Menghapus Mitos Penulis Kamar

Menghapus Mitos Penulis Kamar

oleh
Kurnia Effendi

http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1008099377523&mbox_pos=0#/note.php?note_id=60757824181&ref=mf

Ketika kutawarkan kepada Johanes Sugianto (salah satu pendiri dan pengelola Pasar Malam Reboan), asosiasi penulis cerita ANITA untuk tampil di Wapres Bulungan pada acara Reboan ke-12, disambutnya dengan suka cita.

“Aku mau memperkenalkan, bahwa di masa lalu ada sekelompok pengarang cerpen cinta untuk konsumsi remaja. Mereka adalah alumni pengarang majalah Anita Cemerlang (1979-2002). Setelah reuni 15 Februari yang lalu, aku ingin teman-teman yang terhimpun dalam Asosiasi Penulis Cerita (ANITA) bangkit untuk menulis lagi dan dikenal kembali oleh para pembacanya baik yang di masa lalu maupun di masa kini. Lebih dari itu, aku ingin menghapus mitos PENULIS KAMAR dan mengubah teman-teman menjadi PENULIS PUBLIK.”

Kesan bahwa para penulis Anita Cemerlang sebagai pengarang yang menulis dalam kesunyian kamar, mengirimkan karya ke majalah kesayangan, lalu merasa bahagia ketika pembaca di luar sana menggemarinya dan selanjutnya berkomunikasi semacam sahabat pena; cukup kuat di masa lalu. Sekarang perlu berubah tanpa mengurangi kepribadian sebagai pengarang yang santun.

Jo dan teman-teman Reboan segera memberikan panggung kepada kita. “Silakan mau tampil seperti apa, bebas saja!” Itulah kesempatan yang kemudian kita manfaatkan.

Tentu ini untuk yang tinggal di Jabodetabek. Dari 39 anggota ANITA yang konfirmasi mau hadir, tak sepenuhnya bisa datang karena pelbagai hal. Bambang Sukmawijaya mendadak ada meeting di kantornya. Emmy Rosnani tak diizinkan keluar malam oleh suaminya. Ida Ahdiah putranya panas. Tika Wisnu ke Bandung. Tina K menginap di Serpong agar mudah mengejar pesawat pagi ke Solo (liburan di rumah Sanie B. Kuncoro), Adek Alwi ada tahlilan 3 hari familinya. Kurniawan Junaedhie menjemput teman penyair dari Purwokerto yang membawa anaknya untuk dirawat di RS Jakarta. Endang Werdiningsih masih ada rapat PWI, Fitryan Dennis kenapa ya?… dst.

Tetapi mereka yang tak hadir ikut mendukung dari jauh. Dari rumah atau tempat rapatnya masing-masing. Dan kami yang meriung di Warung Apresiasi Bulungan juga gembira karena bisa berekspresi di atas panggung atas nama keluarga ANITA.

Kesempatan yang baik itu kugunakan untuk memperkenalkan organisasi kita, ANITA, yang dibentuk 15 Februari 2009. Baru sebulan usianya, namun telah memiliki sejumlah program ke depan.

(1) Dalam waktu dekat, majalah Kartini edisi Hari Kartini akan menampilkan sekitar 10 cerpenis alumni Anita Cemerlang dengan karyanya dalam bonus kumpulan cerpen. (Ya, di sana bakal ada Agnes Majestica, Nita Tjindarbumi, Dharmawati TST, Wibi Permani, Tina K, Tika Wisnu, E. Sati, Sanie B. Kuncoro, Yanthi Razalie, dll)

(2) Penerbit Gradien Mediatama akan meluncurkan antologi cerpen edisi koleksi Anita Cemerlang dari 55 penulis AC pada IKAPI book fair, Juni 2009 di Istora Senayan Jakarta.

(3) ANITA dan penerbit Hikmah akan bekerjasama untuk melahirkan sejumlah novel di tahun ini.

(4) ANITA akan menyelenggarakan workshop penulisan kreatif untuk SMP dan SMA di Jakarta bertepatan dengan liburan sekolah

Agenda itu kusampaikan di sela-sela pembacaan karya para penulis ANITA. Sembari melatih teman-teman untuk menghilangkan demam panggung. Sedikit pemaksaan untuk membangun mental, keluar dari “kamar sunyi penciptaan”

Putra Gara kupanggil pertama kali. Ia merasa sedang “pulang kampung” karena masa remajanya tumbuh di Gelanggang Remaja Bulungan. Ia dengan semangat berpromosi, membacakan petikan novel (yang hendak diterbitkan oleh Hikmah) “Samudra Pasai”:

“Lelaki itu berdiri tegak membelakangi matahari. Matanya terpesona memandang hamparan hasil kebudayaan yang belum pernah ditemukan dalam perjalanan hidupnya. Samudra Pasai nan gemilang! Ia sedikit melupakan embusan angina pesisir yang singgah ke kelopak telinganya. Ada bisikan yang lebih membuatnya tersihir, mantra agung yang mengatakan bahwa penaklukan selalu diawali dari penguasaan diri atas hasrat duniawi. Ah, aku hanya seorang Ibnu Batuta…”

Lalu kami panggil Susy Ayu untuk membacakan puisi ciptaannya. Puisi romantis-melankolis yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang… “Hai, Susy, segera postinglah puisimu itu!” Susy belum lama ini telah mengumumkan cerpennya di Harian Fajar Makassar.

Kebetulan malam itu hadir Triyanto Triwikromo, redaktur budaya harian Suara Merdeka Semarang. Jadi kuharapkan agar teman-teman dapat mengirim cerpen ke Suara Merdeka, dengan syarat maksimal 12.000 karakter.

Tampil berikutnya Reni Erina. Ia membacakan puisi “Pernah Ada Hari” dengan perasaan terbuka. Percaya atau tidak, Reni telah menulis lebih dari 100 cerpen untuk Anita Cemerlang mulai tahun 1991 sampai majalah itu tidak terbit lagi.

Selanjutnya kuminta Doni Indra untuk membacakan puisi pendek berjudul “Ritus Larut Malam”. Setelah itu giliran Ryana Mustamin menyajikan cerpen “Dahaga” yang telah diringkas sesuai kebutuhan pembacaan di panggung. Dengan suara yang enak didengar (ah, mantan penyiar Radio Rosa di Ujungpandang), pengucapan diksi dan intonasinya cukup dapat dinikmati.

Pada saat itulah, Weni Suryandari kemudian membatalkan rencana membaca cerpenku di atas panggung. Ya, sebetulnya aku juga berencana membaca petikan (bagian akhir) cerpen. Ada dua pilihan: “Cinta Separuh Malam” atau “Berjalan di Sekitar Ginza”. Dessy Sekar Astina, Presiden Forum Indonesia Membaca, sudah berulang kali mendesak. Namun rasanya ‘tak sopan’ jika aku mengambil jatah teman-teman untuk tampil, sementara aku sudah banyak berkicau di panggung. Jadi sewaktu Weni bermaksud mewakiliku untuk membaca “Cinta Separuh Malam”, aku senang sekali. Tetapi ujung-ujungnya, ia pun membatalkan penampilannya, hiks!

Maka sebagai pamungkas, kudaulat Iwan Soekri naik panggung. Ia membacakan 3 puisi dengan suara lantang, mengingatkan aku pada masa mudanya waktu berjaya di Bandung. Tak cukup dengan itu, dipanggilnya Irman Syah untuk ‘mendendangkan’ sajak Iwan Soekri yang berkisah tentang pahlawan Bandung, Mohamad Toha. Diakhiri dengan pembacaan puisi Iwan oleh Teguh Esha si Ali Topan.

Ayi Jufridar datang jauh-jauh dari Aceh, malam itu dalam kondisi terserang mag, sehingga hanya memotret dan meliput, mewakili harian Aceh Independence. Teman-teman ANITA yang lain: Yanthi Razalie, Ita Yunita Siregar, Fanny J. Poyk, Hans Miller Banureah, Prasetyohadi, Ags Arya Dipayana… Terima kasih telah ikut meramaikan, meski sebagian pulang sebelum acara berakhir. Yanthi harus ke RSPP, menunggui Dadang, teman sekelasnya waktu di SMA yang sedang koma (kemudian kudengar beritanya, meninggal pukul 5 pagi hari Kamis).

Hadir pula: Slamet Widodo, penyair sekaligus pengusaha (kusebut sebagai kapitalis perumahan). Doddy Ahmad Fauji, redaktur Jurnal Nasional dan ARTI, majalah seni budaya. Kirana, Yonathan Rahardjo, Setio Bardono, Yasa, Bambang Prasadhi (pelukis yang menjadi suami Ryana Mustamin), Eddy Soepadmo (mantan redaktur pelaksana majalah AZ-Zikra), Eka Kurniawan (Pena Kencana) bersama istrinya Ratih Kumala (in house produser untuk Bioskop Indonesia Trans TV), Dedy Tri Riyadi, Aqidah Gauzillah, Titik Kartitiani, Eva, Krisna Prabicara, Pakcik Ahmad, Nurdin dari Indosiar.com, dll.

Acara yang dipandu oleh Budhy Setyawan (pegawai negeri di Departemen Keuangan) dan Nina Yuliana (bekerja di departemen pengembangan training High Scope) berakhir menjelang pukul 23.

Mudah-mudahan, upayaku untuk menghapus mitos penulis kamar (siapa kenal Tina K, Tika Wisnu, Lutik S. Alibasyah, Dewi Tresnowati, Ida Cynthia, Reni Erina, Wibi Permani, Panca Triwati, dst selain melalui tulisannya di Anita Cemerlang, Gadis, dan Hai) menjadi penulis panggung dan tampak wajah oleh publik cukup berhasil. Sebab setelah ini aku masih punya beberapa agenda untuk membuat ANITA berada pada setiap lintas komunitas.

Dengan demikian, ANITA tidak harus duduk di pucuk menara gading lantas kesepian. Berkarya, menulis yang tak sekadar (meminjam istilah Iwan Soekri), dan menerbitkannya sebagai bacaan yang berkualitas sekaligus populer.

Selamat berkarya!

Dari Penulis Kamar Menuju Penulis Panggung

Sastra Reboan 12
Dari Penulis Kamar Menuju Penulis Panggung

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/03/28/09072078/dari.penulis.kamar.menuju.penulis.panggung

Sabtu, 28 Maret 2009 | 09:07 WIB

Para penulis cerita pendek di majalah Anita (kemudian menjadi Anita Cemerlang), yang popular tahun 1980-an bisa dibilang merupakan “penulis kamar” yang dikenal orang ketika karyanya dimuat di media. Begitu tahu dimuat, mereka membeli dan membicarakan dengan teman-temannya di sekolah atau kampus.

“Sudah saatnya kesan itu diubah. Para penulis Anita masih eksis dan banyak yang terus berkarya, dengan kualitas yang tak berubah bahkan bertambah. Tiba saatnya “penulis kamar” itu tampil kembali dan menjadi “penulis panggung” atau komunitas”, ujar cerpenis Kurnia Effendi di sela acara Sastra Reboan #12 di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu (25/03) kemarin.

Malam itu, di acara yang digelar secara rutin oleh Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSar MaLam) pada hari Rabu di akhir bulan, sebanyak 25 penulis cerpen Anita datang dan mengisi acara. Aroma nostalgia begitu kental dari para penulis ini, dengan jabat tangan, pelukan dan foto bersama.

Namun mereka tak sekedar bernostalgia, karena selain ikatan emosinal yang begitu kuat juga keinginan untuk terus berkarya bersama, hingga akhirnya membentuk Asosiasi Penulis Cerita (Anita) yang dipimpin oleh Kef, panggilan akrab Kurnia Effendi. “Saat ini sudah 140 orang yang terjerat datanya dari seluruh Indonesia,” ujar Kef yang sudah menyiapkan serangkaian program bagi asosiasi ini. Salah satunya dengan penerbitan buku antologi cerpen edisi koleksi Anita Cemerlang, yang memuat karya 55 cerpenis seperti pertama kali dimuat. Sedangkan menyambut Hari Kartini, 21 April karya 10 cerpenis akan ditampilkan di salah satu majalah wanita.

Rendezvous

Tema “Rendezvous” yang diusung Sastra Reboan #12 rupanya mengena juga dalam kenyataan. Rendezvous dengan sesama penulis tak hanya dinikmati para cerpenis Anita saja. Mereka yang hampir setiap hari berbincang di dunia maya lewat Face Book juga mewarnai malam itu, selain dari berbagai komunitas seperti kemudian.com, apresiasi sastra dan Bunga Matahari. Seperti Andreas F.Wong yang baru saja datang dari Palembang atau Rory Suryo yang keduanya tampil membaca puisi.

Maka begitu acara mulai bergulir, yang dibuka dengan senandung lagu lama “Juwita Malam” oleh Budhi Setyawan dan Nina Yuliana sebagai MC, lebih dari 100 pengunjung segera bertepuk tangan. Pembukaan yang menyegarkan para pengunjung yang telah bersusah payah menembus macetnya jalan di tengah guyuran hujan. Penampil pertama adalah penyair Gemi Mohawk yang membaca salah satu puisinya dari buku “Sirami Jakarta Dengan Cinta”.

Puisi terus mengalir. Mulai dari Khrisnapabicara, MC, Budhi Setyawan yang memang penyair dengan karyanya “Pengasihan” dan “Malam Pertama”, Setyo Bardono yang membawakan “Serangkaian Puisi Kereta” (gabungan 5 puisi digandeng kayak gerbong, ujarnya) serta Andreas T.Wong yang baru saja datang dari Palembang dengan puisi “Malin Kundang”, “Membela Diri”, “Pemilik Bumi” dan “Sebait Waktu”.

Di tengah bergulirnya acara dan terus mengalirnya pengunjung, diberikan door prize berupa buku karya Budhi Setyawan dan Kirana Kejora. Penyair Slamet Widodo tampak datang bersama cerpenis Eka Kurniawan dan Triyono Tiwikromo. “Baru rapat nih, mas”, ujar Triyono yang baru pertama kali menyaksikan Sastra Reboan. Sastrawan lainnya yang tampak hadir adalah Yonathan Raharjo, Pakcik Ahmad, Imam Maarif dan Nuruddin Asyhadie

Bengkel Sastra Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kemudian tampil membawakan musikalisasi puisi, salah satunya dari karya Radhar Panca Dahana. Mereka tampil pertama kali di Sastra Reboan, seperti halnya Kartika Kusworatri yang membawakan dua puisinya dan Tory Suryo dengan 3 puisinya.

Cerpenis, Ana Mustamin yang nama penanya Ryana Mustamin kemudian tampil di panggung, tapi bukan membaca cerpen. Kali ini sebagai Kepala Departemen Komunikasi AJB Bumiputera 1912 yang menjelaskan tentang Lomba Penulisan Cerpen dan Lomba Penulisan Esai sebagai bagian dari ulangtahun ke-97 perusahaan asuransi tertua di Indonesia ini. Kedua jenis lomba itu diadakan bekerjasama dengan PaSar MaLam.

“Kami selalu peduli pada dunia kreativitas, termasuk tulis menulis, seperti pada penyelengaraan Lomba Kreativitas Ilmiah Guru dan Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia. Kali ini Bumiputera mengajak para pecinta sastra untuk turut dalam penulisan cerpen, dan para blogger untuk esai”, ujarnya ketika ditanya Ketua PaSar MaLam, Johannes Sugianto dalam dialog singkat di panggung.

Usai dialog itu, Kurnia Effendi langsung didaulat oleh MC untuk memulai penampilan para penulis Anita. Dalam pengantarnya, Kef mencatat tiga hal istimewa untuk Sastra Reboan kali ini.

“Pertama, ini acara keduabelas, artinya April mendatang genap sudah setahun usia Sastra Reboan. Kedua, dengan peluncuran Lomba Cerpen dan Esai di sini, PaSar MaLam sebagai komunitas yang baru lahir setahun lalu bergandeng tangan dengan Bumiputera yang lahir 1912. Seperti kakek dengan cucunya. Ketiga, para penulis Anita berkumpul malam ini setelah Februari lalu sepakat membentuk asosiasi”, kata Kef.

Maka sang komandan ini lalu memanggil para penulis itu, yang dimulai oleh Putra Gara dengan membacakan petikan novelnya, disusul pembacaan puisi oleh Susy Ayu dengan “Isi Hati Laki-laki yang Mencintaiku”, Reni Erina (Pada Suatu Ketika), Dony Indra (Ritus Larut Malam) dan Sutan Iwan Soekri Munaf (Sayap Retak). “Grogi juga, mas. Makanya tidak jadi baca cerpen tapi puisi saja,” kata Susy Ayu. Hal serupa juga dikatakan oleh Reni Erina yang sudah 15 tahun tak pernah naik panggung.

Kemudian pentolan Komunitas Planet Senin, Irmansyah membacakan salah satu karya Sutan Iwan yang berjudul “Surat Pendek”. Pengarang novel “Ali Topan Anak Jalanan”, Teguh Esha juga membawakan puisi Sutan Iwan yang berjudul Mata Sepi dan puisinya sendiri Tembang Untuk Slamet Widodo

Penampilan terakhir dari para penulis ini oleh Ana Mustamin dengan cerpennya,”Dahaga” seperti mewakili kualitas karya para penulis Anita. Pengunjung terdiam mendengar kata demi kata dari cerita yang dialunkan dengan lembut tapi jelas oleh ibu satu anak ini.

Malam makin larut, dan MC mengakhiri Sastra Reboan #12 sambil mengingatkan akan acara berikutnya pada 29 April 2009, yang akan menampilkan antara lain 18 sastrawan Malaysia yang khusus datang dan ingin tampil di acara ini. (kir/gie)

Tentang Anak Walikota

Apa hubungannya antara angin malam, debu, asap, dengan penyanyi dangdut? Juga gak ada kaitan dengan anak walikota yang selalu keluar mobil. Apa suka jajan malam dengannya ? Kok kurang greget, ya tidak biasanya nulis begitu nls.

Anak Wali Kota

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=222884

Anak Wali Kota
Cerpen Yonathan Rahardjo

Sabtu, 21 Maret 2009
Ketika malam turun, mentari lari dari wajah belahan bumi. Udara mencekam dalam dingin, sapuan angin mengusir debu jalanan. Bahkan bis kota pun ketakutan, mereka masuk gubuk reyot, ada yang masuk kelambu merah. Bajai terseok-seok menyuruk kali, becak terbang ke bui. Tentu saja asap knalpot terbirit-birit dihembus udara lancang.
"Tidurlah malam hari, dengan jendela terbuka, agar angin malam membisikkan kenangan indah bagimu," katanya.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

Tentang Banjir Bik Sarti

Ceritanya rada bulat melingkar-lingkar. Situasi kurang tangkas dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Tapi cukup menolong di akhir cerita dalam menyelesaikan masalah. Memang abang doyan air banjir.

Restoe Prawironegoro Ibrahim

MANA MUNGKIN 'REKONSILIASI' -- JIKA NUNTUT FIHAK LAIN MELEPASKAN KEYAKINANNYA

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Rabu, 25 Februari 2009

MANA MUNGKIN 'REKONSILIASI' -- JIKA NUNTUT FIHAK LAIN MELEPASKAN KEYAKINANNYA



Dalam diskusi di Teater Utan Kayu, Jakarta, ketika peluncuran buku JJ Kusni ('Menoleh Silam, Melirik Esok' - Penerbit Ultimus Bandung, Feb. 2009), diajukan saran (oleh moderator Ikranegara) untuk mengadakan diskusi dan berusaha mencapai 'REKONSILIASI' bahkan 'perdamaian total'. <>.

Ternyata, dalam diskusi Teater Utan Kayu itu, masih ada fikiran sementara orang (penyair Taufik Ismail) , -- bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, ---- bahwa setiap manusia punya hak azasi untuk memiliki keyakinan sendiri baik itu politik, falsafah maupun religi, serta hak dengan bebas menyatakan fikirannya ---,
masih punya angan-angan hendak mencapai 'rekonsiliasi' bahkan 'perdamaian total' dengan prasyarat salah satu fihak melepaskan pandangan falsafah atau keyakinan politiknya.

* * *

Sebaiknya dibaca sendiri selengkapnya 'CERITA MATA' oleh Yonathan Rahardjo: 'Tentang Garis Lurus Taufik Ismail, Ikranegara dan JJ Kusni', seperti yang disiarkan oleh mailist 'Sastra Pembebasan' (24 Februari 2009). Secara pokok-pokok tulisan Rahardjo melaporkan tentang jalannya dan isi diskusi yang berlangsumg pada tanggal 22 Februari di Teater Utankayu, Jakarta. Temanya seperti tertera dalam undangan adalah mengenai DIALOG 'LEKRA' - 'MANIKEBU'. Suatu dialog yang diadakan dalam rangka peluncuran buku JJ Kusni.

Terima kasih tertuju pada Yonathan Rahardjo yang dalam batas tertentu berhasil memberikan gambaran substantif mengenai apa yang terjadi dalam dialog siang itu.

Digelarnya suatu diskusi mengenai polemik 'Lekra', 'Lembaga Kebudayaan Rakyat' vs 'Manikebu', 'Manifes Kebudayaan', yang berlangsung pada akhir pertengahan tahun 1960-an --- namun tidak rampung keburu dibubarkannya 'Manikebu' oleh Menteri PPK Prof Priyono, lalu naiknya Orba yang melarang 'Lekra', kemudian banyaknya tokoh dan anggota Lekra yang dibunuh mapun yang dipenjarakan atau dibuang ke Pulau Buru ---
, pasti menarik perhatian masyarakat. Dan betul, ternyata, seperti laporan Rahardjo ruangan Teater Utan Kayu penuh sesak.

Membaca laporan Rahardjo mengenai DIALOG UTAN KAYU tsb, orang dapat kesan bahwa yang didiskusikan samasekali BUKAN MENGENAI KONSEP SENI YANG MENJADI TEMA DIALOG LEKRA VS MANIKEBU pada pertengahan tahun 1960-an.

Seperti yang pernah ditulis di ruangan ini mengenai DIALOG UTAN KAYU, substansi polemik 'Lekra' vs 'Manikebu' itu adalah mengenai dua konsep seni. Yang satu adalah konsep 'SENI untuk SENI', serta kaitannya dengan pandangan Humanisme Universil. Ini pendapat 'Manikebu'. Konsep yang satu lagi adalah konsep 'SENI UNTUK RAKYAT'. Ini konsep 'Lekra'. Polemik dulu itu tidak sampai berakhir mencapai kesimpulan. Maka bila
diangkat kembali dan pendiskusian diteruskan, dalam suasana REFORMASI dan DEMOKRATISASI, maka bukan saja tidak ada salahnya. Tetapi akan merupakan suatu pengalaman baik bagi seniman, sastrawan generasi muda kita. Bukan untuk mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang.Tidak untuk memuja yang satu serta mengganyang yang lainnya. Tetapi untuk menggugah generasi muda untuk menstudinya, berani memikirkannya secara idependen, dan kemudian mengambil kesimpulannya sendiri.
Diskusi atau polemik seperti itu, bila dilangsungkan dengan semangat 'fair-play', transparan serta mengindahkan 'aturan main', atas dasar saling menghargai pendapat yang berbeda, maka itu akan merupakan pendidikan baik bagi generasi muda, yang haus mencari sumber inspirasi bagi karya-karya mereka. Dalam rangka membangun seni dan kebudayaan Indonesia yang BERKEPRIBADIAN INDONESIA.

* * *

Laporan Yonathan Rahardjo, seperti yang di-edit kembal, sbb: Secara menyolok penyair Taufik Ismail penuh semangat mengarahkan sasarannya pada Komunisme. Ia memojokkan komunisme dengan pernyataan-pernyataan tentang adanya sebuah jalinan antara Jakarta dengan benua Barat kala itu. Dendam Taufik Ismail terhadap lawan politiknya, sedemikian rupa sampai mengedepankan kebangkitan dari kubur para pendiri paham yang
keras dan kokoh pada keyakinan. Bahkan dari dalam kubur di London dan Moskow dibangkitkan Karl Marx dan Lenin, yang dengan rantai panjang disulurkan dari kegelapan masa silam, membelenggu pengikutnya hingga masa kini. Laporan Rahardjo a.l menguraikan bagaimana Taufik Ismail berorasi hendak menjelaskan bahwa ajaran-ajaran Marx dan Lenin masih berpengaruh di Indonesia.

'Cerita-mata' Rahardjo tentang Taufiq Ismail menguraikan betapa lihainya Taufiq Ismail yang menunjukkan bahwa dendam itu dimiliki oleh para pengikut Marx dan Lenin, dan bahwa dia (Taufik Ismail) sedih karenanya. Tidak seperti yang dilakoni Malaysia yang menghapuskan diskriminasi partai komunis Malaysia dan Afrika Selatan yang mampu
menyelenggarakan rekonsiliasi nasional. Taufik Ismail menyesali, mengapa Indonesia tidak mampu lepas dari dendam itu.

Yang anehnya, begitu Rahardjo dalam laporannya, Taufiq Ismail mengatakan, dendam ini adalah pada kaum kiri. Dan dia menggempur dengan pernyataan, bahwa, mestinya kaum (kiri) ini mau melupakan dendam itu dan sedia menciptakan perdamaian total dengan kelompoknya.

Rahardjo menjelaskan dalam laporannya, bahwa Taufik Ismail yang bukan korban kebiadaban pembantaian berjuta-juta orang PKI, malah minta para 'orang kalah' dalam pertarungan di bawah Orde Baru itu untuk melupakan dendam dan mau berdamai dalam suatu 'perdamaian total'.

Dari seluruh sikap dan emosi nada bicaranya, sangat tampak justru dialah (Taufik Ismail) yang mengidap dendam. Sebuah dendam yang sangat aneh bagi sebagian besar orang yang hadir sore itu. "Bukankah Taufiq bukanlah orang yang kalah dan menderita serta terrampas hak-hak azasinya selama puluhan tahun seperti halnya orang-orang Lekra? Apa alasan utama Taufik Ismail harus menunjukkan rasa dendam dengan menuding orang-orang itu?" . Dendam kesumatnya terhadap ideologi komunis dengan nyata dikaitkan dengan keberadaan Lekra dan tentu saja JJ Kusni, yang dianggapnya mewakili Lekra pada acara dialog yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu. Demikian Rahardjo.

Lalu, seorang anak muda menyeletuk, "Taufiq pendendam!". Angin dendam macam itu pun menjadi nyawa-nyawa yang telah binasa, namun, tetap bergentayangan mencari kebenaran. Seorang hadirin menanggapi, bahwa, presentasi 'Rekonsiliasi' yang ditawarkan merupakan hal yang sangat terlambat. Sebab hal itu sudah dilakukan sejak lama. Putu Oka Sukanta, yang hadir di situ, menceritakan kisah terlunta-luntanya ia mencari harkat dan mengadakan perdamaian dengan berbagai kalangan yang dulu menganiayanya. Bahkan, penganiayaan itu pun baru berkurang tahun lalu, soal kepemilikan KTP seumur hidup bagi orang seumurnya yang baru didapat setahun silam.

* * *

Ikranagara selaku moderator pun mengatakan rekonsiliasi sebetulnya sudah berlangsung bertahun-tahun silam, seperti terjadi di Taman Ismail Marzuki (TIM) di mana para seniman bebas untuk berkarya bersama tanpa memandang dia aliran kiri atau kanan; Lekrais ataupun Manikebuis. Di antara pembicara ada yang mengemukakan bahwa untuk
rekonsiliasi tentulah pihak-pihak yang berdamai, seyogianya ada pada kedudukan hukum yang sama. Sungguh aneh, bilamana dalam rekonsiliasi satu pihak, Lekra, masih saja dirampas hak-haknya. Setidaknya secara hukum mereka dihapuskan dari cap bersalah dan terlarang. Karena nyatanya sampai sekarang belum dihapuskan TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Lekra yang dicap juga sebagai underbouw PKI.

Beberapa hadirin tampak sepakat tentang ketidakadilan dalam tawaran 'perdamaian' macam ini. Sungguh aneh bila yang berkuasa menuntut perdamaian bagi sang pesakitan dan terhukum, tanpa ada saling mendudukkan perkara. Padahal yang disebutkan rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan, sejatinya sebelum rekonsiliasi nasional Pemerintah telah lebih dulu mengadakan pengadilan secara hukum. Dalam bukunya JJ
Kusni berusaha menjawab kejanggalan-kejanggalan tawaran Taufik ini.

* * *

Taufik Ismail, dalam diskusi tsb tanpa basa-basi melakukan penindasan intelektual terhadap ideologi komunis. Selama 30 tahun Taufik Ismail adalah bagian dari kekuasaan Suharto. Meskipun sudah melalui reformasi, hatinya tak terketuk untuk bicara lebih moderat. Taufik Ismail berbeda dari Goenawan Mohammad yang juga bicara sore itu. Taufik Ismail samasekali tidak menyisakan sebuah pencarian baru guna menjembatani Indonesia, menuju masa depan dengan masalah kekinian yang ditawarkan oleh Ikranegara. Demikian anatara lain tulis Rahardjo.

Taufik Ismail masih tetap anti-komunis. Ia menuntut kaum Marxis dan yang sefaham, agar membuang jauh-jauh ideologi Marxis-Leninis, untuk (bisa) berjabat tangan dengan 'kelompoknya' -- entah kelompok yang mana -- dalam suatu 'perdamaian total'.

* * *

Pendeknya, lapor Rahardjo, ---- sore itu Taufik Ismail adalah anti-komunis dan menganggap bahwa JJ Kusni dan Lekra itu komunis. Kusni yang mengaku Marxis itu, menyatakan bahwa Lekra itu bukan PKI. Dari bukunya, tersirat Marxis macam apa JJ Kusni itu. Demikian Rahardjo.

Moderator Ikranegara yang menyatakan tak tau-menahu tentang pertentangan Lekra - Manikebu (ketika itu ia masih duduk di SMP) menyatakan bahwa yang hadir dan ambil bagian dalam diskusi, hanya mewakili dirinya masing-masing.

Yonathan Rahardjo akhirnya menyimpulkan antara lain sbb: Taufik Ismail adalah penandatangan Manikebu yang belum berubah. Taufik ketinggalan dibandingkan dengan rekan-rekannya seperti Goenawan Mohammad, Arief Budiman, apalagi Sanento Yuliman (almarhum) yang mengaku betul-betul m e n y e s a l ikut menandatangani Manikebu. Kesadaran itu timbul setelah ia tau ada militer di belakangnya. Juga hal itu yang membuat WS Rendra tidak mau hadir dalam acara pandantanganan Manifes Kebudayaan ketika itu.

Yang perlu diperhatikan ialah begitu banyaknya mahasiswa/mahasiswi dari salah satu universitas di Jakarta, yang hadir dalam DIALOG UTAN KAYU itu.

Bagi yang sudah tau duduk perkaranya, semua ini semakin memperkokoh pemahaman betapa kosongnya yargon-yargon dendam tanpa pembelajaran itu. Membaca buku JJ Kusni, akan diperoleh jawaban sejauh mana keyakinan terhadap perjuangan anti-penindasan dan anti-penghisapan dapat mewujudkan cita-cita bersama dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Di saat perjuangan dewasa ini, segala kelompok tak perduli dari golongan manapun, harus bahu membahu membebaskan bangsa dan negeri dari penindasan dan penghisapan kolonialisme. Mestinya perbedaanideologi tak menyebabkan pertikaian. Semua harus duduk dalam satu front-bersama menghadapi tantangan bersama. Demikian kutipan dan cuplikan dari laporan Yonathan Rahardjo, mengenai DISKUSI UTANKAU dengan acara POLEMIK 'LEKRA' - 'MANIKEBU'.

Diskusi di Teater Utan Kayu, paling tidak membantu kita , menyadari betapa tidak mudahnya usaha mencapai REKONSILIASI apalagi PERDAMAIAN TOTAL, bila itu benar-benar didasarkan atas kebenaran dan kedilan, atas dasar dilempangkannya pemelintiran sejarah yang berlangsung selama lebih 30 tahun rezim Orba .

* * * * *

Tentang Cerpen Lelaki dalam Gendongan

Cerpen bagus menggetarkan hati saya. Bawel juga ya pak tua itu usah minta ribet lagi gak tahu orang lagi kesusahan gimana lagi rasanya kayak tsunami

Restoe Prawironegoro Ibrahim

Tentang Cerpen Lelaki dalam Gendongan

Saya baca Sinar Harapan malam ini (20 Desember 2008), dalam kolom budaya cerpen yang ditulis oleh Mas Yonathan "Lelaki dalam Gendongan" saya sangat terkesan sekali, mengusung nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan beragama, yang saat ini sudah mulai terkikis. Ini sangat menarik bila dikaitkan dengan konteks sekarang.

Isma
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta

Tentang Cerpen Tanya Tukang Cuci

Tanya Tukang Cuci, bagus, sederhana, menggelitik, dengan maksud yg jelas

Dari Peringatan HUT Ke-4 Milis Apresiasi Sastra : KEMBALI DIGUGAT DOMINASI SASTRA KORAN

http://oase.kompas.com/cakrawala

Dari Peringatan HUT Ke-4 Milis Apresiasi Sastra :
KEMBALI DIGUGAT DOMINASI SASTRA KORAN

Bila boikot terhadap media cetak yang dikatakan oleh Saut Situmorang adalah dalam konteks politik sastra yang memasung karya sastra, dengan mengedepankan kelompok-kelompoknya sendiri, hal itu harus didukung.

Demikian dikatakan oleh Hudan Hidayat, cerpenis yang menjadi pembicara dalam diskusi "Sastra Internet dan Masa Depan Sastra"yang menampilkan penyair Saut Situmorang, Nurudin Asyhadie dan tokoh blogger Indonesia, Enda Nasution.

Mereka tampil dalam diskusi yang diselenggarakan dalam peringatan ulang tahun milis sastra terbesar saat ini, Apresiasi Sastra (Apsas) ke-4 di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Izmail Marzuki, Jakarta 31 Januari 2009. Selain diskusi, acara yang berlangsung meriah dengan hadirnya lebih dari 150 Apsasian (sebutan bagi anggota Apsas) dan para sastrawan, juga diisi dengan pembacaan puisi, musik, teater dan bedah buku.

Diskusi itu sendiri berlangsung meriah, penuh dengan gugatan terhadap dominasi sastrawan dan kelompok tertentu terhadap dunia sastra seperti tampak di media massa koran, terutama dari Hudan dan Saut. Enda memberi siasat bagaimana agar sastra di Internet bisa memanfaatkan
kekuatan yang mereka miliki dan justru tak terdapat pada media cetak, salah satunya ialah immediacy (kekinian), yang bersifat langsung, tanpa jeda dan ada link yang memungkinkan setiap hal bertaut.

Sementara uraian Nuruddin Asyhadie yang kali ini tampil dengan uraiannya yang serius untuk forum yang sudah cair oleh acara sebelumnya, dia menerangkan signifikansi sastra di media Internet, meskipun sampai sekarang tampaknya makin mirip dengan sastra cetak.

Agus Noor yang memandu acara dengan celetukannya yang segar dan sering bikin ketawa, membuat suasana hidup dan setia pada jalur., masalah sastra cyber atau internet kembali mengemuka seperti perdebatan tahun 2002 lalu. Saat itu Saut dalam tulisannya yang terangkum dalam buku Cyber Graffiti Polemik Sastra Cyberpunk mengatakan "Pada mulanya adalah kejenuhan. Kejenuhan pada hegemoni kekuasaan media massa cetak Koran yang kebetulan punya halaman "sastra" pada edisi hari Minggu-nya, yang sebenarnya tidak lebih dari semacam "sisipan after thought" atas keberadaan apa yang disebut sebagai Sastra Indonesia Modern.

Sikap yang tak berbeda ditunjukkan oleh Saut Situmorang yang bahkan mengajak untuk melawan sastra koran dan menguatkan sastra Internet. Bahkan kata penyair berambut gimbal yang dibiarkan memanjang ini, kalau mau menguatkan sastra Internet, penulis (sastrawan) harus berani meninggalkan sastra koran, jangan menulis atau langganan harian. Dia menyatakan sastra Internet sampai sekarang masih belum diakui keberadaannya oleh sejumlah kalangan, terutama kritikus dan para redaksi sastra koran--apalagi 4-5 tahun lalu. Sebagian kritik
menilai, sastra Internet ialah tong sampah. Ironik, sekarang para pengkritik itu beberapa di antaranya malah menfaatkan blog dan semacamnya, terutama situs jaringan sosial seperti milis dan Facebook.

Lain lagi dengan gugatan dari Hudan Hidayat yang begitu pedas, dengan berulang kali mengatakna bahwa Sapardi adalah pembunuh terbesar sastra Indonesia, termasuk di antaranya Agus R. Sardjono dan Putu Wijaya.Pernyatan ini mengundang tanggapan dari penyair, Suparwan
G.Parikesit yang meminta Hudan menjelaskan pernyataannya yang kontroversial itu. Pada bagian lain, Saut dan Hudan secara terbuka mengecam Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, juga Dewan Kesenian Jakarta.


Tumpengan

Peringatan ulangtahun ini tidak hanya menyedot kehadiran Apsasian tapi juga anggota milis lainnya seperti kemudian.com yang cukup banyak, warung puisi.com dan bunga matahari. Mereka juga turut mengisi acara seperti pembacaan puisi oleh Khrisna Pabicara dan R.Mega Ayu yang tampil cukup ekpresif di awal acara.

Saat ini anggota Apsas, yang berdiri pada 5 Januari 2005 memiliki anggota sebanyak 1.621 orang, yang tersebar di berbagai daerah hingga luar negeri. Perayaan ulangtahun baru diadakan saat menginjak usia kedua pada 2007 di toko buku Aksara dan 2008 di Japan Foundation. Saat ini milis yang aktif mengadakan diskusi dan pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen karya Apsasian ini memiliki 8 moderator, jumlah paling besar untuk sebuah milis.

Para moderator yang memiliki posisi sejajar dan bekerja secara kolektif ini terdiri dari Djodi Sambodo alias Lembayung Sepi di Arizona, Amerika, Sigit Susanto (Zurich, Swiss), Mega Vristian (Hongkong), Yahya Tirta Prawira (Salatiga), Hernadi Tanzil (Bandung), Dorsey Elisabeth Silalahi (Jakarta) Didik Eko Wahyudi atau "Cak Bono" dan Lan Fang, keduanya di Surabaya.

Menurut Ketua Panitia HUT Apsas ke-4, Ilenk Rembulan dan wakilnya, Sahlul Fuad, diadakannya acara di PDS HB Jassin mempunyai makna lebih karena PDS yang berlokasi di TIM sebagai salah satu satu sentra kegiatan sastra, merupakan pusat dokumentasi sastra terbesar. HB Jassin juga kritikus sastra yang sangat dihormati oleh semua kalangan.

Sejak pagi Apasasian mulai berdatangan. Mengisi daftar hadir, menyodorkan Rp 5.000,- untuk sebuah pin yang cantik kreasi Fitri sebagai tanda masuk. Begitu juga tas yang juga dijual serta buku-buku karya anggota Apsas. Nina Yuliana, Setio Bardono,Dedy Tri Riyadi, Nana, Veve, Mila, Weni dan relawan lainnya segera sibuk menerima tamu, jajanan atau sumbangan lain dari Apsasian.

Acara yang dipandu oleh MC Budhi Setyawan (penyair yang juga penggiat Sastra Reboan) dan Feby Indriani (cerpenis) bergulir dengan mulusnya. Diawali dengan perkenalan dari masing-masing pengunjung, acara segera diawali dengan tampilan para penyair seperti Widzar Al Ghifary dari Bandung, Kuntet Dilaga dan musik oleh Band Black Pear.

Di tengah acara juga diumumkan para pemenang Lomba Kritik Buku Puisi dan Lomba Penulisan Pantun Satire. Pemenang Lomba Pantun Satire 1. Mochamad Faizun, 2. St. F. Ragilf dan 3. Sigit Susanto. Lomba Kritik Buku Puisi tidak menghasilkan pemenang, namun juri memberikan apresiasi pada Wayan Sunarta yang meresensi Dongeng Anjing Api karya Sindu Putra. Selain itu diadakan door prize berupa buku-buku sumbangan dari Apsasian serta penerbit seperti Kafi Kurnia dari Akoer dan Anton Kurnia dari Serambi.

Diskusi pertama dibuka dengan bahasan akan buku "Menyusuri Lorong-Lorong Dunia II" karya Sigit Susanto oleh Anwar Holid dengan moderator Sahlul Fuad. Buku ini, kata Anwar Holid yang penulis dan publisis, menunjukkan keseriusan Sigit Susanto dalam menuliskan pengamatannya di setiap lokasi yang dijejakinya. Pembaca tidak hanya disodori pengalaman perjalanan yang ditulis dengan bahasa jurnalistik yang enak tapi juga terselipkan bahasa sastra yang enak dikunyah.

Menginjak tengah hari suasana makin meriah dengan hadirnya para sastrawan seperti Sitor Situmorang, Afrizal Mana, Sitok Srengene, Wowok Hesti, Tulus Wijanarko, Rachmat Ali, Arie MP Tamba, Kurnia Effendi, Ana Mustamin, Dharmadi, Damhuri Muhammad, Irmansyah, Imam Maarif, Sihar Ramses Simatupang, A.Badri AQT, Kirana Kejora, Yurnaldi, Joko Sumantri, Purwiyanto hingga artis yang sekarang aktivis di Komnas Anak, Wanda Hamidah.

Apsasian yang hadir tak hanya dari Jakarta, termasuk wakil Moderator Apsas, Dorsey Elisabeth Silalahi (Ochie) tapi juga dari daerah semisal Gita Pratama dari Surabaya, Adi Toha (Bandung), Diani dan Jasmine dari Pekanbaru. "Saya penggemar sastra, dan bisa hadir di acara semeriah ini sungguh menggembirakan," kata Jasmine yang mahasiswi di salah satu PTS di Kediri.

Penampilan Whatever band dengan pentolannya, Iwan Sulistiawan yang dikenal dengan nama Bung Kelinci makin membuat meriah suasana. Beberapa pengunjung larut dan menggoyangkan badannya ketika lagu demi lagu diluncurkan. Bung Kelinci juga menampilkan teater Pintu 310 yang menampilkan cuplikan novel `Lanang" karya Yonathan Raharjo dan monolog dari buku puisi "Otobiografi" Saut Situmorang serta cerpen karya Akmal Nasery Basral. Tak kalah segarnya penampilan penyair Slamet Widodo yang khusus menulis puisi "Caleg" untuk dibacakan di HUT Apsas ini.

Novelis Yonathan Raharjo sendiri di acara ini menjadi moderator saat berlangsung dialog dengan Anindita Siswanto Thayf, pemenang Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008 dengan novelnya "Tanah Tabu". Yonathan menggantikan Zai Lawanglangit, penyair yang mendesain backdrop HUT Apsas dan sedang sibuk dengan pekerjaannya hingga hanya bisa hadir sebentar di awal acara. Dialog dengan Aninditia ini dibawakan dengan menarik oleh Yonathan, dengan humor-humor segarnya yang mengundang applause pengunjung.

Di tengah acara, terdapat peristiwa langka, yang menurut penyair Dharmadi merupakan sejarah, saat Saut Situmorang didaulat ke depan untuk menerima potongan nasi tumpeng dari Sitok Srengenge. Saut bersama Wowok Hesti dikenal sebagai tokoh Boemipoetra yang berpandangan dan menentang keras dominasi Komunitas Utan Kayu dengan salah satu tokohnya Sitok Srengenge.

Sitok dengan tenang diiringi tepuk tangan meriah memotong tumpeng dan sebagian lauknya, menaruh di piring dan menyerahkan kepada Saut. Keduanya lalu berangkulan, dan ditimpali oleh "Saat ini Saut bernama Saut Srengenge", celetuk Agus Noor diikuti oleh Apsasian yang lain.

Peringatan ulangtahun ke-4 kali ini juga diisi dengan ziarah ke makam Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer di Pemakaman Karet Bielvak keesokan harinya (01/02). Mereka adalah mata kanan dan mata kiri sastra Indonesia, kata Saut Situmorang usai menaburkan bunga di makam kedua sastrawan tersebut.

Sampai bertemu di hut Apsas tahun mendatang.(yo)

HUT Ke-4 APSAS [Ep. 2]

HUT Ke-4 APSAS [Ep. 2]

Ditulis oleh Adi Toha jalaindra di/pada Februari 8, 2009

bagian ke 2 dari 3 tulisan.

apsasDari terminal lebak bulus, saya naik metromini no. 20 sesuai petunjuk Kang Yonathan lewat percakapan di Facebook. Turun di Tugu Tani, nyambung lagi naik no.20 yang ke arah TIM. Sampai di TIM, saya bertanya kepada pak Satpam, di manakah PDS HB Jassin. Saya melangkah sesuai yang ditunjukkan oleh pak satpam itu: di belakang planetarium, ada pagar seng, masuk saja. Tampak beberapa anak kecil tengah berkerumun di depan planetarium. Genangan-genangan air sisa hujan (mungkin semalam) terlihat di sepanjang aspal. Dalam jarak beberapa puluh meter, tulisan plang PDS HB Jassin mulai terlihat. Saya tersenyum senang, ini dia tempatnya. Di bawah plang, menempel di pagar seng selembar kertas putih bertuliskan HUT APSAS dengan tanda panah hitam di bawahnya. Saya pun berbelok mengikuti tanda panah itu menyusuri sebuah jalan sempit.

Hanya dalam beberapa langkah, mulai terlihat beberapa orang yang wajahnya sudah saya kenal, meski lewat foto-foto di facebook atau multiply, tengah duduk di atas tangga yang menuju ke sebuah ruangan. Mungkin ruangan itulah yang akan digunakan untuk kegiatan. Saya pun mulai melangkah menaiki tangga. Di ujung tangga atas, terlihat seorang perempuan yang saya ketahui dari foto-fotonya bernama Gita Pratama tengah duduk sambil menghisap rokoknya. Saya pun menyalaminya, kali pertama saya bertemu dengannya, meskipun telah kenal sekian lama di dunia maya. Di sana juga ada Mirza, sang “bayi sehat”, dan beberapa teman dari kemudian.com.

Masuk ke dalam ruangan, ternyata berpuluh orang sudah datang ke tempat acara. Saya melihat Kang Yonathan Rahardjo, Setiyo Bardono, Budhi Setyawan, Mbak Ilenk, Cak Lul, Fitri dan beberapa nama lagi serta beberapa wajah yang tidak saya kenal. Setelah mengisi buku tamu dan mendapatkan plester pengenal yang bertuliskan nama, saya melayangkan pandangan mata panggung acara, terlihat banner bertuliskan “SASTRA MILIK SIAPA?” yang merupakan tema HUT APSAS ke-4 tahun ini. Sambil menunggu acara dimulai, saya duduk di luar ruangan, di tangga atas sambil menyalakan rokok. Satu persatu orang datang menaiki tangga. Ada Febi Indirani, Krishna Pabichara, Bambi Cahyadi, Kef, Ana M, Endah dan beberapa orang lagi.

Acara akan segera dimulai. Orang-orang yang datang mulai memenuhi gelaran karpet berwarna merah, menghadap ke panggung acara. Di depan panggung, Febi Indirani dan Busyet memandu acara. Saya menebarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari wajah-wajah yang saya kenal. Ternyata, tak jauh dari tempat saya duduk, saya melihat mas wartax (Anwar Holid) dan Widzar, yang datang dari Bandung naik kereta pagi. Saya menghampiri mereka dan berucap sapa. Mas Wartax lalu menceritakan perjalanannya, bagaimana dia dan Widzar yang tadinya janjian untuk ketemu di Stasiun Bandung dan berangkat bareng, karena sesuatu hal, justru ketemunya setelah mereka masing-masing turun dari kereta di stasiun Gambir . Meskipun kami bertiga sama-sama dari Bandung, tetapi kami berangkat sendiri-sendiri. Perjalanan dari Jatinangor ke Jakarta lebih mudah ditempuh dengan bus Primajasa Jurusan Garut-Lebak Bulus dari pintu tol Cileunyi dari pada harus naik kereta atau travel.

Acara dimulai dengan perkenalan satu persatu orang yang hadir. Dipandu oleh Febi dan Busyet, masing-masing orang memperkenalkan dirinya. Setelah memperkenalkan diri, seseorang harus menunjuk satu orang lain untuk memperkenalkan diri, begitu seterusnya. Saya ditunjuk oleh Veve, teman di kemudian.com untuk memperkenalkan diri. Dan saya menunjuk MbahYus (Yuswan Taufik) untuk memperkenalkan diri. Perkenalan diri Krishna Pabichara, disekaliankan dengan pembacaan puisi yang cukup panjang olehnya, pembacaan puisi pertama di acara yang cukup membuat mereka-mereka yang datang bertepuk tangan.

Acara demi acara bergulir satu persatu. Ada pidato kenegaraan dari mbak Ochi mewakili moderator Apsas, pidato kenegaraan mbak Ilenk yang dilanjutkan dengan tiup lilin kue ulang tahun Apsas yang ke-4, dilanjutkan dengan potong tumpeng. Ada yang menarik dan bikin heboh, tidak hanya bagi semua pengunjung yang hadir, bahkan bagi jagad sastra Indonesia, di mana APSAS menjadi mediator bertemunya dua kubu Perang Sastra Bumipoetra VS Utan Kayu, dalam satu keakraban potong tumpeng. Ya, Saut Situmorang mewakili Bumipoetra dan Sitok Srengenge mewakili Utan Kayu didaulat oleh panitia untuk potong tumpeng bersama dan saling tukar tumpeng potongannya. Keakraban dua kubu ini tak pelak lagi menjadi sasaran para juru foto dadakan yang akhirnya menemukan momen paling bersejarah di awal tahun 2009, yang bakal menjadi Head Line surat-surat kabar. Bahkan ada celetukan, bahwa keduanya telah bertukar nama. Saut Situmorang menjadi Saut Srengenge dan Sitok Srengenge menjadi Sitok Situmorang!

Acara wawancara dan diskusi dengan pemenang sayembara novel DKJ 2008, mbak Anindita, dengan novelnya yang berjudul Tanah Tabu, dipandu oleh kang Yonathan Rahardjo, yang juga salah satu pemenang sayembara novel DKJ tahun sebelumnya (2007) dengan novelnya yang berjudul Lanang. Kang Yonathan memancing mbak Anin dengan pertanyaan-pertanyaan seputar prestasi penulisan, proses kreatif Tanah Tabu, dan proses kreatif novel-novel mbak Anin secara umum. Ternyata, mbak Anin tidak hanya menulis novel Tanah Tabu, tetapi juga menulis novel remaja dan bahkan buku non-fiksi budidaya Kaktus dan merawat kucing. Ada sesuatu yang bisa dipelajari, bahwa untuk menulis novel, dibutuhkan konsentrasi dan fokus terhadap apa yang akan kita tulis. Jika ingin menulis novel remaja, maka sebelumnya disarankan membaca banyak novel remaja, agar sense remajanya masuk ke dalam novel yang akan kita tulis tersebut. Begitupun jika ingin menulis novel genre lain. Kang Yonathan memeragakan penjelasan mbak Anin tentang pindah-pindah genre dalam proses kreatifnya ini dengan memutar tombol khayal di kepalanya seperti tengah mencari chanel radio. Di jeda acara, dilakukan pembagian doorprize. Saya termasuk yang beruntung mendapatkannya. Hehehe. Lumayan, dapat tambahan koleksi tiga buku. Saya kaget sewaktu nama saya dipanggil untuk menerima doorprize, kebetulan waktu itu, saya sedang ngobrol dengan mas Enda Nasution, tokoh blogger Indonesia, dan meminta sedikit saran darinya untuk pengembangan Bahureksa Blogger Community, sebuah komunitas blogger Pekalongan yang sedang saya gagas. Kebetulan mas Enda duduk di dekat saya, langsung saya sapa dan ajak ngobrol sebelum akhirnya dia dipanggil ke depan untuk menjadi salah satu pembicara.

Semakin acara bergulir, semakin banyak orang yang datang, tidak hanya para Apsasian, juga beberapa sastrawan lain. Di antara mereka, yang bisa saya kenali adalah Sitor Situmorang, Wowok Hesti, Agus Noor, Afrizal Malna, Rachmat Ali, Kurnia Effendi, Endah Sulwesi, Ana Mustamin, Damhuri Muhammad, Joko Sumantri, Dedy TR, Yohanes Sugiyanto, Pakcik, Kirana Kejora dan banyak lagi. Dalam acara HUT APSAS, yang selalu tidak ketinggalan adalah Bung Kelinci dengan rombongan teater dan musiknya. Kali ini BK menampilkan adaptasi novel Lanang dalam bentuk tari teatrikal.

Salah satu rangkaian acara adalah bedah buku “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 2” yang ditulis oleh salah satu moderator Apsas, Sigit Susanto. Diskusi menghadirkan Anwar Holid yang dipandu oleh Sahlul Fuad (cak lul). “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 2” adalah buku catatan perjalanan Sigit Susanto dalam berkunjung ke beberapa negara di Eropa, yang dilengkapi dengan informasi kebudayaan dan kesusastraan di negara-negara yang dikunjunginya tersebut. Anwar mengupas kelebihan dan kekurangan buku tersebut. Menurutnya, selain berisi data-data tentang negara beserta sastrawan di negara yang dikunjunginya, sisi-sisi dramatis perjalanan seorang Sigit Susanto juga dituliskan di sana. Buku tersebut bisa digolongkan sebagai travel-guide, juga bisa sebagai travel literature, genre yang belum banyak digeluti para penulis kita.

Sesi diskusi utama dengan tema “Sastra Internet dan Masa Depan Sastra” menampilkan empat pembicara yakni Saut Situmorang, Nurudin Asyhadie, Hudan Hidayat dan Enda Nasution, dipandu oleh moderator Agus Noor. Enda Nasution mengatakan bahwa internet atau dunia maya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan dunia nyata. Para penghuninya, dalm konteks ini, mereka yang mengoptimalkan blog, forum online, facebook dan lain-lain sebagai media berkarya, adalah individu-individu yang berani, karena ketika mereka menampilkan karyanya di internet, mereka harus siap dengan segala komentar dan diskusi yang muncul. Media online juga memungkinkan kekinian, interaksi dan kesalingterkaitan. Hal inilah yang seharusnya menjadi keunikan dan kekuatan yang tidak dimiliki media cetak. Nurudin mengutip tagline WordPress, salah satu penyedia platform blog, “Code is Poetry” dan penafsiran-penafsiran lain tentang sastra cyber. Mendengar penjelasan Nurudin, terus terang saya tidak mudheng. Satu hal yang saya tangkap, bahwa untuk benar-benar menjadi sastrawan cyber, seseorang harus mengetahui dan mengerti bahasa pemrograman. Doooh.. segitu rumitkah untuk bersastra di dunia maya? Saut Situmorang menggaungkan kembali ajakan untuk melawan dominasi sastra Koran, salah satunya dengan ajakan agar tidak lagi menulis atau berlangganan Koran, terutama kompas dan tempo yang menurutnya kental akan dominasi kelompok sastra tertentu. Saut juga mengatakan bahwa sastra Internet sampai sekarang masih belum diakui keberadaannya. Ia mengingatkan kembali akan tulisan Ahmadun beberapa tahun silam yang mengatakan bahwa sastra internet adalah tong sampah. Hudan Hidayat yang pada pembukaan diskusi tampil energik dengan gerakan striptease-nya mengatakan dengan penuh semangat bahwa Sapardi Djoko Damono adalah pembunuh terbesar sastra Indonesia.

Diskusi berlangsung sebagaimana wajarnya diskusi. Celetukan-celetukan Agus Noor, dan pernyataan-pernyataan Saut yang kadang mengundang tawa, membuat diskusi tidak sunyi. Yang menarik adalah, pernyataan dan pertanyaan dari salah seorang penanya, penyair Suparwan Parikesit yang menyatakan bahwa ia sangat mendukung kelompok-kelompok yang anti-kemapanan, termasuk dalam sastra. “Jangankan kelompok sastra, jika kalian mau mendirikan negara baru pun, saya akan mendukung,” ujarnya menyemangati forum diskusi. Ia juga menuntut Hudan untuk menguraikan dengan lebih jelas, mengapa Hudan mengatakan bahwa Sapardi adalah pembunuh terbesar sastra di Indonesia.

Acara dilanjutkan dengan baca puisi oleh beberapa orang pengisi acara, dilanjutkan dengan pembagian doorprize dan pengumuman pemenang lomba-lomba Apsas. Karena saya tidak mengikuti satu pun lomba-lomba dalam HUT Apsas kali ini, saya memilih keluar dari ruangan, duduk di tangga atas dan merokok. Tak berapa lama, Agus Noor keluar ruangan juga, duduk di beberapa tangga di bawah saya, dan merokok. Saya memberanikan diri untuk menghampirinya, berkenalan dan mengajak ngobrol. Kami ngobrol sebentar tentang proses kreatifnya dan penting tidaknya soal kubu-kubuan dalam bersastra bagi penulis pemula. Agus mengatakan bahwa pada dasarnya, persoalan proses kreatif adalah persoalan soliter. Sebuah komunitas, kadang bisa menjadi candu dalam berproses, ketika sudah merasa nyaman dalam sebuah komunitas, kecenderungan untuk keluar dari itu akan susah, karena ketika keluar, seseorang harus berani dan percaya diri akan dirinya sendiri, dengan segala karya dan proses kreatifnya sendiri. Sebuah karya yang diakui oleh kelompok manapun.

Tak terasa waktu semakin sore. Doorprize-doorprize telah habis dibagikan. Acara demi acara telah selesai ditampilkan. Puisi-puisi telah dibacakan. Acara peringatan HUT Apsas Ke-4 diakhiri dengan foto bersama dengan latar belakang backdrop acara. Satu persatu Apsasian mulai berpamitan pulang. Saya bingung memutuskan apakah langsung pulang ke Jatinangor sore itu juga, ataukah menginap dulu di tempat seseorang dan ikut acara keesokan harinya, ziarah ke makam Chairil dan Pram. Kebetulan Om Yo menawarkan diri agar saya menginap di rumahnya. Namun, setelah acara makan-makan bareng panitia di warung Alex, saya memutuskan untuk menginap di rumahnya Cak Lul saja. Paginya, saya yang membonceng Cak Lul, langsung ke pemakaman Karet Bivak.

http://jalaindra.wordpress.com/2009/02/08/hut-ke-4-apsas-ep-2/

Banjir Bik Sarti

Cerpen Yonathan Rahardjo
http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Cerpen&rbrk=&id=77852&postdate=2009-01-11&detail=Cerpen


“Biar, dia tidak tahu diri. Biar sakit.”

“Tapi dia sendiri kan sedang dalam musibah.”

“Biar! Hanya menjenguk saja masa tidak bisa.”

Sia-sia kuceritakan perjumpaanku dengan Bik Sarti, yang biasanya memasak, mencuci pakaian dan bersih-bersih rumah. Ibu yang merasa kesakitan dan hanya bisa menenangkan diri di atas pembaringan di tempat pengungsian, begitu kesal hati, sejak hari pertama pengungsian tidak pernah dijenguk perempuan itu.

“Dia kan sudah kubayar. Mestinya dia tetap menjalankan tugasnya menyediakan makanan.”

“Ibu, ia sendiri juga kebanjiran dan mengungsi. Rumah Ibu dipenuhi air setinggi lutut, di mana dia harus memasak?”

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

Menelaah Sastra Kontemporer Kita; Dicari: Pengamat Sastra yang ”Banal”!

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0901/10/bud01.html


Menelaah Sastra Kontemporer Kita
Dicari: Pengamat Sastra yang ”Banal”!



Oleh
Sihar Ramses Simatupang

Jakarta – Siapakah pengamat yang menggali nama pengarang di luar kubu Humanisme Universal, di luar nama Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, Wiratmo Soekito, Gerson Poyk atau HB Jassin – termasuk Chairil Anwar? Siapakah yang menggali kekuatan sastra, tentu selain nama Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi atau Utuy Tatang Sontani di kubu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)? Sudah banyak!
Yang belum banyak adalah pengamat yang menimang karya pengarang di luar kubu di atas, pada zaman itu. Karya dan biografi pengarang berkualitas lainnya yang berada dalam keanggotaan Lesbumi atau LKN misalnya, atau bahkan yang berasal dari pihak independen alias pengarang yang tak berpartai - tentu selain nama Iwan Simatupang!
Dalam kriteria semacam itu, tak ada juga yang memungut nama penyair yang ikut merekonstruksi pantun modern Indonesia selain Amir Hamzah atau penyair kontemporer Sitor Situmorang yang sebagian pengamat menganggap puisinya bernuansa pantun kontemporer. Siapa juga yang mempertanyakan kemodernan dan kecanggihan struktur puisi penyair selain Chairil Anwar?
Pertanyaan yang umum adalah, masihkah ada pengamat yang banal, berpikir rekonstruktif apalagi dekonstruktif terhadap tatanan yang mapan selama ini? Rata-rata berusaha nyaman dalam kemapanan sejarah mainstream, semua cenderung konvensional.
Mereka tak berani menggali atau menafsir sejarah baru, atau sejarah yang tertinggal. Mungkin karena tak mau lelah, sulit untuk berkonsentrasi, ingin menghemat biaya penelitian seminimal mungkin, atau terbentur dana akademis. Tak ada lagi ”ajip-ajip” lain, yang melakukan tindakan seperti Ajip Rosidi, meyakinkan publik tentang periodisasi sastra, lalu menggugat sejarah versi Jassin yang membagi sejarah sastra berdasarkan angkatan 1928,1945,1966 dst. Pengamat sekarang nyaris tak ada yang menolak kategori atau sistem referensi di atas. Misalnya dengan membuat sejarah sastra per tahun, per wilayah di Indonesia - termasuk sastrawan yang eksil dan merantau, atau kategori usia (mengapa tidak?).
Itu belum terjadi. Yang dilakukan pengamat adalah selalu berada di jalur aman, membaca, menilai karya sastrawan yang mapan di jalur sejarah. Pengamat sekarang tak mengambil risiko, tak menguji kekuatan pengamatannya dari hasil pembelajaran akademis bertahun-tahun, malah ”menjilat” sejarah beku, dengan cara (lagi-lagi) menulis, membahas karya sastrawan tua yang karyanya sudah dibahas puluhan bahkan ratusan pengamat lain lewat ribuan tulisan.
Tradisi akademisi (sastra) yang dulunya kuat dengan pemaparan sistematika, objektivitas dan metode, pada akhirnya semakin ”memenara gading”, sehingga menjadi bumerang buat dinamika sastra.
Hal itu semata karena ketidakjujuran konsep, polarisasi kelompok sehingga makin terasa usaha "pilih kasih" terhadap setiap amatan teks. Hasilnya, sejarah dan analisis sastra kemudian cenderung tak berani membongkar wilayah baru gagasan, kepengarangan, apalagi konsep dan perubahan yang terus berkembang di segala zaman.
Minimnya Peran Akademisi
Pandangan post modernisme berupa the other, liyan, di Indonesia yang seharusnya membuka kotak pandora sejarah sastra, malahan merelatifkan setiap pengarang, teks dan konsepnya. Hal itu terjadi dalam kesusastraan. Yang mengemuka bukan lagi pada gagasan (yang begitu banyak bermunculan), justru perhatian publik lebih tercurah kepada siapa yang berbicara.
Pertaruhan selanjutnya adalah gagasan yang cenderung diterima publik justru adalah jaringan, media massa bahkan propaganda. Memasuki pola ini, maka yang akan terbaca kemudian adalah perbincangan teks-teks karya sastra yang dangkal dan di permukaan saja. Buku yang disarankan media, televisi, atau penerbitlah yang dibaca. Fungsi akademisi dan fungsi sastrawi para pengamat kemudian tergantikan oleh tawaran konseptor yang bermotif sensasi, politisasi dan industri. Kita butuh karya seperti Mashuri, Tusiran Suseno, Calvin Michel Sidjaja, Junaedi Setiyono, Yonathan Rahardjo, Anindita Siswanto Thayf, dibahas karyanya, bukan dengan hanya menyodorkan namanya belaka.
Di fase semacam ini, sulit untuk menentukan kualitas, karena pengamat yang seharusnya menguji kualitas teks secara estetis, etis, dan logis, tergantikan para medioker dan "konseptor tak tulus" tadi. Maka, pembaca (atau yang belum membaca dan setengah membaca pun) menjadi tersesatkan oleh informasi-informasi "picisan"!
Publik pun dipermainkan oleh euforia yang silih berganti, dari "kulit" sebuah teks, ke "kulit" teks yang lain. Di tataran ini, sulit untuk menentukan kekuatan teks "Laskar Pelangi" Andrea Hirata, "Rahasia Meede, Harta Karun VOC" Es Ito, "Mahasati" Qaris Tajudin, "Bilangan Fu" Ayu Utami, misalnya, kecuali mengujinya dalam perjalanan kurun waktu dan radius jangkau para pembacanya. Selama apa teks bertahan dan sebesar apa komunitas yang menggemarinya. Apalagi, bila gemuruh pembicaraan tak lagi mengarah kepada soal teks secara mendalam, namun hanya mengarah pada kemasan alias hanya di permukaan. Persoalan waktu dan ruang ini setidaknya telah dilewati oleh Katrologi "Bumi Manusia" Pramoedya Ananta Toer, "Burung-burung Manyar" YB Mangunwijaya, atau Trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" Ahmad Tohari.
Nama-nama penulis kontemporer yang disebutkan di atas bukan tak mungkin muncul, bertahan bahkan menguat di perjalanan sejarah. Karena itu, diperlukan pengamatan teks atas estetika, etika dan logika yang lebih teliti, bukan euforia yang sekadar menyertakan biografi pengarang, latar komunitas pengarang, ataupun politik si pengarang (dengan kawan-kawannya) saja. Bila pun fenomena terakhir ini dilakukan, niscaya karya sastra itu akan lumpuh dan mati dengan sendirinya. Kenyataannya, beberapa (buku) karya sastra yang belakangan digenjot lewat publikasi sensasional pun kemudian harus bertekuk lutut oleh debu di rak buku atau berakhir dengan desah kekecewaan si pembaca yang tangannya kemudian menumpuk buku di lemari terbawah dalam perpustakaan pribadinya.
Hanya pengamat sastra yang menyediakan waktu, pikiran, tenaga dan dana, yang dapat menyelamatkan situasi ini. Mereka, tentu terbendung oleh kekuasaan media massa, penerbitan, sewa ruang diskusi, atau mahalnya biaya pulsa internet demi melempar opini di situs ataupun milis. Namun, pengamat tetap harus bicara! Akademikus harus keluar dari tembok kampusnya dan bersuara! Tatkala sensasi semakin kotor, analisislah yang membersihkannya. n