Napas Daerah Berembus ke Pusat

http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=OASE%20BUDAYA&rbrk=&id=69494&postdate=2008-10-26&detail=OASE%20BUDAYA

Jurnal Nasional
OASE BUDAYA
Jakarta | Minggu, 26 Okt 2008
Napas Daerah Berembus ke Pusat
by : Theresia Purbandini

Jakarta sebagai ibu kota dengan segala hingar bingar kehidupannya, berlangsung serba cepat dan praktis dalam segala hal. Hingga akhir tahun 1990-an, era internet mulai menyambangi dan menyekat kesusastraan yang ada pada media koran ataupun majalah. Adanya internet, dianggap oleh Jonathan Rahardjo, penulis novel Lanang, justru mempersempit kesenjangan antara sastra daerah dengan sastra di Jakarta.

Namun, tak dapat dipungkiri, kegiatan penunjang kemajuan sastra di Jakarta jauh lebih banyak dan menjamur dibanding kegiatan di daerah. Jakarta ibarat etalase bagi begitu banyaknya kegiatan di segala bidang kehidupan kesenian, termasuk bidang sastra.

Sementara, bagi novelis Naning Pranoto, hampir semua pengarang Indonesia yang telah menulis karya-karyanya adalah kaum urban. Yakni orang-orang yang meninggalkan tempat kelahiran (daerah) menjadi imigran masuk ke kota-kota besar terutama Jakarta.

Ketika mereka berkarya mengambil setting Jakarta – misalnya, karena mereka telah menetap di Jakarta sebagai penduduk. Semisal Pramoedya Ananta Toer yang menulis Cerita Dari Blora, Romo Mangun menulis Burung-Burung Manyar dan Mochtar Lubis menulis Senja Di Jakarta serta STA menulis Layar Terkembang dan Dian Tak Kunjung Padam.

Bukan kesadaran sosiologis

Pada umumnya, menurut Naning, mereka menulis tidak dengan berdasarkan kesadaran sosiologis. “Jadi, sama sekali tidak ada maksud untuk mempertentangkan antara Jakarta (pusat) vs Daerah yang telah mereka tinggalkan. Kalau kemudian ada pengarang yang mengangkat warna lokal, itu hanya dikarenakan gerakan yang dipicu nostalgia,” ungkap penulis novel Musim Semi Lupa Singgah di Shizi ini.

Bagi Jonathan Rahardjo, kegiatan sastra tidaklah identik dengan keramaian. Namun, kegiatan sastra sangat dekat dengan sunyi dan kesendirian. “Hal ini lebih banyak dimiliki sastrawan di daerah yang berkarya di ruang sunyi. Namun ruang sunyi sendiri dalam konteks berkarya bagi setiap orang adalah berbeda-beda. Arswendo Atmowiloto justru sangat produktif di keramaian, sementara di sebagian banyak orang mereka lebih produktif dalam kesunyian,“ katanya.

Maka dalam konteks ini, hiruk pikuk bagi Arswendo adalah sunyi. Arswendo sendiri sekarang tinggal di Jakarta, sehingga ia lebih dikenal sebagai sastrawan Jakarta. Dengan konteks kemajuan berkarya sastra antara daerah dan Jakarta, maka menurut Jonathan soal kreativitas sejatinya tidak memandang lokasi, daerah atau Jakarta namun tergantung pribadi sastrawan masing-masing.

“Ada semacam memori, rasa kangen, kristalisasi pengalaman, yang semua dapat dengan deras ditumpahkan menjadi sebuah karya bila ia mengambil jarak dari kisah yang dituliskan. Tak mengherankan bila karya Korie Layun Rampan, Upacara yang mengisahkan kehidupan tradisi di Kalimantan malah ditulisnya di Jakarta sebagai orang urban. Bahkan karya Umar Kayam, Para Priyayi seingat saya juga ditulis ketika ia berada di luar negeri. Dalam konteks Jakarta vs Daerah, sulit memisahkan karya-karya tentang daerah ditulis orang daerah di daerahnya sendiri, sementara ia sudah menjadi orang Jakarta yang ternyata baru bisa menulis tentang Jakarta mungkin setelah dipisahkan waktu dan tempat,“ ungkap Jonathan, pemenang sayembara novel DKJ 2006 ini.

Tema pusat dan daerah muncul sejak Angkatan Pujangga Baru, dinilai oleh Naning, bahkan di luar negeri, tema seperti itu nyaris tidak bergema. Keadaan geografis, politik, kultural, Indonesia tidaklah sama dengan negara-negara lain misalnya seperti AS, Prancis, Jerman, Inggris dll. “Di AS tidak seperti di Indonesia, ada pusat dan daerah, dikarenakan sistem pemerintahan AS berbentuk federal, sehingga adanya negara-negara bagian (bukan pusat dan daerah),” katanya menambahkan.

Pergerakan peradaban

Sementara bagi Jonathan, karena sastra berpotensi strategis dalam menunjukkan pergerakan peradaban suatu lokasi, daerah misalnya, maka ada keterkaitan yang tak terpisahkan antara kehidupan di daerah dan di Jakarta dalam banyak novel Indonesia. Tema Jakarta dan tema daerah itu, muncul dalam kisah si tokoh cerita yang melibatkan mobilitas sosialnya.

Semacam novel Belantara Ibukota karya Umar Nur Zain, menceritakan tentang anak daerah yang ke Jakarta dan berubah gaya hidupnya di Jakarta dengan
segala macam kepelikan hidup. Novel Toenggoel mengisahkan kehidupan warok di Madiun dan gemblak yang kemudian tinggal Bandung. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menyuarakan kehidupan Ronggeng Srintil di Jawa Tengah.

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam menyuarakan kehidupan priyayi di Jawa yang tak lepas kisahnya dengan anak-anaknya yang kemudian tinggal di kota besar seperti Jakarta. Novel-novel Oka Rusmini menyuarakan perlawanan gender perempuan dan penindasan struktur sosial di Bali. Novel Hubbu tentang pencarian identitas sosial di dunia pesantren di daerah tapal kuda Jawa Timur dan Surabaya.
Sedangkan Naning berpendapat, masyarakat pembaca bisa mengetahui perbandingan situasi sosiologis ekonomi, politik, budaya antara pusat dan daerah dari novel-novel, tapi juga dapat tergelincir ke dalam informasi-informasi yang kurang valid apabila para pengarang tidak menulis berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya. Karena menurut Naning, yang juga rajin mengadakan berbagai workshop penulisan kreatif ini, pada umumnya pengarang Indonesia adalah orang-orang yang bekerja (do writing) berdasarkan intuisi, imajinasi, ilusi. Tidak berdasarkan observasi apalagi penelitian yang detail dan akurat.

“Tidak perlu menempatkan batas paradigma antar Jakarta Vs Daerah. Karena selalu ada perbedaan antara pusat dan daerah. Apa yang disebut kota pada dasarnya tidak lebih dari desa yang sudah mulai mengalami proses industrialisasi, kapitalisasi dengan segala risiko dan konsekuensinya. Harap diingat, ada pepatah yang mengatakan: Jakarta is the big village,” tutup Naning. Theresia Purbandini