Meramu Majas Dalam Wawasan Estetik

Pikiran Rakyat, 29-02-2004

Meramu Majas Dalam Wawasan Estetik

Antologi Puisi : A. Badri AQ.T, Sihar Ramses Simatupang dan Yonathan Rahardjo
Penerbit : Rumpun Jerami, 2003.

PERJALANAN ini terasa terjal. Terlalu banyak tikungan yang harus dilewati. Terdapat jalan menurun, dengan lembah curam di sisi kiri-kanannya. Tak jarang jalan pun mendaki, merambah gigir bukit, dengan karang menjulang tinggi. Bayangan batu seperti makhluk asing, yang siap menerkam di keheningan alam.

Pada musim penghujan, malam semakin dingin. Seseorang datang menghampiri, serupa angin yang mengusik tidur. Kata-kata tak beraturan muncul begitu saja, memenuhi ruang yang nyaris beku. Sungguh, dalam keletihan yang terus memburu, saya sulit untuk memahami rangkaian kalimat yang tiada henti menghujam pikiran.

Waktu menyerupai gelombang, yang bergerak mengikuti garis kumparan, kadang arahnya mendatar, tetapi acapkali juga tegak vertikal. Ada yang bisa ditangkap barang sejenak, dan di sana lahirlah sebuah puisi (l'instant poetique).

Saya memperkirakan puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi "Padang Bunga Telanjang" bercirikan ungkapan yang muncul dari bukaan sejenak diafragma pengamatan penyairnya. Dari kegelisahan yang menjalar di sepanjang pembuluh darah, menjelma bisikan hati yang terus menggumpal dalam ingatan.

Dalam membangun puisi, terdapat dua perangkat pokok yang harus dimiliki penyair, yaitu majas dan wawasan estetik. Cara pemakaian kedua perangkat itu akan sangat menentukan kualitas bangunan puisi, apakah menyangkut konstruksinya, material yang dipakai atau segi arsitekturnya. Seandainya penyair masih gagap mempergunakan kedua perangkat itu, akan sangat terasa bagaimana penampakan bangunan puisi yang dihasilkannya. Memang puisi itu hadir sebagaimana adanya, namun tentu saja pembaca dapat melakukan penilaian atas dasar pemenuhan cita rasanya. Ibarat aneka makanan yang disajikan di atas meja, apakah memenuhi standar menu? Terlalu pedas, tidak terasa garamnya atau terasa manis bagaikan kolak. Orang akan dengan mudah menilai, bahwa juru masaknya kurang pandai meramu resep makanan, sehingga olahannya kurang memenuhi cita rasa orang lain. Kendati dalam kaitan ini penyair memiliki hak istimewa, untuk mengatur dan merumuskan resep kreatifnya, namun sebagai karya seni, tentu saja peranan wawasan estetik, akan menentukan nilai puisinya.

Dari beberapa puisi yang tersaji dalam antologi ini, para penyairnya masih bergulat untuk mencari jurus yang tepat dalam memakai kedua perangkat di atas. Pencarian merupakan proses yang dilalui oleh setiap seniman. Hal itu merupakan hal yang akan terjadi, tak ada kata henti. Kita lihat puisi "Sajak Jingga" karya Badri, Tanpa kejaran bayangmu/ aku tak bisa merasakan perih/ walau sebilah pisau/ siap menggores nadi// ingin kucabut pasak/ di mana kaki ini pernah berpijak/ herannya tak ada yang mau peduli/ apalagi di sini// sehari dalam diri/ hampa kian meraja/ rasanya malas buat bertanya/ tapi bayang itu selalu/ meminta kejar.

Sebuah potret manusia yang dilanda kesepian. Pasti hampir setiap manusia pernah mengalami keadaan seperti itu. Sementara itu Sihar Ramses Simatupang menyajikan perasaan yang menyergap kesendiriannya dalam "Kepada Mu", Sisipkan aku dalam desahan angin/ di pagi buta// sebab masih ada sisa/ airmata senja yang mengalir dari anak/ rambutnya ke ujung jarimu// dan berikan aku minum/ kita tunggu lagi mata air/ dari pagi-pagi yang tercipta/ pada pembaringanmu...

Yonathan Rahardjo mengangkat tema yang sudah lazim digeluti oleh banyak penyair, yakni suasana sunyi. Kita simak "Bunyi Sunyi":

Anak sepi menahan duka/ hidup memang tidak mengenal kosa kata// biarkan diterbangkan air/ biarlah disapu angin// gigil tetap bukan segalanya/ pijar pijar jingga cukup serta menemani// ia membalut petang// ia membalut pagi.

Sebagai catatan, pemakaian majas pada dasarnya harus dikendalikan oleh wawasan estetik, sehingga bisa berjalan efektif. Tampaknya kinerja pemakaian perangkat itulah yang pada akhirnya tercermin dari puisi-puisi yang disajikan. Akhirnya penilaian akhir ada di tangan pembaca. (Juniarso Ridwan)

Tidak ada komentar: