerita. Mungkin terlalu leluasanya aku menjadi pusat penceritaan dan masalah. Mungkin beberapa kata yang tidak tepat penggunaannya. Semua mengelilingi ‘aku’ berkiprah menjadi tokoh yang betul-betul menguasai penceritaan.

Bisa banyak masalah dalam cerpen-cerpen berbagai penulis dengan gaya penuturan aku. Dengan berbagai latar belakang penulisnya, penulisan cerita mereka tentu menunjukkan pengendapan dan keheningan batin dan pengalamannya yang dia sendiri yang tahu seluk-beluk hidupnya. Ditambah ketrampilan berbahasa, semua sangat mendukung untuk penulisan cerita agar tergarap dengan bahasa prosa yang lancar, bahkan kadang puitis.
Mengerucut pada ‘aku’ yang tercipta pada cerita-cerita si penulis, sepantasnya bagaimana mengetahui, memahami, menghayati aku dalam lingkaran terdekat. Aku yang punya pribadi, aku yang punya jati diri, aku yang mengatasi masalah-masalahku, aku yang punya warna, aku yang tahu siapa aku, aku yang tahu visi, misi dan aksiku, aku yang ada karena alasan-alasan tertentu.

Selanjutnya begitu banyak teori tentang aku. Ada yang mengikuti teori: aku berpikir maka aku ada (HomoSapiens, manusia berpikir), aku menjilat maka aku ada (Agus Suwage), aku adalah gambar dan peta Allah (keyakinan Kristiani), aku ada karena memangsa (HomoHomini Lupus), aku adalah kesatuan tubuh,jiwa dan roh (Alkitab, dipakai John Steinbeck), aku dibilang gila oleh orang (Stefani Hidayat, Novel Mereka Bilang Aku Gila), Aku adalah Aku (Allah dalam Alkitab), aku keturunan monyet (Charles Darwin), aku anak sehat (Kampanye Asi, Makanan Bergizi dan Imunisasi), aku ini binatang jalang (Chairil Anwar), dan aku-aku yang lain.

Celakanya, oleh karena banyak teori tentang aku itu, yang memang akunya begitu atau yang mengaku-aku, terkadang penulis sampai lupa membedakan aku dengan ‘saya’, lebih mengutamakan keakuannya daripada ‘kesayaannya’ dalam budaya berkomunikasi anak Indonesia saat ini.

Di Indonesia Aku pun pernah bermasalah dalam bingkai budaya nasional. Pada tahun 1960-an, Lekra mengutamakan dalam pengkaryaan segala sesuatu untuk kepentingan sosial komunal untuk kepentingan kemahslatan rakyat sehingga tokoh-tokoh aku dalam cerita-cerita karangan sastrawan Lekra hanya jadi sekrup politik atau komunal.
Pada waktu yang sama, Manifestasi Kebudayaan lebih mengutamakan kebebasan berkreasi secara universal, kemanusiaan universal tanpa harus dalam bingkai karya yang bertujuan untuk revolusioner kerakyatan seperti Lekra.

Pada dasarnya aku dalam karya-karya siapapun kini punya genetik sendiri-sendiri. Tak perlu mengikut dua kubu ekstrim yang pernah menjadi prahara budayanya Taufiq_Ismail yang juga menulis Buku Kumpulan Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia dan DS Moelyanto seperti itu. Karena, terlalu sempit untuk mendefinisikan aku kiri atau kanan, apalagi bagi generasi yang tidak tahu-menahu dan terlibat langsung dalam pertentangan keakuan dua kubu dalam sejarah budaya ini.

Kebanyakan penulis masa kini, termasuk Badri, sama sekali tidak ada aku yang berpolitik dalam cerita-ceritanya. Aku dalam cerita mereka adalah aku manusia biasa, manusia sederhana, manusia sehari-hari, manusia yang menghadapi permasalahan-permasalahan bingkai kecil, bahkan bingkai personal.

Meski, kadang nyerempet-nyerempet pada bingkai politik besar seperti pada cerita Mesin Photo Kopi (karya Badri) yang secara tersirat melawan Politik Korupsi yang ‘mengkamuflasekan’ Rezim Orde Baru dengan bentukan pemerintahan baru.

Ada sikap-sikap aku yang muncul dalam cerita-cerita yang mungkin secara tidak disadari mempunyai garis linier dalam menghadapi permasalahan-permasalahannya. Lebih bersifat pasrah secara tindakan terhadap suatu masukan ke dalam dirinya, masukan dari dalam diri maupun dari luar diri. Meski, secara pergulatan batin menunjukkan perlawanan-perlawanan, protes, kegelisahan, kemurungan, pemberontakan. Namun, ketika diwujudkan dalam suatu endapan sikap, tidak menunjukkan suatu upaya untuk mengatasi masalah dari kacamata pemenang.

Dalam kumpulan cerita pendek Buntelan, kecuali Cerpen Photo Kopi yang terasa sukar untuk membahas aku yang tukang photo kopi tentang sikap yang ditunjukkan untuk menghadapi surealistik munculnya begitu banyak fotokopian para koruptor karena cerita memang sengaja dipuncakkan pada kejutan yang menyentak, cerpen-cerpen Badri yang lain patut disorot tentang ketidakberdayaan para aku menyikapi masalah satu arah.

Rata-rata masalah yang menyudutkan hanya satu, tidak tampak masalah lain, namun cara menyikapinya pun terasa satu cara: larut dan menuruti tuntutan satu masalah itu.
Apakah karena keterbatasan halaman untuk sebuah cerpen? Apakah karena sengaja difokuskan untuk memperdalam imajinasi permasalahan semacam itu? Apakah sengaja dibuat menggantungnya dan terpanggangnya hati dan rasa yang resah, untuk menikmati masalah yang menjadi begitu mendayu-dayu laksana pementasan teater yang menohok-nohok hati tanpa suatu solusi?

Apakah dibiarkannya kata-kata mengguncang-guncangkan konsep seperti dikenal pada konsep sastra yang sengaja tidak memberi solusi positif terhadap suatu permasalahan, agar setiap masalah dibuka selebar-lebarnya segala kemungkinannya, sedang pengambilan solusi adalah soal di luar sastra sendiri?

Kalau jawabannya ya untuk suatu tujuan sastra yang multitafsir tentang suatu konsep atau norma, tentang sikap aku yang melayang-layang dalam gelisah, alangkah baiknya bila: berbagai alternatif cara pandang dan jalan keluar yang hendak ditempuh.
Memang sikap pasif, protes ke dalam, pasrah ke dalam, bahkan bunuh diri tanpa perlawanan ke luar adalah juga sikap perlawanan bahkan yang paling tinggi tingkatannya dalam suatu perlawanan terhadap suatu tekanan atau ‘ketidakadilan’. Seperti, yang ditunjukkan dalam novel ‘Jamangilak Tak Pernah Menangis’-nya Martin Aleida, atau kumpulan cerpen ‘Tangis Meutia’-nya KI Thamrin, atau novel ‘Gadis dari Banda’ Hana Rambe.

Namun bukankah perlawanan yang begitu ke dalam ini hanya layak disebut perlawanan tertinggi karena tidak perlawanan keluar tidak kuasa menghadapi beban dan tekanan yang begitu tinggi dan setelah perlawanan ke luar mengalami kegagalan?
Kalau aku dalam cerita-cerita ‘aku’ selalu kalah dalam menghadapi persoalan, pantaskah aku menyebut diriku ‘aku’? Bukankah kalau dari asal dan artinya aku lebih menunjukkan kepada kedirian, keyakinan diri tentang siapa orang pertama, kebanggaan terhadap pribadi sendiri.

Sehingga, untuk menyebut diri aku hanya pantas diberikan kepada diri sendiri di hadapan orang yang sederajat, lebih muda, lebih ‘rendah’, dan tidak berani atau tidak pantas menyebut diri aku di depan orang yang lebih tua, lebih berkedudukan atau di depan Presiden? Sehingga sebagai ganti kata aku diganti dengan kata ‘saya’ yang berasal dari kata ‘sahaya’ yang berarti hamba untuk suatu kerendahan hati dan atau kerendahan diri?

Ataukah aku di sini sudah menjadi kata akrab dan mendiri? Barangkali memang ini masalahnya. Dan masalah yang lebih besar dalam suatu karya sastra adalah: menciptakan aku yang tidak sekedar memotret keakuan yang apa adanya seperti karya jurnalistik, ada kebanyakan orang kalah dalam menghadapi ‘masalahku’ maka dituliskan ‘aku’ dalam cerita juga mudah kalah.

Aku dalam sastra adalah aku yang multi dimensi cara dalam menghadapi permasalahan. Atau sebaliknya, permasalahannya yang begitu multidimensi. Dan dengan penjiwaan dan pengendapan aku yang demikian kompleks, pasti akan ada warna aku yang lain.
Sedang sejauh ini dengan aku dalam cerita-cerita penulis yang berhasil, mereka telah dengan apik memotret aku dan aku dan aku dalam bingkai tertentu. Masalahnya, puaskah dalam hidup dengan aku aliran tertentu ini? *

Tidak ada komentar: