BACALAH! AMIN.

Bahasan Kumpulan Puisi Amin Setiamin `Waduk Itu Luka'

Oleh: Yonathan Rahardjo*
- Dimuat di Jurnal Meja Budaya
- Disampaikan pada Diskusi Sastra Meja Budaya di PDSHB Jassin Taman Ismail Marzuki Jakarta, 2 April 2004

Menikmati karya-karya Amin Setiamin dalam buku kumpulan sajaknya Waduk Luka, atau siapapun dalam karya apapun, awalnya sebaiknya tidak dipengaruhi tentang berbagai komentar yang dilontarkan banyak pengamat dan bahkan penulisnya sendiri tentang seluk-beluk latar belakang situasi dan kondisi penyairnya sendiri, baik secara lisan, di berbagai media lain, bahkan di pengantar buku ini sendiri.

Tidak sehat menjadi kuda bebal yang menarik pedati puisi yang sudah sarat muatan karena sudah mengenal siapa penulisnya, bagaimana seluk-beluk kehidupannya dalam hal perpuisian maupun dalam keseharian dan berdasar riwayatnya sedari kecil, bagaimana hebatnya puisi-puisi ini pernah diusung dari satu tempat ke tempat lain dan dihadirkan dalam suatu pertunjukan yang berlatarbelakang suatu tragedi politik dalam perjalanan hidup bangsa ini.

Tidak. Puisi haruslah mandiri sebagai suatu teks. Apalagi tema pembahasan pada acara sore ini adalah tentang bukunya sendiri Waduk Luka, bukan tentang penyairnya dan tetek bengek sebagainya. Kalaupun semua di luar teks itu sah untuk sebuah bahasan, itu ada waktunya sendiri, paling tidak di akhir pembahasan tentang teks-teks Amin sendiri.

Paling nikmat dan mandiri adalah: mari mandi di sungai puisi waduk luka sendiri.

Membaca puisi-puisi Amin sesuai daftar isi buku urut dari halaman depan sampai belakang, sangat berbeda rasanya dengan membaca urut menurut tahun pembuatannya. Perbedaan ini terutama dari segi tema. Kata lainnya membaca dengan dua metode berbeda ini akan memberikan efek pembacaan yang berbeda. Pastilah ada alasan tersendiri bagi Amin mengurutkan judul puisi sesuai daftar isi buku, perlu kita tanyakan pada penyair ini.

Kali ini metode kita membaca berdasar urutan tahun pembuatan. Di situ kita menjumpai kesamaan tema pada tahun pembuatan yang sama. Juga ketahuan proses kegelisahan penyairnya dari waktu-waktu. Bukankah merupakan suatu rentang yang panjang, antara tahun pembuatan 1991 dengan 1999, satu windu sendiri. Tiga puisi tanpa tahun pembuatan, dua puisi saya beri tanda tanya tapi setelah saya tambahi tahun pembuatannya 1998, berdasar perkiraan merujuk tema yang senafas dengan tema puisi tahun-tahun itu. Satu puisi saya tambahi tahun pembuatannya 1992 plus tanda tanya berdasar perkiraan membandingkan dengan tema yang senada dari puisi tahun itu. Tentu saja dengan memperhatikan tempat pembuatannya.

Alasan metode pembahasan semacam ini jelas, lahirnya suatu puisi tidak lepas dari pengalaman batin penulisnya yang berbeda menurut pengalaman dan masa yang berbeda. Paling jelas setelah pembaca tahu apa yang dialami penyairnya juga situasi sekitarnya, pada tahun-tahun itu, yang biasanya disertakan dalam pembahasan puisi yang melibatkan histori penyairnya.

Dalam tabel ini kita masih coba memetakan. Lepaskan dulu kualitasnya.


No
Judul
Hlm
Tempat Dibuat
Thn
Tema
Teknis Penulisan

15
Ibu
19
Solo
1991
Kasih ibu kepada anak sepanjang jalan
Rima akhir

16
Wal Hasil
20
Solo
1991
Kembalinya sukma ke pencipta
Membariskan penggalan kalimat, rima

29
Tindakan
39
Solo
1991
Rakyat mesti melawan penindasan dan menang
Membariskan penggalan kalimat

34
Api Kehidupan
45
Solo
1991
Tentang berkurangnya umur manusia
Membariskan penggalan kalimat

35
Jauh Membekas Keesokan Hari Pedih
46
Solo
1991
Kehidupan masih ada harapan
Membariskan penggalan kalimat dan kata penekan

36
Jiwa
47
Solo
1991
Jiwa itu seperti api
Membariskan kata dan penggalan kalimat

38
Pelacur di Tengah Jalan
49
Solo
1991
Pelacur yang penuh derita, dikalahkan iblis, dan mesti bertobat
Membariskan penggalan kalimat

39
Dunia Penuh Hura
51
Solo
1991
Asal senang, manusia tak peduli semua binasa
Membariskan penggalan kalimat

40
Sajak Kerinduan
52
Solo
1991
Hidup kosong, ada rindu entah pada siapa Membariskan penggalan
kalimat, pengulangan kata sama di awal baris

41
Sajak Berduri
53
Solo
1991
Patah hati tak mematikan kehidupan
Membariskan penggalan kalimat, pengulangan kata yg sama di awal alinea

42
Mata
55
Solo
1991
Jiwa galau, resah, sunyi, sendiri dan kegagalan Cinta
Membariskan penggalan kalimat, deskripsi

43
Kupanggil Aisya
57
Solo
1991
Cinta pada seseorang yang tlah lama dinanti
Membariskan penggalan kalimat

46
Malam Menanti Malam
62
Solo
1991
Apapun terjadi di alam, tapi yang ada hanya malam
Membariskan penggalan kalimat, narasi

47
Kisah Semalam Suntuk
63
Solo
1991
Perjuangan hidup menghadapi kesudahan
Membariskan penggalan kalimat, narasi

22
Dari Zaman ke Zaman
30
Solo
1992
Manusia edan di segala jaman
Pengulangan narasi serupa, pengulangan kata yang sama

32
Saat Mata Berkata
43
Jakarta
1992?
Indahnya lamunan
Membariskan penggalan kalimat, irama, rima awal dan akhir, sama kata

37
Birunya Sebuah Keinginan
48
Jakarta
1992
Keinginan yang dikabulkan ilahi
Membariskan penggalan kalimat

11
Di Alam
15
Jakarta
1993
Keserakahan manusia merusak alam
Membariskan penggalan kalimat

13
Retrospeksi
17
Jakarta
1993
Memaknai alam dan umur tua
Membariskan penggalan kalimat, irama sama, rima awal, rima akhir

14
Introspeksi
18
Jakarta
1993
Untuk apa semua ada?
Rima, pengulangan kata yang sama

31
Sajak Buah Hati I
42
Jakarta
1993
Penyebab sia-sianya suatu kasih
Membariskan penggalan kalimat, persamaan kata, metafora

33
Menanti
44
Jakarta
1993
Alam dicipta untuk manusia
Membariskan penggalan kalimat

1
Berkabung
2
Jakarta
1996
Misteri kematian yang menakutkan
Membariskan penggalan kalimat, deskripsi mengalir, metafora

2
Adzanku Hari Ini
3
Saidi Guru
1996
Kehidupan roh orang beriman
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

3
Hatimu Menyelimutiku
5
Saidi Guru
1996
Seorang menyertai perjalanan rohani
Membariskan penggalan kalimat

4
Interaksi
6
Saidi Guru
1996
Upaya dan hubungan dengan sosok teladan tuk capai kehidupan mulia
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

5
Seorang Ustad
8
Saidi Guru
1996
Pengorbanan diri tuk jadi manusia mulia
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

6
Merenungi Kesempatan Sempurna
10
Jakarta
1996
Kegagalan tuk perbaiki kesalahan diri
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

7
Lukisan Nabi Muhammad I
11
Saidi Guru
1996
Tentang tokoh yang dihebatkan
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

8
Lukisan Nabi Muhammad II
12
Saidi Guru
1996
Tentang seorang tokoh pujaan
Membariskan penggalan kalimat, Irama

9
Setan Membawa Rintangan
13
Saidi Guru
1996
Kesiapan mempertanggungjawabkan eksistensi
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

10
Aku Tak Peduli Padamu
14
Saidi Guru
1996
Pasrah pada kenyataan yang saling membinasakan
Membariskan penggalan kalimat, irama

12
Wujud Kita di Tengah Jalan
16
Jakarta
1996
Hidup ini berwarna-warni
Membariskan penggalan kalimat

17
Waduk Luka I
21
Jakarta
1996
Penderitaan akibat pembangunan waduk tak peduli masyarakat
Membariskan penggalan kalimat, rima

18
Waduk Luka II
22
Jakarta
1996
Korban-korban pembangunan waduk
Membariskan kata, penggalan kalimat, narasi

19
Waduk Luka III
24
Jakarta
1996
Pembangunan waduk makan korban
Membariskan penggalan kalimat

23
Seorang Hamba
31
Jakarta
1996
Penderitaan warga pembangunan waduk tak diperhatikan pengusaha
Bariskan penggalan klmt, 1 al 1 klm panjang, sama anak klm awal,
Deskripsi

45
Malam Cinta
60
Jakarta
1996
Kenduri Cinta
Membariskan penggalan kalimat, sedikit
Rima, derat nama

20
Pemerintahan Orde Baru I
26
Jakarta
1998
Seruan kepada pemerintah supaya jaga tindakan
Membariskan penggalan kalimat, kesamaan nilai

21
Pemerintahan Orde Baru II
28
Jakarta
1998
Derita rakyat di mata pejabat dan rakyat
Membariskan penggalan kalimat

24
Diponegoro Aman
33
Jakarta
1998
Turut dalam kerumunan massa di tempat-tempat utama Reformasi
Membariskan kata dan penggalan Kalimat, narasi kisah

26
Pengkhianat
35
Jakarta
1998
Kemarahan pada pengobral janji tak ditepati
Bariskan penggalan klm, sama kata di awal klm sbg rima, jajar kt brnilai sama

28
Pahlawan-Pahlawan Kesiangan
38
Jakarta
1998?
Kekecewaan terhadap reformasi yang banyak cacat efek samping
Membariskan penggalan kalimat, deskripsi, kt awal alinea sama

30
Perjuangan dan Pengorbanan Para Mahasiswa
40 -
1998?
Penindasan yang dirasakan oleh mahasiswa
Membariskan penggalan kalimat, deskripsi rasa dan tindakan

44
Pernyataan Singkat Cinta Pahlawan Reformasi kepada Pacarnya
58
Jakarta
1998
Janji Ketemu Pahlawan Reformasi di Alam Baka
Membariskan penggalan kalimat, pengucapan narasi kepada orang kedua

25
Selamat Jalan Pahlawan Reformasi
34
Jakarta
1999
Janji ketemu pahlawan reformasi di alam baka
Bariskan penggalan klm, sama kata di awal klm, tgh klm, ucap kpd org ke2

27
Ke Arok Bobrok
36
Jakarta
1999
Keburukan-keburukan Rezim Orde Baru
Membariskan penggalan kalimat Rima



Tema Puisi Amin

Terasa bukan, tema-tema yang serumpun pada puisi-puisi Amin yang dibuat tahun 1991. Tema-tema Kasih ibu kepada anak sepanjang jalan; Kembalinya sukma ke pencipta; Tentang berkurangnya umur manusia; Kehidupan masih ada harapan; Jiwa itu seperti api; Pelacur yang penuh derita, dikalahkan iblis, dan mesti bertobat; Asal senang, manusia tak peduli semua binasa; Hidup kosong, ada rindu entah pada siapa; Patah hati tak mematikan kehidupan; Jiwa galau, resah, sunyi, sendiri dan kegagalan Cinta; Cinta pada seseorang yang tlah lama dinanti; Apapun terjadi di alam, tapi yang ada hanya malam; Perjuangan hidup menghadapi kesudahan.

Tema-tema puisi ini mencerminkan apa yang dirasa penyairnya terhadap kehidupannya yang masih penuh tanda tanya, masih mencari diri, kerinduan pada orang-orang yang dicintainya, mencari makna hidupnya, baik dengan mersakan nilai-nilai maupun mengamati alam. Yang mengejutkan di tahun ini ada satu tema yang aneh dalam rumpun senada itu, yaitu tema Rakyat mesti melawan penindasan dan menang dalam puisi berjudul Tindakan. Perlu ditanyakan pada penulisannya apakah sudah benar pencatuman tahun pembuatan ini.

Pada 1992 masih di Solo, tepatnya Jagalan Solo, tema yang diangkat masih senada dengan rumpun tema itu, yaitu Manusia edan di segala jaman.

Ada pergerakan kegelisahan penyair pada tahun selanjutnya, di tempat yang berbeda. Pada 1992 tapi di Jakarta, tema yang diangkat soal: Keinginan yang dikabulkan ilahi, Indahnya lamunan.Terasa sebagai semacam kelanjutan dari perenungan-perenungan yang masih mencari-cari di masa sebelumnya.

Tema selanjutnya makin kritis, memainkan unsur-unsur sebab akibat. Lihat pada tema-tema puisi pada 1993 yang dibuat di Jakarta ini, tema soal: Keserakahan manusia merusak alam; Memaknai alam dan umur tua; Untuk apa semua ada?; Penyebab sia-sianya suatu kasih; Alam dicipta untuk manusia.

Pada 1996 tema puisi yang diangkat hampir semuanya tentang kegidupan religi, keagamaan, spiritualitas: Misteri kematian yang menakutkan; Kehidupan roh orang beriman; Seorang menyertai perjalanan rohani; Upaya dan hubungan dengan sosok teladan tuk capai kehidupan mulia; Pengorbanan diri tuk jadi manusia mulia; Kegagalan tuk perbaiki kesalahan diri; Tentang tokoh agama yang dihebatkan; Tentang seorang tokoh agama pujaan; Kesiapan mempertanggungjawabkan eksistensi hidup; Pasrah pada kenyataan yang saling membinasakan; Hidup ini berwarna-warni.

Pembuatan puisi-puisi religi itu rata-rata tertulis di Saidi Guru Blok A, dan ada yang cuma tertulis Jakarta. Tentang Saidi Guru itu rasanya seperti suatu pesantren, tepatnya bisa ditanyakan pada penyairnya.

Pada tahun yang sama, 1996, juga diangkat tema: Penderitaan akibat pembangunan waduk tak peduli masyarakat; Korban-korban pembangunan waduk; Pembangunan waduk makan korban; Penderitaan warga pembangunan waduk tanpa diperhatikan pengusaha. Sudah jelas arah tulisan ini dibuat, terkait dengan suatu peristiwa sosial pembangunan waduk yang terangkat sebagai peristiwa memilukan nasional.

Ada lagi tema pada 1996 ini: Kenduri Cinta. Bisa ditebak pengalaman penulisnya dalam suatu acara sastra agamawi.

Pada 1998 dibuat di Jakarta, sangat jelas tema puisi yang diangkat seputar gerakan reformasi: Seruan kepada pemerintah supaya jaga tindakan; Derita rakyat di mata pejabat dan rakyat; Turut dalam kerumunan massa Di tempat-tempat utama Reformasi; Kemarahan pada pengobral janji tak ditepati; Janji Ketemu Pahlawan Reformasi di Alam Baka, Kekecewaan terhadap refeormasi yang banyak cacat efek samping, Penindasan yang dirasakan oleh mahasiswa.

Pada 1999 dibuat di Jakarta, tema puisi yang diangkat masih sekitar reformasi, yaitu: Janji ketemu pahlawan reformasi di alam baka; Keburukan-keburukan Rezim Orde Baru.

Sungguh, mencoba menikmati dan memahami puisi-puisi karya Amin, temanya terasa sangat dekat antara satu tema dengan tema yang lain terasa masih dalam satu rumpun makna. Baik itu memaknai ketuhanan, kondisi politik, sosial, cinta dankesendirian, masing-asing mendekati suatu makna keseimbangan. Tampaknya penyair yang satu ini, kegelisahannya sama dengan penyair-penyair pada umumnya, mempertanyakan suatu ketidakadilan, ketidakbenaran, ketimpangan, kerusakan, kok bisa semua menjadi seperti itu. Lalu ia ingin ada suatu penempatan yang semestinya tentang masalah itu.

Memang sebagai penyair, mesti ada suatu perenungan yang dibuat dalam menangkap suatu kesan dari suatu peristiwa. Sehingga setidaknya saat puisinya selesai ditulis ia menawarkan sesuatu setelah dengan pasti ia bisa menempatkan masalahnya adalah begini atau begitu. Tawaran yang diberikan bisa suatu sikap yang disodorkan, atau sekedar menggoncang-goncang rasa agar lebih bertanya, bertanya dan bertanya, sebagaimana lazimnya karya sastra memang bekerja di area ini, mempertanyakan suatu esensi yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Jangan dibilang kalau sudah begini penyair tidak menawarkan sesuatu yang baru, tapi justru yang demikian ini penyair memainkan perannya untuk suatu penggelitik pikiran dan rasa.

Cuma perbedaannya, apakah seorang penyair sudah mencoba untuk menawarkan suatu pergulatan pemikiran level satu persoalan sederhana, ataukah persoalan bertingkat, itu yang mesti direnungi. Karena pada dasarnya permasalahan dalam hidup ini bukanlah tidak bersayap. Satu masalah terkait dengan masalah lain, dan tidak ada masalah tunggal. Semua lebih kepada efek domino, bahkan dalam suatu penilaian hitam putihnya persoalan, menilai suatu masalah atau nilai atau pribadi sebagai hitam dan yang lain sebagai putih rasanya kurang memberikan suatu penelahaan yang kaya.

Bukankah ada warna lain, abu-abu, yang rata-rata nilai-nilai hidup yang dipegang manusia itu juga berwarna ini? Belum lagi bila nilai yang ditawarkan merupakan warna-warna yang lain, merah, biru, kuning sebagai warna dasar, lalu ada warna hasil pencampuran baik itu jingga, hijau, ungu dan lain-lain.


Teknis Penulisan Puisi Amin

Sebagaimana umunya bahasa puisi, puisi-puisi Amin rata-rata bahkan hampir semuanya merupakan penggalin kalimat yang dibaris-baris, menjadi satu rangkaian dalam satu aliea bahkan satu bangunan utuh puisi. Yang terasa mengganggu adalah kebanyakan memakai awal baris denganhuruf besar. Padahal mungkin masuk ke baris berikutnya sudah merupakan kalimat baru. Hanya sedikit yang memakai tanda baca akhir berupa titik, tanda tanya atau tanda seru untuk masuk kalimat baru, seperti pada puisi `Seorang Hamba' (hal 31). Atau berganti kalimat baru dengan memulai dengan huruf besar lagi, setelah pada baris-baris sebelumnya diawali huruf kecil kecuali pada awal kalimat dengan huruf besar, meski tanpa tanda baca di akhir kalimat. Contohnya, puisi berjudul Perjuangan dan Pengorbanan Para Mahasiswa (hal 40).

Tapi puisi memang bukan prosa, justru teknik yang tidak memakai alur kalimat dengan tanda baca akhir seperti pada hampir semua puisi Amin menjadi kekuatannya dalam memisah-misahkan anak kalimat dengan anak kalimat lain meski sebetulnya masih satu rangkaian kalimat. Puisi memang memberi kebebasan makna dari kata, frase, anak kalimat, maupun kalimat sendiri. Sehingga berbeda dengan prosa yang mengalir sebagai satu rangkaian kalimat bercerita, berpapar, bereksposisi, maupun melukiskan suasana.

Dengan gaya membariskan penggalan kalimat semacam itu, Amin mencoba untuk membidik rasa pembaca namun terasa ada hambatan pemaknaan yang langsung berkesan karena pemilihan kata-katanya kurang mengalir seperti air yang terus mengalir ke setiap daratan rendah yang dijejakinya. Pemilihan kata yang cukup mengalir tampak pada puisi Berkabung (hal 2).

Dengan hampir semua puisinya sebetulnya masih merupakan suatu kalimat yang bersambungan dan membentuk suatu jalinan narasi, meski diupayakan memisah-misahkan anak-anak kalimat yang ada, jelas bahwasanya puisi Amin bila ditulis tanpa teknik pengetikan semacam itu tapi bila disambung jadi rangkaian kalimat, membuat kita bisa menggolongkan puisi Amin Setiamin masih dalam bingkai kalimat. Bukan kata yang hidup sendiri seperti yang diciptakan Sutardji Calzoum Bachri, atau kata yang hidup dalam suatu ruang seperti yang dibuat Afrizal Malna. Jadi soal rangkaian puisi Amin ini, gaya-gayanya masih seperti kebanyakan penyair lain yang tidak jauh-jauh dari genre besar yang dikenal, genre kalimat.

Yang membedakan masing-masing penyair tentu wawasan estetikanya, baik rima, metafora, irama, tipologi, maupun bunyi, yang terefleksi dari pemilihan kata dalam puisi-puisinya. Soal tipologi, sudah diurai di atas, Amin tidak bertingkah macam-macam, bahkan cenderung lurus-lurus saja. Rima, pengulangan bunyi yang berselang baik di dalam baris sajak maupun pada akhir sajak yang berdekatan, Amin menunjukkan dalam karya-karyanya, namun terasa sangat minim dari karyanya yang begitu banyak.

Soal metafora pun begitu, sangat jarang Amin menggunakan metafora, meski itu pun dilakukan. Metafora puisi Amin, saya anggap metafora karena bisa jadi maksud penyairnya bukan metafora, yang saya sukai tampak pada puisi hal 42 berikut:

SAJAK BUAH HATI I

Ada tamu datang
Membawa buah-buahan
Berdiri di depan cermin
Berdebu kotor
Dengan wajah heran
Api menyala dari belakang
Lari ketakutan
Buah tertinggal
Terbakar hangus

Ada durian, ada mangga
Ada pepaya, ada pisang
Ada salak, ada rambutan
Ada apel,...

Jakarta, 1993

Yang saya anggap sebagai metafora di atas sederhana, tapi ada suatu rasa. Juga mengalir, ada suatu kejenakaan, dan mudah ditangkap kesannya, karena mudah dijumpai sehari-hari. Ini suatu kelebihan, tapi bisa juga dianggap sebagai suatu tantangan. Sebab, di sisi lain penulis merasakan bahwa puisi-puisi Amin kebanyakan memakai bahasa-bahasa atau pengungkapan-pengungkapan yang sederhana, bahkan cenderung polos, tembak langsung. Kalaupun ada yang memakai metafora dalam pengungkapannya, metaforanya tergolong metafora satu lapis, tidak bersayap yang kadang-kadang diperlukan untuk menusuk suatu rasa dari kesan yang ingin ditumpahkan pada pembacanya. Tapi ada juga metafora Amin yang sulit dimengerti, karena kurang didukung uraian-uraian yang lain dalam satu bangun puisi. Contohnya dalam puisi halaman 14:

AKU TAK PEDULI PADAMU

Aku tak peduli padamu,
Pada matamu
Akan menundukkan kehidupan binatang
Akan kau hisap
Kau jadikan macan tutul untuk tunduk, jinak
Menahan cahaya matahari
Mencoba menerangi malam
Pada kehidupan tidak mengenal
ketelanjangan diri

Saidi Guru, Blok A, 1996

Kalaupun tepat yang saya tunjuk sebagai metafora pada beberapa kata mata, macan tutul, cahaya matahari, malam, saya merasa kesulitan memaknai bangunan puisi ini. Saya coba memberi tema itu sebagai suatu kondisi `Pasrah pada kenyataan yang saling membinasakan'.

Di sisi lain, dengan teknik membariskan penggalan kalimat, Amin mungkin tanpa terasa juga masuk pada suatu irama, alunan yang tercipta oleh kalimat yang berimbang, selingan bangun kalimat dan panjang pendek serta kemerduan bunyi yang biasanya berlaku dalam prosa. Sedang dalam puisi tinggi rendah nada ini hanya bisa dirasakan saat dibaca. Maka mungkin puisi ini akan terasa bila dibacakan dengan permainan nada ini.

Barangkali soal irama ini, saya berpikiran pada kebanyakan penyair saat menulis puisi-puisinya kurang begitu mempedulikan soal irama ini. Kebanyakan masih bergulat pada soal alur penyampaian, rima, permaknaan, tipologi, dan sesekali metafora. Dan, menjadi peduli setelah puisi dibacakan terutama pada panggung pertunjukan pembacaan puisi.

Selebihnya kembali kepada pilihan kata, kosa kata yang beragam akan membuat penyair tidak pernah kehabisan akal untuk menuliskan kesan-kesan yang tertangkap oleh inderanya. Dipadukan dengan pengalaman batin, kata-kata akan mengalir menjadi suatu kesatuan dan kekuatan yang mengkristal dan bisa meledakkan bom rasa.

Selanjutnya kalau pengalaman batin pembaca ada kemiripan dengan pengalaman batin pembuat syair yang dibaca, pesan yang disampaikan dalam karya itu akan sangat mudah menyentuh dan diterima, berujung disukai. Karenanya majas alias permaknaan suatu bahasa ini memang cenderung subyektif. Namun bila diimbangi dengan pengolahan estetika secara umum, maka yang subyektif ini bisa digiring untuk menjadi obyektif dan diterima sertai disukai orang banyak.

Agaknya puisi-puisi Amin mesti bergulat dengan berbagai faktor ini secara lebih intens. Sampai buku kumpulan puisinya ini dibuat pada 1999, lima tahun yang lalu, agaknya puisi-puisi Amin sudah mencebur di arena waduk luka untuk dipertarungkan dengan banyak puisi penyair lain yang rata-rata juga mempunyai kesamaan-kesamaan penggarapan sehingga apabila nama masing-masing pengarangnya ditutup dan hanya dibaca puisinya saja, kurang jelas bisa dibedakan siapa pengarangnya.

Selebihnya bisa ditelusuri mengapa karya-karya Amin Setiamin bisa menjadi seperti ini, baik dari segi tema maupun teknik penulisan. Kalau sudah begini, kita sampai pada pembahasan sosiosastra, biografi penulis, latar belakang penulisan, bahkan ideologi yang dianut penyair. Untuk itu silahkan berkenalan langsung dengan penyairnya. Dia ada di sini, bikin janji kencan dengannya, dan minta berkas
kepenyairannya. Atau, kalau masih belum sempat, tanyalah teman-temannya yang tahu sepak terjangnya sebagai seniman, yang biasanya sehabis acara ini duka ngumpul-ngumpul di warung Alex, lalu beranjak malam kongkow di depan pintu Gerbang TIM di bawah baliho besar. ***


Ragunan, 30-31 Maret 2004

Tidak ada komentar: