Lelaki-Perempuan Berbagi Payudara

oleh
stasiun fiksi FiXiMix
Reportase Rumpi Fiksi Juni 2007:
69: Berkubang Liang (Novel Dewasa)

http://groups.yahoo.com/group/Apresiasi-Sastra/message/27055


Jumat sore, 15 Juni 2007 itu, beberapa adegan teater 69 dalam wujud diam (foto ilustrasi) bertebaran di dua lembar kain hitam di depan jendela pelataran tempat jajaran sepatu diletakkan. Foto-foto itu bagai menyambut tamu-tamu yang berdatangan hadir untuk ikut berdiskusi tentang novel 69 di stasiun fiksi FiXiMix, Jl. H. Nawi, No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pemandangan ini menyergap hadirin setelah mereka sebelumnya disambut standing banner 69: Berkubang Liang di muka pintu beranda, sebelah papan nama FiXiMix.

Setelah mengamati adegan-adegan dalam foro, para hadirin masuk ke dalam ruang Rumpi Fiksi disambut dengan penis dan payudara di sana-sini. Sebuah instalasi terpadu, seolah menyindir Penis dan Breast Envy. Ini juga sesuai dengan judul Rumpi Fiksi kali itu: Lelaki-Perempuan Berbagi Payudara. Makna kalimat ini divisualisasikan dengan 2 tubuh separuh yang ditempatkan sejajar di muka rak buku yang melekat di tembok bercat merah. Merah memang warna yang melumuri seluruh tembok stasiun fiksi FiXiMix ini. Kebetulan novel yang akan dibahas malam itu pun menampilkan warna dominasi merah pada sampulnya. Pada rak sebelah kiri berdiri paruh tubuh perempuan dan di rak kanan paruh lelaki. Paruh itu bagai siluet. Pipih. Masing-masing paruh tersebut memiliki satu payudara yang tidak pipih, melainkan 3 dimensi, bervolume. Perempuan berpayudara di kanan, lelaki di kiri. Semua itu dibuat berukuran seperti aslinya. Di antara 2 paruh dari 2 tubuh tersebut dipasang banner vertikal novel 69: Berkubang Liang hingga menjuntai ke lantai ruang berkarpet itu. Pohon-pohon payudara dan penis pun bertumbuhan di tiap titik ruang, dari ruang utama hingga ruang tengah. Dari lantai, meja, hingga naik ke rak buku. Penis-penis dan payudara-payudara yang seperti bertumbuhan itu terbuat dari karet kondom yang ditiup menyerupai bentuk payudara dan penis. Payudara dan penis lainnya, seolah jamur atau tanaman anggrek, menempel pada sisi samping, dalam, dan depan lemari buku.

Sebelum novel 69 dibedah, terlebih dahulu ditampilkan musik pembuka oleh Melky Intermezzo yang membawakan soundtrack 69 dengan petikan gitar jazzy-nya. Ditingkahi oleh pembacaan nukilan 69 Bab ’Liang yang Ruang’ oleh Anas di bagian hampir akhir lagu itu.

”...Satu. Satu. Kuperhatikan napasnya bergerak teratur. Seolah menghayati keremangan ruang, tubuhnya kini hening membujur. Tiga perempat purnama membias. Cahayanya menyusup lewat ventilasi dan kisi jendela, memuai dalam ruang, lalu terpaku pada wajahnya yang lengang, teracuni alam mimpi. Aku seperti sedang berhadapan dengan damai. Damai yang membebat sesuatu tak terlihat. Gejolak misterius yang membikinku sejak lama terbius. Dan saat ini, layaknya magnet berkekuatan tinggi, mendekapku demikian erat. Seakan ingin memasukkanku ke dalam dirinya, atau membiarkan dirinya terbuka agar kumasuki. Dan itu sebuah rangsangan yang tak menyisakan kemungkinan untuk tak terpenuhkan.
Ah, sosok itu seolah hanya terdiri dari pesona. Apa yang sedang bekerja dalam rongga kepalanya? Bagaimana cara kerjanya? Mengapa perempuan ini mampu bercakap tanpa cakap? Mengapa ia merasakan kehadiran yang lain? Mengapa merasa jadi bagian segala? Segala yang seluruh yang bulat yang kulli yang (bahkan) tak menjelma bayang pada kornea? Mengapa ia berpikir akan sesuatu di luar batas pikir? ...“

Selesai Anas membaca, Melky kembali mengumandangkan bagian reffrain lagu ”69 / Hidup adalah sanggama / 69 / Berkubang Liang ...” lagu ini pula yang dibawakannya saat Launching 69: Berkubang Liang dua minggu sebelumnya di Citos. Hanya saja ketika itu dibawakan dengan full band.

Seusai musik dan pembacaan itu, dimulailah acara inti Rumpi Fiksi: diskusi atau bedah karya. Pembahas kitab liang (sebutan yang dibuat penulis untuk novel pertamanya ini, lantaran berperspektif perempuan dan wajib dibaca lelaki maupun perempuan ini) adalah Mariana Amiruddin seorang aktivis Jurnal Perempuan sekaligus juga penulis dan Hudan Hidayat, seorang sastrawan. Bertindak sebagai Moderator, Donny Anggoro, seorang pengamat perbukuan yang juga penulis.

Hudan menganalisis karya Henny sebagai suatu karya yang menurutnya memiliki kekuatan bertutur yang luar biasa. Dari segi deskripsi penceritaan dan pemilihan kata. Ia juga mendukung keberanian penulis ini pada pengungkapan berbagai hal dari hasil pemikiran sendiri, tanpa banyak mengutip referensi sana-sini, tanpa mengutip pemikiran para ilmuwan mapan. Kalaupun ada satu-dua nama pemikir dunia, hanyalah untuk dibandingkannya dengan pemikiran sendiri. Tidak taken for granted. Henny jujur dengan apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Ada kegilaan-kegilaan tentang ketubuhan, seperti payudara yang tiba-tiba hilang dan pindah dari tubuh perempuan ke tubuh lelaki. Pencapaian tertinggi dalam novel ini, menurut Hudan, adalah ketika Penulis menghubungkannya dengan hal transenden atau spiritual, seperti pada Bab Menuhan. Pada Bab ini Henny juga mencuplik puisi spiritual Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Satu.

Hanya saja, ia menyayangkan, dalam novel ini Henny masih terpusat pada ketubuhan. Menurut sastrawan yang di antaranya telah menghasilkan karya Keluarga Gila dan Lelaki Ikan ini, patriarki barangkali memang bisa diangkat sebagai problem, tapi tidak harus diutamakan.

Sebaliknya Mariana mengatakan bahwa tubuh adalah inti dari perspektif perempuan. Ketika perempuan sudah gelisah dengan tubuhnya, ia lalu dapat mengurainya menjadi tubuh sosial. Henny telah mengangkat tubuh dari berbagai sisi, bukan saja tubuh domestik, tapi juga sosial dan politik. Bukan saja tubuh sebagai tubuh itu sendiri (tubuh organis), tapi juga sebagai tubuh sosial dan tubuh transenden. Henny melihat kenyataan di sekitarnya melalui tubuh, seperti orang mengintip dari tempat persembunyiannya untuk mengamati dunia di luar sana. Ini dapat dibandingkan dengan penulisan Helen Cixous yang membongkar elemen-elemen patriarkis menjadi feminis. Lebih lanjut dikatakannya si penulis berhasil dalam kepenulisan feminin, memaparkan permasalahan perempuan beserta segala persoalan gender dan femininitas. ”Tidak ada penis envy dalam novel Henny,” tambahnya. Penulis dinilainya tekun dan sabar mengerjakan novel ini selama bertahun-tahun. Teguh dengan pergulatan meneliti, mencari data, bertanya sana-sini, bereksperimen yang dilakukan selama proses pengerjaannya hingga selesai.

Namun Mariana juga menandai bahwa lantaran antuasias Si Penulis pada temuan dan pemikiran sendiri, ia cenderung menulis secara maskulin. Otak kirinya lebih tampil. Tapi penulis dinilainya berhasil memaparkan femininitas dengan cara penulisan yang masih bernuansa maskulin. Baginya Si Penulis lebih berani menyatakan persoalan tubuh perempuan ketimbang penulis-penulis perempuan sebelumnya seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, ataupun Dewi Lestari. ”Henny sudah membuat affirmative action,” katanya.

Meski begitu ia juga mencatat kalau novel ini kurang sisi literernya karena memasukkan juga unsur-unsur nge-pop ke dalamnya baik berupa bahasa maupun visual. Namun ia menduga ini merupakan strategi penulis dalam menggarap pasar. Sepanjang ada sesuatu yang ingin diungkapkan, dibagi kepada orang banyak, ia tak memasalahkan.

Para peserta diskusi yang hadir di antaranya Sastrawan Binhad Nurrohmat, Yonathan Rahardjo, Ben Sohib, Mudjib Hermani dari Penerbit Melibas, dan Umi Kulsum dari PustakaLoka Kompas. Binhad menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Hudan yang menyayangkan keterpusatan terhadap tubuh. Ia mengatakan, para penulis perempuan yang mengangkat tubuh atau menuliskan seks adalah karena seks atau tubuh masih merupakan persoalan bagi perempuan, tapi tidak bagi lelaki. Tubuh lelaki sudah otonom, tidak lagi berfragmen. Lelaki sudah selesai dengan tubuhnya. Tak ada lagi ketegangan dan kegamangan pada lelaki. Tubuhnya sudah menjadi subjek sejak lama. Sedang tubuh perempuan masih berupa wacana, sesuatu yang diwacanakan, belum berkata-kata sendiri. Dengan kata lain tubuh perempuan masih menjadi objek. Karena itu perempuan yang menyadari ini merasa harus melakukan pemberontakan atau mengkritik kondisi sekitar yang salah satu caranya adalah dengan memaparkan dan mengulik tubuh tersebut dalam tulisan.

Tak jauh berbeda dengan pembicara sebelumnya, Yonathan Rahardjo melihat bahwa persoalan Liang yang ditawarkan Henny merupakan suatu organ simbolis. Penulis mengajak masuk ke Liang, berarti mengajak memasuki jagat alit sekaligus jagat gedhe, sehingga 69: Berkubang Liang tidak berhenti pada soal tubuh sebagai tubuh, tapi ada berlapis makna yang ingin disampaikan.

Mengenai tampilan novel yang memperlihatkan visualisasi sebagai still drama yang berisi cuplikan keseluruhan novel (trailer) di bagian depan dan bagian-bagian dari novel di bagian isi (yang menurut penulisnya sebagai bukan ilustrasi) tak sempat dibahas di sini. Cuma di akhir diskusi, Mariana sempat mengatakan kalau visualisasi dapat membatasi imajinasi pembaca, meski ini memang diakui sebagai sesuatu yang baru.

Sebelum diskusi ditutup, kembali Anas membacakan nukilan Novel 69: Berkubang Liang, Bab ’Ziarah 1’ :

”...Pagi yang pasi. Ketika diingkarinya bayangan tubuh sendiri pada cermin vertikal di muka daun pintu lemari. Itu kali pertama ia tak merasa perlu diyakini oleh diri sendiri bahwa kaca bukan untuk dipercaya. Bahwa cermin memiliki pilihan bayangan untuk ditampilkan. Cermin berkuasa atas semestanya. Dan kali ini perempuan itu merasa tentram mendapati pemikiran macam itu. Barangkali cermin juga bisa lelah. Lelah meniru. Ingin sesekali berlaku bebas sekehendak hati. Seperti kali ini. Dia pasti sedang berdusta, begitu pikir perempuan seksi ini.
‘Namun, aku bisa meraba ini. Dadaku tak lengkap,’ gumamnya.
Tiba-tiba dia merasa baru saja menghibur diri. Sesuatu yang aneh dan tak menyenangkan itu nyata rupanya. ‘cermin itu tak sedang berdusta! Tak lelah meniru!’
Dia menoleh ke arah dia bangkit tadi –sebelum tiba di muka cermin itu--, ke ranjang yang membopong tubuh lain yang lelap yang rentang. Di situ ia temukan payudara kirinya yang hilang. Bertengger di sisi kanan dada tubuh itu. Tubuh seorang laki-laki!
“Tantra, kaukah?”
Sunyi.
“La Iga-kah?”
Tatapnya kembali pada cermin. Perempuan yang cemas tampak di situ, menatapnya. Sebuah payudara lenyap dari kiri dada. Namun, rambut itu bukan rambutnya, hidung, bibir itu, bukan miliknya, tatap perempuan itu bukan tatapnya!
Mendadak ia teringat sebuah negeri yang selalu lenyap ketika ia terjaga di hari dini. Avril lavigne….”

Pembacaan ini diiringi gitar oleh Melky yang di akhir kalimat Anas ia kembali melantunkan bagian reffrain soundtrack 69.
”69
Hidup adalah sanggama
69 /
Berkubang Liang ...”

Terima kasih.

FiXiMix, 16 Juni 2007


FiXiMix, stasiun fiksi
(Toko Buku dan Perpustakaan Khusus Fiksi)

Tidak ada komentar: