Dalam Karya-karya Itu, Telah Lama Disembunyikan Luka… *)

Oleh: Sihar Ramses Simatupang

40 tahun luka itu terjelma dalam ratusan, mungkin ribuan karya sastra

Serupa protes Antonio Gramsci terhadap rezim Mussolini Italia, Serupa metafora Pablo Neruda dalam kumpulan puisi "Nyanyian Revolusi" untuk Fidel Atau novel Pramoedya Ananta Toer terhadap Soeharto.

"Walau sejarah belum tentu (dan tak perlu) menghadirkan para penulis buku ini menjadi tokoh di dalam perjalanan waktu. Sebuah catatan atas luka akan selalu ada…"

Sebutkan berapa generasi penulis yang ada di dalam kumpulan karya di buku “Tragedi Kemanusiaan 1965-2005”? Mau memakai pola pembedahan angkatan versi Ajip Rosidi atau HB Jassin, terserah. Walau itu hanya perpendekan waktu. Kurang perlu untuk sebuah pemahaman atas fakta: hanya akan menghilangkan nama-nama, hanya menghilangkan sebuah fase, distorsi atas realitas, meminggirkan para sastrawan marjinal secara angkatan, geografis, usia, kelompok.

Khusus untuk buku ini, tak begitu signifikan untuk memotret soal angkatan yang terulur seperti permen karet di tangan kita, ada kelahiran tahun 1930 (31,32,33, 34,35,36,37,38,39), 1940 (idem), 1950 (idem), 1960 (idem), 1970 (idem), 1980 (idem), 1990 (idem).

Sebab, terutama untuk tulisan ini, semua generasi itu punya ceritanya masing-masing. Walau jumlah korban tahun 1965-1966 adalah paling besar yang terbantai di era awal sebuah rezim (urutan kedua di dunia?), bisa dikatakan, bahwa generasi di tahun-tahun setelah itu memang tak kalah sakit dan deritanya.

Sama-sama ada yang pernah ditahan, ada yang pernah dikejar, ada yang pernah ditembak, ada yang pernah dipukul, ada yang pernah hilang. Ada apa dengan peristiwa tahun 1965, 1974, 1980, 1990-1998 atau tahun-tahun di antaranya?

Dari titik pikiran itulah, karya ini bisa dijelaskan. Bukan lagi hanya berbicara tentang generasi yang terlibat dalam organisasi yang dimomokkan secara sistematis bahkan genealogis (seperti ungkapan pengamat politik nan jernih Eep Saefulloh Fatah), tapi wacana ketakutan itu di luar bahasa kekuasaan negara, telah melahirkan juga luka pada generasi lain.

Generasi yang juga ditekan oleh bahasa kekuasaan negara. Generasi yang secara alamiah juga telah menghasilkan bahasa tandingan marjinal yang muncul dan mekar di dalam pikiran dan perasaan para korbannya. Lewat teater, lewat puisi, lewat cerpen, lewat novel, lewat orasi, lewat pamflet.

Kesamaan yang meyakinkan bahwa sebuah karya tak lepas dari sejarah masyarakat, ada trans-individual, kesadaran kolektif yang menggejala.

Bahkan pada generasi yang tak pernah diganduli dan dibekali oleh apa yang dinamakan realisme sosial-humanisme universal, lekra-manifestasi kebudayaan, seni untuk misi-seni untuk seni, art for art-art for mission.

Di zaman yang diganduli oleh trend anti oposisi biner, tetap saja bahasa kekuasaan itu telah terhalau oleh bahasa tandingan yang berada dalam posisi tertekan. Hingga bersuara ketika waktunya tiba. Tak hanya merasakan momok soal antek PKI, tapi juga momok Tanjung Priok, momok 27 Juli, momok Sampang, momok Nipah, momok Mei 1998, dari tragedy Semanggi hingga tragedy Rungkut-Surabaya.

Tema itu juga telah menyapa di dunia kesenian. Siapakah seniman yang dapat membaca momok? Lewat karya? Ya, lewat karya sastra. Begitu banyak!

Di tengah aturan estetika, struktural, nilai intrinsik dan ekstrinsik karya sastra yang dianut oleh tiap seniman dengan cara pandang dan kadar simpati dan referensi yang berbeda. {josquote}Di antara berkarung buku pengetahuan dari ilmu hingga kesenian, yang berpengaruh pada tema dan muatan karyanya, siapakah yang mampu membendung dunia alam bawah sadar, defense orang ketakutan, yang berharap ada bahasa tandingan, bahasa yang memberikan dunia lain yang bebas dari temali jargon, jaring hukuman politik subversif, tempat kejujuran tak dipantau para monster kekuasaan.{/josquote}

Dari sinilah, kita dapat membaca dan memaklumi tiap generasi ketika berbicara 1965 – atau membaca peristiwa sejarah setelahnya. Dari sini, kita juga memahami, bagaimana generasi tahun 1990-an yang ada dalam represifitas pada masa itu mampu memindahkan kisahnya sehingga seolah para tokoh utama dan tokoh sampingan dalam karyanya hidup pada masa tahun 1965.

Tak jarang, pada masa tahun 1990-an, terjadi dialog generasi muda yang pernah menjadi pemberang dan bengal politik pada masa 1990-an, berdialog dengan generasi yang pernah mengecap tahun 1965. Dialog yang tak hanya terjadi di kampus – karena ketatnya pengawasan pada masa itu – tapi juga di warung, di kereta api, di terminal, di kos-kosan, di beranda sekretariat organisasi mahasiswa yang formal sekali pun.


Empati , atau imitasi yang dikenal oleh para psikolog sosial semacam Gabriel Tarde atau Carl Gustav Jung, muncul dan menggejala menjadi peristiwa psikologi personal yang mendapatkan bentuk sepanjang perjalanan dan sejarah hidupnya. Sesosok biografi para tokoh idealis dan democrat, kerap diterima, diolah, pun ketika generasi itu tak lagi bertema. Generasi setelah mengalami perkembangan yang cepat dan cermat, belajar dan punya tujuan yang sama: yang terbenar, setidak-tidaknya bagi idealisme mereka.

Wajar jika tema pada kurun waktu itu bisa ditampilkan dalam rangkaian puisi oleh generasi yang berbeda, dari generasi tua secara usia, Amarzan Hamid, Zeta Rosa, Fadjar Sitepu, hingga Heri Latief, Daniel Mahendra, Bayu Abdinegoro, dengan nama, nick name, dunia maya, narcxist, yang aktif di dunia maya alias milis. (wow, telak, inilah wajah lain dari generasi pada fase yang berbeda…).

Jadi, jangan heran juga bila di dalam cerpen seorang Ragil Nugroho mampu ikut bersedih lewat tokoh seorang anak yang baru diberitahukan sang ibu kalau ayahnya terlibat organisasi (yang dicap) terlarang itu. Yonathan Rahardjo yang menghadirkan tokoh Joshua yang bersedih karena pamannya Djarwo yang PNI tapi dituduh PKI. Bahkan, seperti orangtua yang paham sejarah, “anak muda” Aguk Irawan mampu menafsir dan punya gugatan tentang tragisnya sebuah keberadaan Musium Bersejarah yang justru terletak di antara sungai yang pernah dijadikan tempat dan peristiwa berdarah.


Mereka, generasi ini bukan berada dalam sejarah itu, tak berada dalam paradoks yang kerap dijejalkan: kiri-kanan, tetapi berada dalam jaman yang serba varian dan variatif, lalu di tengah kondisi nilai yang bermetamorfosis menjadi entah apa ini, mencoba menangkap nilai sosialis, humanis (apalagi?) atas semua peristiwa yang pernah ada dan pernah terjadi.


Empati itu tentu tak berbeda dengan imajinasi dan pilihan kisah para penulis angkatan pra 1965. Semisal T. Iskandar AS yang memunculkan tokoh Agam yang dituduh terlihat PKI sehingga takut untuk mencintai Klara. Putu Oka Sukanta yang menampilkan komunitas budaya Bali dalam karyanya ada konflik psikologis terhadap tokoh Wayah Dalang yang ditampilkan dalam cerpennya, dimana si Wayah harus menguburkan satu kelompok ke makam pahlawan sementara harus membunuh kelompok yang lain karena diduga terlibat organisasi yang dicap terlarang. Utji Kowati Fauzia, yang mengisahkan keluarga yang ditekan dan berdoa hingga membaca kitab Injilnya di tengah penangkapan para anggota PKI dan ormasnya yang bukan tidak mungkin terjadi juga pada keluarga mereka. A. Kohar Ibrahim, malah mengawali cerpennya dengan potret Brussel pada tahun 10 November 1998, generasi “tua” (usia dan karya) saat menyaksikan pasca reformasi di Indonesia lewat televisi. Isinya seputar perjumpaan para eksil politik tahun 1965 (yang nama tokohnya nyata alias benar-benar ada) di era kebebasan dan mengingat kisah masa silam mereka dengan seorang perempuan, berbicara namun para orangtua itu tak bisa pulang.

Buku yang selain puisi dan cerpen ini juga menghadirkan curhat dan esai. Fenomena cerpen dan puisi sesungguhnya tak jauh berbeda dengan fenomena tulisan antara lain berupa curhat oleh Ilham Aidit, Arira,Utji Kowati Fauzia, Tari, Omie Lubis, Mawie Ananta Jonie, Chiko, Hartinah, Pringgo Widagdo dan nama-nama lainnya. Juga pada fenomena esai yang ditulis oleh Nadir Attar, Eep Saefulloh Fatah, Ferren Bianca, Fransisca Fanggidaej.



Jakarta, 4 Oktober 2005


*) Dipresentasikan pada 4 Oktober 2005 di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki dalam acara bedah buku “Tragedi Kemanusiaan 1965-2005”, kumpulan cerpen-puisi-curhat-esai, Penerbit Malka – Bandung.

Tidak ada komentar: