Rilis Buku Puisi Dino F Umahuk

Republika, Minggu, 17 Februari 2008
Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Penyair Dino F Umahuk akan merilis buku kumpulan puisi terbarunya, Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut, pada Rabu, 27 Februari 2008, pukul 19.00 WIB, di Warung Wapres (Wapres) Bulungan. Acara akan diisi diskusi dengan pembicara Kurnia Effendi, pembacaan puisi oleh Yonathan Raharjo, Irine Gayatri, dan Jorgy, serta pentas musik bersama Volloand Humonggio (aktor film Sang Dewi) dan Araditya Mahessa. ( )



UNDANGAN TERBUKA LAUNCHING BUKU: ‘DINO UMAHUK, METAFORA BIRAHI LAUT’

birahilaut.multiply.com

Dino F.Umahuk, penyair yang telah malang melintang di ranah sastra, akhirnya melahirkan buku kumpulan karyanya yang berjudul ‘Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut’.

Untuk itu, kami mengundang teman-teman pecinta sastra untuk hadir dalam acara peluncuran buku tsb. yang akan diadakan pada :

Hari/tanggal : Rabu/ 27 Februari 2008
Pukul : 19.00 – 22.00 WIB
Tempat : Warung Wapres, Bulungan
(samping SMA Negeri 6)
Jakarta Selatan

Acara : 1. Diskusi dengan Pembicara Kurnia Effendi
dan Moderator Irine Gayatri

2. Pembacaan puisi dan melukis oleh Yonathan Raharjo, Irine Gayatri,
Jorgy dan para penyair lainnya.

3. Musik bersama Volloand Humonggio (aktor film Sang Dewi) dan
Araditya Mahessa

Bagi 20 pengunjung pertama akan mendapatkan buku ‘Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut’, begitu juga yang tampil spontan (tinggal mendaftar ke Panitia saat tiba).

Acara ini diharapkan mampu menjadi ajang kumpul bagi para pecinta sastra untuk bersama menikmati satu lagi terbitnya buku kumpulan puisi dari penyair Dino Umahuk.

Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.


Johannes Sugianto
Panitia


SEKILAS TENTANG DINO F UMAHUK


"Maka Dino sekarang bukan lagi pemuda dengan jins dekil dan kertas lusuh yang malu-malu mengantar naskah puisi ke Kantor Redaksi Suara Maluku. Beberapa tahun ini, dia lebih rajin berselancar di cybersastra, memperkenalkan diri kepada dunia bahwa dari Ambon yang hancur lebur, telah tumbuh seorang penyair".

Demikian komentar Rudi Fofid, Wartawan Harian Suara Maluku di Ambon dalam kata pengantarnya di Buku Puisi "Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut" yang akan diluncurkan 27 Februari 2008 di Jakarta. Dalam pengantar ini, secara gamblang dituturkan tentang sosok Dino yang dengan malu-malu mengirimkan puisinya pertama kali ke media itu Tahun 1994, yang lalu tumbuh menjadi demonstran, jurnalis, aktivis LSM dan penyair.

Sedangkan budayawan, Ikranegara menyebutkan “Puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi (hati nurani?) dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri, baik itu kejadian sosial/politik maupun yang terjadi atas diri pribadi. Kerangka yang dipakai dalam mempersepsi atau merenungi hal-hal itu bukanlah kerangka analisis intelektual, melainkan rasa kemanusiaan itu tadi.


Sebanyak 127 puisi, dari 500 yang tercipta dari tahun 2000 hingga 2007, akhirnya menjadi sebuah buku. Sedangkan puisi-puisi yang tercipta sebelum tahun 2000 telah hangus terbakar ketika terjadi kerusuhan di Ambon, 19 Januari 1999.

"Buku ini menampilan 127 puisi saya dari 500 puisi yang tercipta dari tahun 2000 hingga 2007, Ini adalah buah perjalanan dari lika-liku dan luka hidup", kata Dino F.Umahuk suatu ketika saat ditanya apa makna dari peluncuran buku ini. Bagaimana dengan puisi yang tercipta sebelum tahun 2000?. “Habis, hangus terbakar ketika terjadi kerusuhan di Ambon, 19 Januari 1999,” ujarnya dengan nada getir.

Sejak menekuni puisi, di tengah kesibukannya kuliah dan bekerja di berbagai lembaga, termasuk menjadi wartawan, Dino makin tak terpisahkan dari kata-kata. Ketika masih mahasiswa ia pernah menjadi Juara I Lomba Cipta Puisi antar Perguruan Tinggi se Maluku dan Irian Jaya tahun 1997 dan mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) III di Denpasar Bali pada 1994. Puisi-puisinya juga bertebaran dimana-mana, dari milis sastra semasa cybersastra.net hingga media cetak dan buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya.

Beberapa puisi laki-laki yang dilahirkan di Desa Capapulu, Maluku Utara pada 1 Oktober 1974 ini dimuat dalam Cyberpuitika - antologi puisi digital (2002), Dian Sastro For President #3 ( 2004), Nubut Labirin Luka - antologi puisi untuk Munir (2005), Empati Yogya - antologi puisi (2006) dan Yogya 5,9 Skala Richter - antologi puisi (2006).

Saat ini selain menekuni kesibukannya sehari-hari sebagai Program Officer Peace Building di Bappenas untuk Reintegrasi dan Perdamaian Aceh, ia juga mengurus situs fordisastra.com sebagai redaktur bersama Nanang Suryadi dan Hasan Aspahani.

Anak kampung yang mengaku berwajah laut ini pernah malang melintang di sejumlah LSM terkemuka seperti KontraS, Imparsial dan Tifa Foundation. Ia juga sempat memproduseri sekaligus menyutradarai dua buah film dokumenter masing masing ‘Surat Dari Cibubur’ dan ‘Impunity Potret HAM Yang Terpasung’ di tahun 2001.

Puisi-puisinya selain bertebaran di berbagai milis sastra, juga ditaburkannya di blog pribadinya http://www.birahilaut.multiply.com yang dihiasi berbagai ilustrasi foto, termasuk anaknya yang baru lahir. (Yo)

kacang bali

walau kami seolah terdiam,
dan bisu di mata kalian.
angin masih berbisik,
kami masih cuma terbisik,
tapi tetap menari,
dan membisu dalam tari.

kita kan menari!
kita kan menari!
tak ada beban dan kejahatan yang bisa menahan kaki hati kita untuk selalu menari.
esok masih milik kita,
hari ini masih punya kita,
kemarin masih hak kita,
meski dengan tarian itu semua menjadi milik bersama. bersemilah,
bersemilah,
bersemilah!

tarian hati
dengan darah
:membutir bulat
kidung sembah

depok-jakarta, 2003-2007
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

kembang goyang

bergetar yang patut
bergerak yang akan
bergerak yang mesti
berirama mengikuti
irama-irama hati
ada sesuatu yang dicari
akankah tumpah
hanya karna
satu telikung mata
jatuh ke dada
jatuh ke perut
jatuh ke kelamin
pergerakan jadi sia
pergulatan jadi lepas
persemaian menumpu
menjerit dan mendelik
dan terkapar
tidur dalam puas
ada yang lepas
ada yang bebas
dalam sejurus nyali
ada pula yang kandas
tinggal pilih butuh apa
:tidur atau nyala

jakarta, 2004
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

jus buah

tumpah air merah
tertumpah dari buah jantungku
tumpah menggenangi
tanah tumpah darahku

tertumpahlah
darah merahku

kau kata
darah siapa yang lebih merah?
darah siapa lebih tertumpah?

ngomong enak saja!
belum kau rasakan kulit terluka
belum kau rasakan
sirnanya
nyawa

belajar dari hal sama

kami tetap suka
meski ditumpah
diperas
diputar
dan dilumat

kami tetap suka

agar kau menjadi segar
agar kau menjelma sentosa

jakarta, 2005-2007
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

kacang campur

kacang garam
kacang kuning
kacang hijau
kacang tak kulit
kacang tepung
meregu kuning
udang kuning
meregu merah
udang merah
cabe
garam
gula
perisa
minyak sawit
dalam satu plastik kemas

memangnya bangsaku tidak bisa
bikin?
kalau bisa,
mengapa harus impor dari
negeri tetangga?

dasar pemalas!

cimanggis, 2007
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

kerak telor

semua masa laluku telah mengerak
semua perbuatanku telah berbuahkan teriak
api gemeretak menjilat-jilat
ku tak mampu lagi sekedar kata apalagi teriak

bahkan digoyang pun aku diam
bahkan dibalik pun aku lekat
pada seluruh alat penghukuman
tanpa mampu melawan

hanya kepasrahan yang hiburkan
ia tak akan diam

dalam sekejap pun
aku akan dipulihkan
dan terhidang
dalam persembahan terbaik
dari semua yang kupunya
dari semua yang kumiliki
tak ada kata tidak kini
milikku hanyalah untuknya

sesungguhnya aku ini miliknya
hanya ia yang mampu
lepaskanku
dari kerak neraka panas ini

ragunan, 2007
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

CERMIN PENINGGALAN

Majalah Majemuk Februari 2008

Cerpen Yonathan Rahardjo

Perempuan berwajah kerut kendur dimakan umur, duduk menyilang tangan, bertumpu di atas paha berbalut kain batik panjang tergerai sampai lantai yang tercabik, menatap langit kosong melalui pintu rumah langsung menghadap jalan gang kampung.

‘Aku perempuan, mendesah panjang dalam duduk setengah membungkuk tanpa memiliki tegaknya rangka tubuh, ingin menenggak angin melawan fisik yang makin digerogoti waktu.’

Satu daun melayang dari ranting pohon jambu biji yang termangu di depan rumah tempat ia duduk termangu.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

Mengering Basah, Antologi Puisi Setiyo Bardono

www.tinggalklik.com

Akhirnya buku Antologi Puisi Setiyo Bardono, Mengering Basah, sudah dalam tahap akhir penyelesaian. ArusKata Press, penerbit On-Demand yang menerbitkan buku tersebut, akan mulai mengirimkan buku2 hasil produksi perdananya ini mulai 2 minggu dari sekarang. Untuk edisi perdana, cetakan akan dibatasi hanya 100 eksemplar dulu, oleh karena itu silahkan pre-order mulai dari sekarang agar tidak kehabisan.

Beberapa endorsement dari rekan-rekan penyair bisa dibaca dibawah ini:

Puisi memang sering dibenturkan pada keharusan untuk mendedahkan makna. Puisi sering dianggap sia-sia bila dia dicap gagal memberikan makna. Saya kira bagian terpenting dari menyair adalah menyadari bahwa puisi itu permainan. "Permainan makna," kata Sapardi Djoko Damono. Mungkin kita boleh ganti sebutannya dengan permainan yang bermakna. Bukan makna yang dipermainkan. Dan inilah permainan Setiyo. Yang resah mencari itu adalah puisi. Puisi yang tahu kemana menuju. Puisi yang bertanya. Puisi yang tidak takut pada jalan berliku, toh dia sudah mendapat jawab bahwa dia adalah jiwa merdeka yang bisa menetapkan sendiri jalan ke cahaya, ke pencerahan itu. Sajak "PENCARIAN PUISI" ini memperjelas sikap penyair itu: /Mengeluh puisi di pencarian makna / "Haruskah kutempuh jalan terjal berliku untuk merengkuh cahaya-Mu?"// Bergema makna di keraguan puisi / "Engkau jiwa merdeka yang bisa menetapkan sendiri jalan menuju sejati-Ku."//

Hasan Aspahani, pemilik blog Sejuta Puisi (http://www.sejuta-puisi.blogspot.com)

Setiyo Bardono adalah Sekardus Bom Waktu* (salah satu judul sajaknya) yang siap meledak. Dengan ketekunannya mempelajari unsur-unsur puitika dan mengaplikasikannya, dia siap menghentakkan pembaca dalam setiap sajak-sajaknya. Kosakata yang dimilikinya amat dekat dengan keseharian kita sebagai masyarakat perkotaan, namun kepandaiannya meracik sajak tetap akan membuat pembaca terhenyak.

Dedy Tri Riyadi, www.toko-sepatu.blogspot.com

"Membaca puisi-puisi ini, yang ditulis dalam rentang waktu 1996 hingga 2007, saya menemukan keberagaman tema yang diangkat Setiyo Bardono. Dari tema cinta yang umum, kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, hingga tema politik. Juga dalam gaya penulisannya yang variatif, dan menawarkan sesuatu yang baru bagi para pembacanya. Saya suka dengan puisi-puisi yang menawarkan tata wajah (tipografi) yang berbeda dan tidak lazim. Salut untuk Setiyo Bardono yang mencoba bermain dengan kata dan bunyi dalam eksplorasinya."

Urip Herdiman Kambali, penyair.

Setiyo Bardono telah melahirkan karya-karya. Itu yang paling penting. Dengan membaca sajak-sajaknya, Anda akan merasakan pergulatannya dalam melahirkan dengan memandang lingkungan dan manusia-manusia di dekatnya, seraya menyadari bahwa penciptaan adalah sebuah kekuatan.

Yonathan Rahardjo, Penerima Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta untuk Novel "Lanang"

LAUNCHING & DISKUSI BUKU PUISI “SUKMA SILAM” Budhi Setyawan

oleh Budhi Setyawan
Acara launching dan diskusi buku SUKMA SILAM tanggal 1 Desemeber 2007, berjalan mulus dan baik. Pemaparan Mbak Medy Loekito dan Mas Endo Senggono, serta kritik dan masukan dari para penyair/sastrawan yang telah dikenal masyarakat seperti: Binhad Nurrohmat, Urip Herdiman Kambali, Bung Martin Aleida, Slamet Rahardjo Rais; membuat diskusi berlangsung menarik, hidup dan dinamis. (sebenarnya banyak sekali penyair lain, tetapi hanya beberapa yang memberikan komentar. Mungkin karena waktu yang terbatas, atau memang terlalu asyiknya menikmati acara tersebut) Apalagi didukung oleh sang moderator Mas Yonathan Rahardjo yang cukup piawai dalam membangun atmosfir acara ini hingga menjadi sangat menggairahkan. Kemudian juga pembacaan puisi yang ‘catchy’ oleh Danielle, juga semngat pembacaan puisi oleh Mas Dharmadi, Mas Pudwiyanto, Mas Endang Supriyadi; semua membuncah dalam aroma sinergi menggurat gelora sastra. Ada hadirin yang sangat ’surprised’ bagi saya yaitu Mr. Mihaly Illes (Duta Besar Hongaria), Bpk Hery Soetanto (Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan) dan Mas Beben (Komunitas Jazz Kemayoran). Terima kasih untuk semuanya, yang telah hadir, memberikan dukungan, dorongan dan doa. Mari kita teriakkan dan kobarkan: MAJULAH SASTRA INDONESIA!

Endorcement Turquoise

Judul Turquoise : Kisah Sang Singa Perkasa Dari Kohina
No. ISBN 978-979-1394-02-4
Penulis Titon Rahmawan
Penerbit Escaeva
Tanggal terbit November - 2007
Jumlah Halaman -
Berat Buku -
Jenis Cover Soft Cover
Dimensi(L x P) -
Kategori Fantasi
Bonus -
Text Bahasa Indonesia
Masukkan ke Daftar Keinginan
Rekomendasikan buku ini


SINOPSIS BUKU
"Sebuah riwayat, sedahsyat apa pun, akan tinggal membeku tertimbun gurun waktu, kecuali, seseorangg mengangkatnya kembali dengan cara pandang yang cemerlang. Titon Rahmawan telah menulis secara serius, sehingga terasa betapa kemegahan kisah dan kepahlawanan selalu mencuri perhatian kita untuk menyimak dengan kekaguman tersendiri. Turquoise telah memperlihatkan kelebatan cahaya masa lalu, hadir melalui kata-kata yang anggun dan mudah dipahami. Kita, diam-diam, telah memiliki pengarang setara Tariq Ali."
- Kurnia Effendi, cerpenis dan peneliti LPKP

"Karena cinta, persahabatan jadi sirna. Karena cinta harta, cinta jadi binasa. Karena kalap cinta, rasio tidak bicara. Sang penulis, Titon Rahmawan menuliskannya dengan gaya bertutur yang memainkan perasaan dan hati. Beberapa adegan menampakkan kejutan, secara runtut perlu dibaca dengan cermat untuk mendapatkan efek penggambaran suasana dan peristiwa."
- Yonathan Rahardjo, penulis novel 'Lanang'
Penyabet Juara Harapan 2 Lomba Novel DKJ 2006

"Novel berlatar budaya Arab ini menceritakan senandung kesetiaan di persimpangan jalan. Antara jalan Tuhan dan manusia."
- Sigit Susanto, novelis dan penulis catatan perjalanan 'Menyusuri Lorong-Lorong Dunia'

"Turquoise: novel puitis dengan unsur suspense yang semakin menguat dan latar cerita yang berhasil membangun rasa kepedihan."
- Manaek Sinaga. Pemimpin Umum majalah sastra Imajio

"Dengan alur yang tak bersolek, novel ini membuktikan penulisnya adalah juru cerita yang piawai membangun kisah."
- Donny Anggoro, eseis dan cerpenis

"Sebuah kisah yang sangat menakjubkan, yang dengan cerdas meramu intersitas dramatis, petualangan mistis, ketegangan psikologis, kearifan masa lampau, dan gaya tutur yang bertabur puisi menjadi sebuah donggeng dengan latar yang demikian eksotis dan saraf fantasi."
- Ratna Dwi Yulianti, pemerhati sastra

"Lewat Turquoise, Titon Rahmawan berhasil memadukan eksotisme ala Kisah Seribu Satu Malam, kesyahduan sastra sufistik, dan kepiluan gaya Shakespeare-an Tragedy. Salah satu novel yang amat mengasyikkan!"
-Iwan Sulistiawan, dosen & penulis pemula

Turquoise: Pukauan Prosa Laga

wawanekoyulianto.multiply.com, 25 Desember 2007

Resensi Oleh: Wawan Eko Yulianto

Category: Books
Genre: Literature & Fiction
Author: Titon Rahmawan

DI TENGAH-TENGAH sebagian besar prosa Indonesia yang memilih latar Indonesia sendiri, baik masa lalu atau kini, novel Turquoise menjadi sesuatu yang unik: dia berlatarkan kehidupan di negeri bernuansa Arab-Afrika. Jika sebelumnya kita hanya mengenal kisah kepahlawanan dalam bentuk cerita-cerita silat yang sulit ditemui pada prosa Indonesia hari ini, maka Turquoise adalah sebuah penyegaran dan alternatif baru bagi kita: berkisah kepahlawanan dan cinta, berlatarkan kehidupan di masa lalu, di sebuah negeri yang deskripsinya tak jauh-jauh dari Arab atau Turki, pedang dan kuda muncul di berbagai bagian buku, adegan tarung pedang digelar di beberapa bagian. Dua hal ini, setting Arab-Afrika dan persilatan, mungkin akan mengingatkan kita kepada Negeri Senja Seno Gumira Ajidarma. Namun, terlepas dari dua hal itu, kedua novel ini jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Berikut akan digambarkan sejumlah kekhasan Turquoise yang mungkin juga akan bisa menunjukkan perbedaan novel ini dengan Negeri Senja, dengan novel-novel silat yang dulu pernah ada, dan dengan novel-novel Indonesia hari ini.

Dikisahkan, seorang pemuda terlahir dan tinggal bersama orang tuanya sebagai pelayan di rumah besar milik saudagar kaya raya Youssef. Pemuda ini, Husayn namanya, tumbuh menjadi seorang perjaka yang tampan dan mempesona di mata Safira, putri tuan Youssef. Pada akhir masa remajanya, Qadrii, sepupu Safira, anak kepala kampung yang terhormat, juga sahabat Husayn, meminang Safira. Namun Safira yang telanjur menyukai dan mengikat janji dengan Husayn dengan serta-merta menolaknya. Bahkan, kepada ayahnya, Safira memproklamasikan cintanya kepada Husayn, si anak pelayan. Murka, dan kehilangan muka, membuat tuan Youssef mengusir Husayn beserta keluarganya. Safira pun menjadi sasaran kemarahan. Sebuah "wahyu" membimbing Safira menjadi seorang mistikus tabib yang menyerahkan hidupnya di jalan Tuhan. Husayn pun menemukan jalan takdirnya, menjadi penjaga gerbang kota, dan kemudian menjadi tentara pembela kota dari para penyamun padang pasir.

Dengan latar belakang seperti ini, kisah pun berkembang: Safira menemui ajal dan Husayn, yang telah terputus kabar dari Safira, bertumbuh menjadi "Singa Padang Pasir".

Ada beberapa hal yang harus disampaikan tentang Turquoise, yakni:

(1) Turquoise menegaskan kembali bahwa kisah romansa dan kepahlawanan adalah sebuah kombinasi yang selalu pas. Pasti kita ingat kisah romansa Aragorn dan Arwen dalam trilogi Lord of the Ring: seorang pangeran terbuang dan seorang putri raja nan Liv Tyler. Atau kisah William Wallace dan istri yang baru semalam dinikahinya dalam Braveheart. Atau kisah Maximus dan instri serta anaknya dalam Gladiator. Betapa kita selalu tergetar saat mendapati "pahlawan" kita adalah juga seorang manusia yang bisa lembut hatinya, dan bahkan tampak rapuh, di hadapan asmara. Dalam Turquoise, kita yang di awal cerita disodori adegan action antara Husayn sang singa melawan serigala-serigala "peliharaan" sang penyihir hitam keturunan iblis (?), Maqtuf Kharkani. Dan ketika kita dapati Husayn ternyata pernah begitu rapuh saat menghadapi pergolakan cinta, kita pun akan berempati dengan pahlawan kita ini.

(2) Turquoise menunjukkan sebuah vitalitas menulis yang luar biasa. Titon Rahmawan, seorang penulis yang di kalangan sasta cyber telah dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan esais sejak awal 2000-an, menampilkan kejelian dalam menyusun kisah yang berlatar sebuah kota dan sekaligus dia "buatkan" elemen-elemen pembentuknya. Lihatlah, pertama-tama, bagaimana dia memberi wujud fisik kotanya dengan penyajian peta yang membantu kita membayangkan posisi geografis Negeri Allah dan Makarresh serta penggambaran arsitektur kota yang langsung mengingatkan kita pada negeri-negeri Arab atau Turki. Lebih mendalam, dia beberkan penggolongan kelas sosial yang antara lain terdiri dari kaum Rahibi dan Rabani. Kemudian, yang tak bisa lepas, ditampakkan pula betapa Islam telah begitu terinternalisasi dalam kehidupan warga kota, terutama pada diri "pahlawan" kita, meskipun ada juga yang beragama lain seperti misalnya keluarga Safira. Titon juga bisa dengan sama terampilnya menggambarkan adegan action (lihatlah pertarungan Husayn melawan serigala, melawan Zoreth sang penyamun dari oase Turim, melawan si sahir Maftuq Kharkani, dsj.), adegan romansa (lihatlah saat-saat ketika Husayn dan Safira saling memproklamirkan cinta di tepi danau Kalkausar), dan juga adegan persedihan (lihatlah bagaimana Husayn dihumbalangkan lara hati atas pengusiran tuan Youssef, juga nikmati bagaimana Safira yang hancur hatinya sampai tiba pada kesimpulan akan menempuh hidup di jalan Tuhan. Kesabaran Titon untuk mengajak kita larut dalam detik-demi-detik dalam kisah (baik itu saat-saat laga maupun saat-saat hati bicara) adalah sesuatu yang membuat kita patut menghargai Turquoise lebih dari sebuah kisah kepahlawanan biasa.

(3) Turquoise memiliki tabiat yang unik terhadap bahasa. Sebagai sebuah novel yang tidak berlatar di Indonesia, Turquoise benar-benar memperlakukan bahasa Indonesia hanya sebagai pengantar. Meskipun dihantarkan dengan halus, dan pada beberapa bagian bahkan terdengar berpuisi, tampak sekali bahwa sepertinya penulis berpandangan bahwa bahasa Indonesia seolah tidak bisa dengan mudah mengakomodasi makna dari sejumlah hal yang ada di Makarresh. Tampak bertebaran kata-kata bercetak miring di sekujur buku. Ada kalanya, memang, kata-kata itu tercetak miring, hadir dalam bahasa Negeri Allah (Arab?), karena bahasa Indonesia tidak cukup mewakilinya. Yang seperti ini bisa kita lihat pada nama-nama tanaman, semisal al kastanaa, arbutus, lauz, al-misymisy, dsb. Namun, pada banyak bagian lain, seperti misalnya ketika nama-nama binatang harus disinggung, tampak bahwa penulis seolah-olah ingin memberikan nuansa Makarresh (Arab?) kepada pembaca. Nama-nama binatang yang dalam bahasa Indonesia sebenarnya ada, malah disebutkan nama Makarreshnya: alih-alih onta, Turquoise menyebutnya Jamalu, alih-alih serigala, di sini disebut ibnu alwaa. Yang terakhir ini sepertinya agak ambivalen. Di satu sisi memang kita dibawa lebih dekat ke Arab dengan nuansa yang Arab; namun, di lain pihak, tentulah penikmatan kita akan terganggu jika harus mereka-reka (atau melihat catatan kaki) dulu ketika kita dipertemukan dengan kata alkamar dan kaukab serta qahwah dan syaaya, yang sebenanya hanyalah ingin mengatakan planet dan bintang serta kopi dan teh.

Sebagai kisah kepahlawanan sekaligus romansa, Turquoise telah berhasil memberikan keasyikan membaca sekaligus pencerahan. Kita dibikin kerasan dengan teka-teki dan pengharapan akan bagaimana akhir kisah Husayn ini, adegan laganya juga mengasyikkan dan–pada diri saya–berhasil membuat harap-harap cemas dan memberikan kepuasan saat laga benar-benar telah rampung. Kita pun juga diajak merenungi arti persahabatan yang sirna karena cinta, cinta yang musnah karena ketamakan, dan rasio yang kalah oleh amarah (tentang ini Yonathan Rahardjo menyinggungnya pada endorser di sampul belakang Turquoise). Dan satu keasyikan yang hanya ditemui pada buku ini dan buku-buku sejenisnya adalah kita akan diajak merasakan kehidupan di sebuah negara Arab atau bagian benua Afrika pada masa lalu, dengan sejumlah aspek hidupnya: perekonomian, kehidupan sosial, dan arsitekturnya.

Jika kita adalah jenis orang yang selalu tertarik akan hubungan antara cerita dengan latar sosial kita, maka kita pun akan dipaksa mengiyakan bahwa di sini, nilai-nilai universal direnungkan kembali melalui permasalah-permasalahan yang mungkin dihadapi seorang manusia di tempatnya hidup. Dan betapa cinta yang menghanguskan persahabatan, ketamakanan yang memakan cinta, atau rasio yang terhapus oleh emosi, sebenarnya adalah tema yang diulang-ulang dalam sejarah manusia. Sekarang pun, jika kita sempatkan membaca secara lengkap kasus-kasus kriminal atau pembunuhan yang ada di halaman-halaman koran atau di berita kriminal televisi, besar kemungkinannya kita akan temukan modus operandi berikut ini: cemburu, perebutan warisan, terbakar kemarahan, tersulut emosi, dsb. Dan itu pulalah yang menggerakkan kejadian-kejadian penting dalam Turquoise.

Lomba Haiku, Cerpen, dan Kritik Sastra

Lentera Susastra, 22-12-2007

Ulang Tahun Ke-3 Mailing List (Milis) Apresiasi Sastra (ApSas) kali ini bekerjasama dengan Japan Foundation. Untuk memeriahkannya, Panitia HUT Apsas ke-3 menggelar lomba sebagai berikut;

Lomba Haiku. Tema dari Haiku yang diikutsertakan bebas. Peserta adalah anggota milis Apsas. Setiap peserta maksimal mengirim 3 (tiga) hasil karyanya ke milis Apsas dengan format judul [Haiku HUT 3] Judul. Penjurian dilakukan oleh (berdasarkan abjad) Hasan Aspahani, Rilla Romusha, dan TS. Pinang . Hasil lomba akan diumumkan tanggal 9 Februari 2008. Format haiku bisa haiku pendek (satu judul satu stanza haiku berlarik 3), atau serial beberapa haiku dalam satu judul.

Lomba Cerpen. Cerpen yang dilombakan berhubungan/ “berbau” Jepang. Baik tema, setting, maupun tokohnya. Peserta adalah anggota milis Apsas. Penjurian dilakukan oleh (sesuai abjad) Anna Prasandhi dan Rini Nur Badriah. Cerpen diposting di milis apsas dengan format judul [Cerpen HUT 3].

Lomba Esai / Kritik Sastra. Ada harapan bahwa di dalam Apsas akan timbul sifat kritis anggota terhadap karya sastra. Mengingat hal itu, maka pada kesempatan kali ini akan dilombakan esai / kritik sastra dengan tema “Jepang di Mata Sastra Indonesia ” atau tema lain yang sesuai dengan persahabatan Indonesia – Jepang. Bertindak sebagai juri dari lomba ini adalah Sigit Susanto & Yonathan Rahardjo.

Lomba dimulai tanggal 18 December 2007 dan berakhir pada tanggal 17 Januari 2008. Pengumuman lomba akan dilakukan pada tanggal 9 Februari 2008. Peserta boleh mengirim lebih dari satu kategori lomba, dan setiap kategori peserta maksimal mengirimkan 3 (tiga) karyanya. Dari masing-masing lomba akan dipilih 5 orang pemenang;

1. Juara I
2. Juara II
3. Juara III
4. Juara Harapan I
5. Juara Harapan II
6. Juara Harapan III

Masing-masing akan mendapat bingkisan menarik dari Panitia HUT Apsas Ke-3. Penyerahan Hadiah akan diberikan pada saat Acara Ultah Apsas berlangsung, rencananya Februari 2008 di Japan Foundation. Dan jika pemenang berasal dari luar kota dan tidak dapat hadir, hadiah akan dikirimkan ke alamat pemenang. Keputusan Dewan Juri bersifat mengikat dan tidak dapat diganggu gugat.

Selamat Mengikuti!