MERAH LURUS MERAH LIKU

Cerpen: Yonathan Rahardjo
Buku Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, Penerbit Malka-Sastra Pembebasan, 1965

Kemresak buah pisang jatuh ke bumi menerobos daun-daun kering berwarna coklat, dan bergedebuk di atas tanah membangunkan Asti, tersentak dari kekusutan mencengkeram. Suasana rumah yang gelap yang semua jendela dan pintu rumah ditutup pada siang itu tidak bisa melebihi gelap hati dan gelap gulita pikiran yang membutakan kebahagiaan yang baru dirajut beberapa tahun menikah dengan pemuda guru yang tekun, rajin membaca dan bekerja, dan perhatian padanya.

“..Hardo, suamiku..,” ia tanyakan pada angin, kabar perlakuan para santri berkopiah dan bersarung terhadap orang-orang yang dituduh tersangkut paut dengan partai besar, menyodok dan menyudutkan suaminya dalam kondisi, ‘menyesakkan,’ batinnya.

“Bagaimana nasib suamiku?”... gelisah rasanya, tahu persis suaminya aktif pada pergerakan partai besar itu.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

BACALAH! AMIN.

Bahasan Kumpulan Puisi Amin Setiamin `Waduk Itu Luka'

Oleh: Yonathan Rahardjo*
- Dimuat di Jurnal Meja Budaya
- Disampaikan pada Diskusi Sastra Meja Budaya di PDSHB Jassin Taman Ismail Marzuki Jakarta, 2 April 2004

Menikmati karya-karya Amin Setiamin dalam buku kumpulan sajaknya Waduk Luka, atau siapapun dalam karya apapun, awalnya sebaiknya tidak dipengaruhi tentang berbagai komentar yang dilontarkan banyak pengamat dan bahkan penulisnya sendiri tentang seluk-beluk latar belakang situasi dan kondisi penyairnya sendiri, baik secara lisan, di berbagai media lain, bahkan di pengantar buku ini sendiri.

Tidak sehat menjadi kuda bebal yang menarik pedati puisi yang sudah sarat muatan karena sudah mengenal siapa penulisnya, bagaimana seluk-beluk kehidupannya dalam hal perpuisian maupun dalam keseharian dan berdasar riwayatnya sedari kecil, bagaimana hebatnya puisi-puisi ini pernah diusung dari satu tempat ke tempat lain dan dihadirkan dalam suatu pertunjukan yang berlatarbelakang suatu tragedi politik dalam perjalanan hidup bangsa ini.

Tidak. Puisi haruslah mandiri sebagai suatu teks. Apalagi tema pembahasan pada acara sore ini adalah tentang bukunya sendiri Waduk Luka, bukan tentang penyairnya dan tetek bengek sebagainya. Kalaupun semua di luar teks itu sah untuk sebuah bahasan, itu ada waktunya sendiri, paling tidak di akhir pembahasan tentang teks-teks Amin sendiri.

Paling nikmat dan mandiri adalah: mari mandi di sungai puisi waduk luka sendiri.

Membaca puisi-puisi Amin sesuai daftar isi buku urut dari halaman depan sampai belakang, sangat berbeda rasanya dengan membaca urut menurut tahun pembuatannya. Perbedaan ini terutama dari segi tema. Kata lainnya membaca dengan dua metode berbeda ini akan memberikan efek pembacaan yang berbeda. Pastilah ada alasan tersendiri bagi Amin mengurutkan judul puisi sesuai daftar isi buku, perlu kita tanyakan pada penyair ini.

Kali ini metode kita membaca berdasar urutan tahun pembuatan. Di situ kita menjumpai kesamaan tema pada tahun pembuatan yang sama. Juga ketahuan proses kegelisahan penyairnya dari waktu-waktu. Bukankah merupakan suatu rentang yang panjang, antara tahun pembuatan 1991 dengan 1999, satu windu sendiri. Tiga puisi tanpa tahun pembuatan, dua puisi saya beri tanda tanya tapi setelah saya tambahi tahun pembuatannya 1998, berdasar perkiraan merujuk tema yang senafas dengan tema puisi tahun-tahun itu. Satu puisi saya tambahi tahun pembuatannya 1992 plus tanda tanya berdasar perkiraan membandingkan dengan tema yang senada dari puisi tahun itu. Tentu saja dengan memperhatikan tempat pembuatannya.

Alasan metode pembahasan semacam ini jelas, lahirnya suatu puisi tidak lepas dari pengalaman batin penulisnya yang berbeda menurut pengalaman dan masa yang berbeda. Paling jelas setelah pembaca tahu apa yang dialami penyairnya juga situasi sekitarnya, pada tahun-tahun itu, yang biasanya disertakan dalam pembahasan puisi yang melibatkan histori penyairnya.

Dalam tabel ini kita masih coba memetakan. Lepaskan dulu kualitasnya.


No
Judul
Hlm
Tempat Dibuat
Thn
Tema
Teknis Penulisan

15
Ibu
19
Solo
1991
Kasih ibu kepada anak sepanjang jalan
Rima akhir

16
Wal Hasil
20
Solo
1991
Kembalinya sukma ke pencipta
Membariskan penggalan kalimat, rima

29
Tindakan
39
Solo
1991
Rakyat mesti melawan penindasan dan menang
Membariskan penggalan kalimat

34
Api Kehidupan
45
Solo
1991
Tentang berkurangnya umur manusia
Membariskan penggalan kalimat

35
Jauh Membekas Keesokan Hari Pedih
46
Solo
1991
Kehidupan masih ada harapan
Membariskan penggalan kalimat dan kata penekan

36
Jiwa
47
Solo
1991
Jiwa itu seperti api
Membariskan kata dan penggalan kalimat

38
Pelacur di Tengah Jalan
49
Solo
1991
Pelacur yang penuh derita, dikalahkan iblis, dan mesti bertobat
Membariskan penggalan kalimat

39
Dunia Penuh Hura
51
Solo
1991
Asal senang, manusia tak peduli semua binasa
Membariskan penggalan kalimat

40
Sajak Kerinduan
52
Solo
1991
Hidup kosong, ada rindu entah pada siapa Membariskan penggalan
kalimat, pengulangan kata sama di awal baris

41
Sajak Berduri
53
Solo
1991
Patah hati tak mematikan kehidupan
Membariskan penggalan kalimat, pengulangan kata yg sama di awal alinea

42
Mata
55
Solo
1991
Jiwa galau, resah, sunyi, sendiri dan kegagalan Cinta
Membariskan penggalan kalimat, deskripsi

43
Kupanggil Aisya
57
Solo
1991
Cinta pada seseorang yang tlah lama dinanti
Membariskan penggalan kalimat

46
Malam Menanti Malam
62
Solo
1991
Apapun terjadi di alam, tapi yang ada hanya malam
Membariskan penggalan kalimat, narasi

47
Kisah Semalam Suntuk
63
Solo
1991
Perjuangan hidup menghadapi kesudahan
Membariskan penggalan kalimat, narasi

22
Dari Zaman ke Zaman
30
Solo
1992
Manusia edan di segala jaman
Pengulangan narasi serupa, pengulangan kata yang sama

32
Saat Mata Berkata
43
Jakarta
1992?
Indahnya lamunan
Membariskan penggalan kalimat, irama, rima awal dan akhir, sama kata

37
Birunya Sebuah Keinginan
48
Jakarta
1992
Keinginan yang dikabulkan ilahi
Membariskan penggalan kalimat

11
Di Alam
15
Jakarta
1993
Keserakahan manusia merusak alam
Membariskan penggalan kalimat

13
Retrospeksi
17
Jakarta
1993
Memaknai alam dan umur tua
Membariskan penggalan kalimat, irama sama, rima awal, rima akhir

14
Introspeksi
18
Jakarta
1993
Untuk apa semua ada?
Rima, pengulangan kata yang sama

31
Sajak Buah Hati I
42
Jakarta
1993
Penyebab sia-sianya suatu kasih
Membariskan penggalan kalimat, persamaan kata, metafora

33
Menanti
44
Jakarta
1993
Alam dicipta untuk manusia
Membariskan penggalan kalimat

1
Berkabung
2
Jakarta
1996
Misteri kematian yang menakutkan
Membariskan penggalan kalimat, deskripsi mengalir, metafora

2
Adzanku Hari Ini
3
Saidi Guru
1996
Kehidupan roh orang beriman
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

3
Hatimu Menyelimutiku
5
Saidi Guru
1996
Seorang menyertai perjalanan rohani
Membariskan penggalan kalimat

4
Interaksi
6
Saidi Guru
1996
Upaya dan hubungan dengan sosok teladan tuk capai kehidupan mulia
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

5
Seorang Ustad
8
Saidi Guru
1996
Pengorbanan diri tuk jadi manusia mulia
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

6
Merenungi Kesempatan Sempurna
10
Jakarta
1996
Kegagalan tuk perbaiki kesalahan diri
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

7
Lukisan Nabi Muhammad I
11
Saidi Guru
1996
Tentang tokoh yang dihebatkan
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

8
Lukisan Nabi Muhammad II
12
Saidi Guru
1996
Tentang seorang tokoh pujaan
Membariskan penggalan kalimat, Irama

9
Setan Membawa Rintangan
13
Saidi Guru
1996
Kesiapan mempertanggungjawabkan eksistensi
Membariskan penggalan kalimat, minim rima

10
Aku Tak Peduli Padamu
14
Saidi Guru
1996
Pasrah pada kenyataan yang saling membinasakan
Membariskan penggalan kalimat, irama

12
Wujud Kita di Tengah Jalan
16
Jakarta
1996
Hidup ini berwarna-warni
Membariskan penggalan kalimat

17
Waduk Luka I
21
Jakarta
1996
Penderitaan akibat pembangunan waduk tak peduli masyarakat
Membariskan penggalan kalimat, rima

18
Waduk Luka II
22
Jakarta
1996
Korban-korban pembangunan waduk
Membariskan kata, penggalan kalimat, narasi

19
Waduk Luka III
24
Jakarta
1996
Pembangunan waduk makan korban
Membariskan penggalan kalimat

23
Seorang Hamba
31
Jakarta
1996
Penderitaan warga pembangunan waduk tak diperhatikan pengusaha
Bariskan penggalan klmt, 1 al 1 klm panjang, sama anak klm awal,
Deskripsi

45
Malam Cinta
60
Jakarta
1996
Kenduri Cinta
Membariskan penggalan kalimat, sedikit
Rima, derat nama

20
Pemerintahan Orde Baru I
26
Jakarta
1998
Seruan kepada pemerintah supaya jaga tindakan
Membariskan penggalan kalimat, kesamaan nilai

21
Pemerintahan Orde Baru II
28
Jakarta
1998
Derita rakyat di mata pejabat dan rakyat
Membariskan penggalan kalimat

24
Diponegoro Aman
33
Jakarta
1998
Turut dalam kerumunan massa di tempat-tempat utama Reformasi
Membariskan kata dan penggalan Kalimat, narasi kisah

26
Pengkhianat
35
Jakarta
1998
Kemarahan pada pengobral janji tak ditepati
Bariskan penggalan klm, sama kata di awal klm sbg rima, jajar kt brnilai sama

28
Pahlawan-Pahlawan Kesiangan
38
Jakarta
1998?
Kekecewaan terhadap reformasi yang banyak cacat efek samping
Membariskan penggalan kalimat, deskripsi, kt awal alinea sama

30
Perjuangan dan Pengorbanan Para Mahasiswa
40 -
1998?
Penindasan yang dirasakan oleh mahasiswa
Membariskan penggalan kalimat, deskripsi rasa dan tindakan

44
Pernyataan Singkat Cinta Pahlawan Reformasi kepada Pacarnya
58
Jakarta
1998
Janji Ketemu Pahlawan Reformasi di Alam Baka
Membariskan penggalan kalimat, pengucapan narasi kepada orang kedua

25
Selamat Jalan Pahlawan Reformasi
34
Jakarta
1999
Janji ketemu pahlawan reformasi di alam baka
Bariskan penggalan klm, sama kata di awal klm, tgh klm, ucap kpd org ke2

27
Ke Arok Bobrok
36
Jakarta
1999
Keburukan-keburukan Rezim Orde Baru
Membariskan penggalan kalimat Rima



Tema Puisi Amin

Terasa bukan, tema-tema yang serumpun pada puisi-puisi Amin yang dibuat tahun 1991. Tema-tema Kasih ibu kepada anak sepanjang jalan; Kembalinya sukma ke pencipta; Tentang berkurangnya umur manusia; Kehidupan masih ada harapan; Jiwa itu seperti api; Pelacur yang penuh derita, dikalahkan iblis, dan mesti bertobat; Asal senang, manusia tak peduli semua binasa; Hidup kosong, ada rindu entah pada siapa; Patah hati tak mematikan kehidupan; Jiwa galau, resah, sunyi, sendiri dan kegagalan Cinta; Cinta pada seseorang yang tlah lama dinanti; Apapun terjadi di alam, tapi yang ada hanya malam; Perjuangan hidup menghadapi kesudahan.

Tema-tema puisi ini mencerminkan apa yang dirasa penyairnya terhadap kehidupannya yang masih penuh tanda tanya, masih mencari diri, kerinduan pada orang-orang yang dicintainya, mencari makna hidupnya, baik dengan mersakan nilai-nilai maupun mengamati alam. Yang mengejutkan di tahun ini ada satu tema yang aneh dalam rumpun senada itu, yaitu tema Rakyat mesti melawan penindasan dan menang dalam puisi berjudul Tindakan. Perlu ditanyakan pada penulisannya apakah sudah benar pencatuman tahun pembuatan ini.

Pada 1992 masih di Solo, tepatnya Jagalan Solo, tema yang diangkat masih senada dengan rumpun tema itu, yaitu Manusia edan di segala jaman.

Ada pergerakan kegelisahan penyair pada tahun selanjutnya, di tempat yang berbeda. Pada 1992 tapi di Jakarta, tema yang diangkat soal: Keinginan yang dikabulkan ilahi, Indahnya lamunan.Terasa sebagai semacam kelanjutan dari perenungan-perenungan yang masih mencari-cari di masa sebelumnya.

Tema selanjutnya makin kritis, memainkan unsur-unsur sebab akibat. Lihat pada tema-tema puisi pada 1993 yang dibuat di Jakarta ini, tema soal: Keserakahan manusia merusak alam; Memaknai alam dan umur tua; Untuk apa semua ada?; Penyebab sia-sianya suatu kasih; Alam dicipta untuk manusia.

Pada 1996 tema puisi yang diangkat hampir semuanya tentang kegidupan religi, keagamaan, spiritualitas: Misteri kematian yang menakutkan; Kehidupan roh orang beriman; Seorang menyertai perjalanan rohani; Upaya dan hubungan dengan sosok teladan tuk capai kehidupan mulia; Pengorbanan diri tuk jadi manusia mulia; Kegagalan tuk perbaiki kesalahan diri; Tentang tokoh agama yang dihebatkan; Tentang seorang tokoh agama pujaan; Kesiapan mempertanggungjawabkan eksistensi hidup; Pasrah pada kenyataan yang saling membinasakan; Hidup ini berwarna-warni.

Pembuatan puisi-puisi religi itu rata-rata tertulis di Saidi Guru Blok A, dan ada yang cuma tertulis Jakarta. Tentang Saidi Guru itu rasanya seperti suatu pesantren, tepatnya bisa ditanyakan pada penyairnya.

Pada tahun yang sama, 1996, juga diangkat tema: Penderitaan akibat pembangunan waduk tak peduli masyarakat; Korban-korban pembangunan waduk; Pembangunan waduk makan korban; Penderitaan warga pembangunan waduk tanpa diperhatikan pengusaha. Sudah jelas arah tulisan ini dibuat, terkait dengan suatu peristiwa sosial pembangunan waduk yang terangkat sebagai peristiwa memilukan nasional.

Ada lagi tema pada 1996 ini: Kenduri Cinta. Bisa ditebak pengalaman penulisnya dalam suatu acara sastra agamawi.

Pada 1998 dibuat di Jakarta, sangat jelas tema puisi yang diangkat seputar gerakan reformasi: Seruan kepada pemerintah supaya jaga tindakan; Derita rakyat di mata pejabat dan rakyat; Turut dalam kerumunan massa Di tempat-tempat utama Reformasi; Kemarahan pada pengobral janji tak ditepati; Janji Ketemu Pahlawan Reformasi di Alam Baka, Kekecewaan terhadap refeormasi yang banyak cacat efek samping, Penindasan yang dirasakan oleh mahasiswa.

Pada 1999 dibuat di Jakarta, tema puisi yang diangkat masih sekitar reformasi, yaitu: Janji ketemu pahlawan reformasi di alam baka; Keburukan-keburukan Rezim Orde Baru.

Sungguh, mencoba menikmati dan memahami puisi-puisi karya Amin, temanya terasa sangat dekat antara satu tema dengan tema yang lain terasa masih dalam satu rumpun makna. Baik itu memaknai ketuhanan, kondisi politik, sosial, cinta dankesendirian, masing-asing mendekati suatu makna keseimbangan. Tampaknya penyair yang satu ini, kegelisahannya sama dengan penyair-penyair pada umumnya, mempertanyakan suatu ketidakadilan, ketidakbenaran, ketimpangan, kerusakan, kok bisa semua menjadi seperti itu. Lalu ia ingin ada suatu penempatan yang semestinya tentang masalah itu.

Memang sebagai penyair, mesti ada suatu perenungan yang dibuat dalam menangkap suatu kesan dari suatu peristiwa. Sehingga setidaknya saat puisinya selesai ditulis ia menawarkan sesuatu setelah dengan pasti ia bisa menempatkan masalahnya adalah begini atau begitu. Tawaran yang diberikan bisa suatu sikap yang disodorkan, atau sekedar menggoncang-goncang rasa agar lebih bertanya, bertanya dan bertanya, sebagaimana lazimnya karya sastra memang bekerja di area ini, mempertanyakan suatu esensi yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Jangan dibilang kalau sudah begini penyair tidak menawarkan sesuatu yang baru, tapi justru yang demikian ini penyair memainkan perannya untuk suatu penggelitik pikiran dan rasa.

Cuma perbedaannya, apakah seorang penyair sudah mencoba untuk menawarkan suatu pergulatan pemikiran level satu persoalan sederhana, ataukah persoalan bertingkat, itu yang mesti direnungi. Karena pada dasarnya permasalahan dalam hidup ini bukanlah tidak bersayap. Satu masalah terkait dengan masalah lain, dan tidak ada masalah tunggal. Semua lebih kepada efek domino, bahkan dalam suatu penilaian hitam putihnya persoalan, menilai suatu masalah atau nilai atau pribadi sebagai hitam dan yang lain sebagai putih rasanya kurang memberikan suatu penelahaan yang kaya.

Bukankah ada warna lain, abu-abu, yang rata-rata nilai-nilai hidup yang dipegang manusia itu juga berwarna ini? Belum lagi bila nilai yang ditawarkan merupakan warna-warna yang lain, merah, biru, kuning sebagai warna dasar, lalu ada warna hasil pencampuran baik itu jingga, hijau, ungu dan lain-lain.


Teknis Penulisan Puisi Amin

Sebagaimana umunya bahasa puisi, puisi-puisi Amin rata-rata bahkan hampir semuanya merupakan penggalin kalimat yang dibaris-baris, menjadi satu rangkaian dalam satu aliea bahkan satu bangunan utuh puisi. Yang terasa mengganggu adalah kebanyakan memakai awal baris denganhuruf besar. Padahal mungkin masuk ke baris berikutnya sudah merupakan kalimat baru. Hanya sedikit yang memakai tanda baca akhir berupa titik, tanda tanya atau tanda seru untuk masuk kalimat baru, seperti pada puisi `Seorang Hamba' (hal 31). Atau berganti kalimat baru dengan memulai dengan huruf besar lagi, setelah pada baris-baris sebelumnya diawali huruf kecil kecuali pada awal kalimat dengan huruf besar, meski tanpa tanda baca di akhir kalimat. Contohnya, puisi berjudul Perjuangan dan Pengorbanan Para Mahasiswa (hal 40).

Tapi puisi memang bukan prosa, justru teknik yang tidak memakai alur kalimat dengan tanda baca akhir seperti pada hampir semua puisi Amin menjadi kekuatannya dalam memisah-misahkan anak kalimat dengan anak kalimat lain meski sebetulnya masih satu rangkaian kalimat. Puisi memang memberi kebebasan makna dari kata, frase, anak kalimat, maupun kalimat sendiri. Sehingga berbeda dengan prosa yang mengalir sebagai satu rangkaian kalimat bercerita, berpapar, bereksposisi, maupun melukiskan suasana.

Dengan gaya membariskan penggalan kalimat semacam itu, Amin mencoba untuk membidik rasa pembaca namun terasa ada hambatan pemaknaan yang langsung berkesan karena pemilihan kata-katanya kurang mengalir seperti air yang terus mengalir ke setiap daratan rendah yang dijejakinya. Pemilihan kata yang cukup mengalir tampak pada puisi Berkabung (hal 2).

Dengan hampir semua puisinya sebetulnya masih merupakan suatu kalimat yang bersambungan dan membentuk suatu jalinan narasi, meski diupayakan memisah-misahkan anak-anak kalimat yang ada, jelas bahwasanya puisi Amin bila ditulis tanpa teknik pengetikan semacam itu tapi bila disambung jadi rangkaian kalimat, membuat kita bisa menggolongkan puisi Amin Setiamin masih dalam bingkai kalimat. Bukan kata yang hidup sendiri seperti yang diciptakan Sutardji Calzoum Bachri, atau kata yang hidup dalam suatu ruang seperti yang dibuat Afrizal Malna. Jadi soal rangkaian puisi Amin ini, gaya-gayanya masih seperti kebanyakan penyair lain yang tidak jauh-jauh dari genre besar yang dikenal, genre kalimat.

Yang membedakan masing-masing penyair tentu wawasan estetikanya, baik rima, metafora, irama, tipologi, maupun bunyi, yang terefleksi dari pemilihan kata dalam puisi-puisinya. Soal tipologi, sudah diurai di atas, Amin tidak bertingkah macam-macam, bahkan cenderung lurus-lurus saja. Rima, pengulangan bunyi yang berselang baik di dalam baris sajak maupun pada akhir sajak yang berdekatan, Amin menunjukkan dalam karya-karyanya, namun terasa sangat minim dari karyanya yang begitu banyak.

Soal metafora pun begitu, sangat jarang Amin menggunakan metafora, meski itu pun dilakukan. Metafora puisi Amin, saya anggap metafora karena bisa jadi maksud penyairnya bukan metafora, yang saya sukai tampak pada puisi hal 42 berikut:

SAJAK BUAH HATI I

Ada tamu datang
Membawa buah-buahan
Berdiri di depan cermin
Berdebu kotor
Dengan wajah heran
Api menyala dari belakang
Lari ketakutan
Buah tertinggal
Terbakar hangus

Ada durian, ada mangga
Ada pepaya, ada pisang
Ada salak, ada rambutan
Ada apel,...

Jakarta, 1993

Yang saya anggap sebagai metafora di atas sederhana, tapi ada suatu rasa. Juga mengalir, ada suatu kejenakaan, dan mudah ditangkap kesannya, karena mudah dijumpai sehari-hari. Ini suatu kelebihan, tapi bisa juga dianggap sebagai suatu tantangan. Sebab, di sisi lain penulis merasakan bahwa puisi-puisi Amin kebanyakan memakai bahasa-bahasa atau pengungkapan-pengungkapan yang sederhana, bahkan cenderung polos, tembak langsung. Kalaupun ada yang memakai metafora dalam pengungkapannya, metaforanya tergolong metafora satu lapis, tidak bersayap yang kadang-kadang diperlukan untuk menusuk suatu rasa dari kesan yang ingin ditumpahkan pada pembacanya. Tapi ada juga metafora Amin yang sulit dimengerti, karena kurang didukung uraian-uraian yang lain dalam satu bangun puisi. Contohnya dalam puisi halaman 14:

AKU TAK PEDULI PADAMU

Aku tak peduli padamu,
Pada matamu
Akan menundukkan kehidupan binatang
Akan kau hisap
Kau jadikan macan tutul untuk tunduk, jinak
Menahan cahaya matahari
Mencoba menerangi malam
Pada kehidupan tidak mengenal
ketelanjangan diri

Saidi Guru, Blok A, 1996

Kalaupun tepat yang saya tunjuk sebagai metafora pada beberapa kata mata, macan tutul, cahaya matahari, malam, saya merasa kesulitan memaknai bangunan puisi ini. Saya coba memberi tema itu sebagai suatu kondisi `Pasrah pada kenyataan yang saling membinasakan'.

Di sisi lain, dengan teknik membariskan penggalan kalimat, Amin mungkin tanpa terasa juga masuk pada suatu irama, alunan yang tercipta oleh kalimat yang berimbang, selingan bangun kalimat dan panjang pendek serta kemerduan bunyi yang biasanya berlaku dalam prosa. Sedang dalam puisi tinggi rendah nada ini hanya bisa dirasakan saat dibaca. Maka mungkin puisi ini akan terasa bila dibacakan dengan permainan nada ini.

Barangkali soal irama ini, saya berpikiran pada kebanyakan penyair saat menulis puisi-puisinya kurang begitu mempedulikan soal irama ini. Kebanyakan masih bergulat pada soal alur penyampaian, rima, permaknaan, tipologi, dan sesekali metafora. Dan, menjadi peduli setelah puisi dibacakan terutama pada panggung pertunjukan pembacaan puisi.

Selebihnya kembali kepada pilihan kata, kosa kata yang beragam akan membuat penyair tidak pernah kehabisan akal untuk menuliskan kesan-kesan yang tertangkap oleh inderanya. Dipadukan dengan pengalaman batin, kata-kata akan mengalir menjadi suatu kesatuan dan kekuatan yang mengkristal dan bisa meledakkan bom rasa.

Selanjutnya kalau pengalaman batin pembaca ada kemiripan dengan pengalaman batin pembuat syair yang dibaca, pesan yang disampaikan dalam karya itu akan sangat mudah menyentuh dan diterima, berujung disukai. Karenanya majas alias permaknaan suatu bahasa ini memang cenderung subyektif. Namun bila diimbangi dengan pengolahan estetika secara umum, maka yang subyektif ini bisa digiring untuk menjadi obyektif dan diterima sertai disukai orang banyak.

Agaknya puisi-puisi Amin mesti bergulat dengan berbagai faktor ini secara lebih intens. Sampai buku kumpulan puisinya ini dibuat pada 1999, lima tahun yang lalu, agaknya puisi-puisi Amin sudah mencebur di arena waduk luka untuk dipertarungkan dengan banyak puisi penyair lain yang rata-rata juga mempunyai kesamaan-kesamaan penggarapan sehingga apabila nama masing-masing pengarangnya ditutup dan hanya dibaca puisinya saja, kurang jelas bisa dibedakan siapa pengarangnya.

Selebihnya bisa ditelusuri mengapa karya-karya Amin Setiamin bisa menjadi seperti ini, baik dari segi tema maupun teknik penulisan. Kalau sudah begini, kita sampai pada pembahasan sosiosastra, biografi penulis, latar belakang penulisan, bahkan ideologi yang dianut penyair. Untuk itu silahkan berkenalan langsung dengan penyairnya. Dia ada di sini, bikin janji kencan dengannya, dan minta berkas
kepenyairannya. Atau, kalau masih belum sempat, tanyalah teman-temannya yang tahu sepak terjangnya sebagai seniman, yang biasanya sehabis acara ini duka ngumpul-ngumpul di warung Alex, lalu beranjak malam kongkow di depan pintu Gerbang TIM di bawah baliho besar. ***


Ragunan, 30-31 Maret 2004

Kumpulan Cerpen

HUBUNGAN ABADI
CERMIN PENINGGALAN
Anak Inkubator
RUMAH WARISAN
Cerita Perempuan
Kekuatanku
MERAH LURUS MERAH LIKU

Kekuatanku

Cerpen: Yonathan Rahardjo

"Tidak masalah teruslah pakai."

Mendengar kata-kata itu aku tersenyum di sudut bibirku terbentuk pusaran masuk orang bilang ini ciri pipiku.

"Pak Haji yang di depanku memang bijak ia tahu nilai-nilai kemanusiaan," perasaanku mekar bunga.

Begitu berdiri langkah kakiku terasa ringan.

"Terima kasih sekali, Pak Haji," aku menyerongkan badan, wajah yang disinari sedikit rasa senang mulai berpijar.

Aku jabat tangan lelaki berkopiah putih dengan helai-helai pendek jenggot mengimbangi rambut-rambutnya yang telah berguguran menyisakan bola kepala berpermukaan mengkilap licin lapang yang perlu dilindungi kain-kain tebal saling menyatu membentuk tutup atas organ penyimpang kebijaksanaan pikiran. Lelaki bijak itu mengantarku berjalan keluar sampai pintu depan rumah ucapan salam berbalasan, mengiring langkahku menjauh, menapak, mengarah dan menyasar pada rumah di belakang rumah pak haji berkopiah putih.

Jalan melingkar, hingga tiba di depan rumah lain, tiba-tiba dada yang agak tenang ini kembali dihantam perasaan resah.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

POTRET JELI PEMBESAR NYALI, ESAI TERHADAP CERPEN DAN PUISI RAHMAT ALI

oleh Yonathan Rahardjo

(dimuat dalam Buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Bi Gayah sambalnya Hmmm..., 2005)


CERPEN RAHMAT ALI

Cerpen-cerpen Rahmat Ali adalah potret jeli setiap kehidupan kita sehari-hari. Membaca cerita-ceritanya, membuka mata dan hati pembaca untuk mengerti dan menyelami, setidaknya mencicipi apa-apa yang terjadi pada hampir setiap 'profesi' serta 'gaya dan problem hidup' sosok-sosok yang ada di sekitar kita, yang barangkali tidak semua orang bisa mendalami bagaimana liku-liku hidup rata-rata 'orang kecil' yang banyak dipotret Rahmat Ali dalam cerita-ceritanya. Lihat sosok tukang cukur (cerpen 'Sebuah Gambar di Ruangan Tukang Cukur'), pembantu rumah tangga ('Bi Gayah Sambalnya Mmm…m'), kopral tentara ('Narto'), tukang pijat ('Jenny').

Beranjak dari latar belakang geografis cerita sehari-hari di perkotaan semacam itu, ada nilai lebih dari cerita-cerita Rahmat Ali yang suka melancong, melintasi segala waktu dan tempat yang mendorongnya seperti memasuki lorong, tegak maupun condong, lurus maupun doyong, sedari lepas dari gendongan sampai menjadi seorang pamong yang pantas tinggal dalam gedong, Rahmat Ali telah menunjukkan kelasnya sebagai seorang penulis yang membuat semua yang terekam dalam benaknya adalah daya dorong kuat untuk menuliskan kisah-kisah nyata maupun imajinasi bukti dunia tulis-menulis adalah dunia sangat luas tiada aral melintang dapat jadi penghalang dan pemotong sikap total dalam menggeluti cerita hidup bak tak terbatas sepanjang-panjangnya lorong.

Tak berlebihan, tulis-tulisan Rahmat Ali adalah cermin dari apa yang direkam dalam setiap jejak kakinya, kebetulan saya tahu sedikit biografinya sekalipun untuk membuat bahasan tulisannya saya semata-mata berusaha lebih pada teks, bukan pada sosok penulis. Teks Rahmat Ali lah yang berbicara tentang kenyataan itu, banyak tempat yang ditulis dalam cerpen-cerpennya adalah tempat yang sangat variatif, mulai dari metropolitan padat dan sesak dengan segala kehidupan bergaya modern sampai tulisan di pelosok-pelosok sepi hanya penuh dengan kesendirian dan hanya bisa dijangkau dalam alam imajinasi ataupun daerah itu bisa dikunjungi sangatlah jarang orang ke sana karena tempatnya yang relatif terpelosok atau terpencil.

Terasa aromanya, yang ditulis Rahmat Ali kebanyakan adalah kisah-kisah nyatanya, entah itu ia sendiri yang mengalami atau orang-orang yang dijumpai di segala macam tempat itu, dan diselingi dengan tulisan-tulisan fiktif imajinatif. Pengarang ini sangat jeli mengamati apapun yang ada dan menarik perhatiannya. Apapun itu bisa jadi tulisan lancar. Seorang yang jarang mengamati atau 'membaca' lingkungan bisa menjadi mengerti bahwa lingkungan, apapun itu wujudnya, banyak menyimpan 'bahan bacaan'. Hal ini sangat tergambar dari judul-judul karangan penulis ini yang dengan segera akan dapat ditangkap apa yang bakal diceritakannya, benda sepatu, mesintik, lori, jaran kepang, sosok-sosok orang, dan rata-rata mengambil judul sosok sebagai subyek cerita yang akan dibahas, dan kadang-kadang bercerita tentang masalah sebagai subyek (‘Akibat Lepasnya Dasamuka’).

Barangkali memang benar anggapan bahwa seorang seniman adalah seorang yang suka hal yang detil, berbeda dengan orang 'lumrah', maka apapun diurai Rahmat Ali secara detil tadi. Terlihat, cerpen-cerpen Rahmat Ali juga diilhami oleh legenda-legenda rakyat terutama yang daerahnya ia kunjungi, dengan prinsip di mana tinggal atau berkunjung di suatu daerah, tulis yang kau jumpai! Lihatlah misalnya cerpen 'Jantuk' (Betawi), 'Moko Yang Terpanah' (NTT), 'Akibat Lepasnya Dasamuka' (Jawa), 'Bertemu Hang Tuah' (Sumatera), 'Krakatau, Krakatau' (Jawa-Sumatera), 'Gelombang Nyai Roro Kidul' (Jawa).

Tidak terpana pada kisah legenda dengan narasi baku, seringkali kisah rakyat itu harus menghadapi kekininan jaman, dan Rahmat Ali berhasil memadukannya dengan kebutuhan dan kondisi jaman saat tulisan itu dibuat ('Jaran Kepang', tradisional Jawa di dunia metropolitan). Rahmat Ali tampaknya mau tak mau mengaitkannya dengan hal-hal yang berbau mistik, magis, yang menghubungkan dunia nyata dalam ceritanya yang memang bergenre besar realistik dengan hal-hal yang mistik, surealis, tapi tak sampai menyeret tulisan Rahmat Ali bergenre surealis. Perpaduan realis dan mistis itu tampak dalam cerita-cerita dalam aliena ini, juga cerita yang menyoal langsung hal mistik seperti 'Kiriman dari Jauh' (maksudnya santet).

Yang tak dilupakan para pengarang biasanya menulis tentang dunia fabel, di mana binatang diceritakan bisa bertingkah dan hidup seperti manusia, dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagaimana halnya manusia ('Sungut Sang Prabu Terlalu Panjang') atau setidaknya kalaupun hidup dalam situasi yang tetap dalam lingkungan hewan, mereka bisa berkata-kata dan bercerita tentang diri mereka ('Aku Seekor Merak').

Cerpen-cerpen Rahmat Ali didominasi dengan cara penulisan alur maju, dan sangat jarang memakai alur mundur, yang kadang hanya dilakukan untuk suatu kisah di masa lalu yang terkait dengan kondisi sang tokoh cerita saat itu, dalam pikiran, dalam percakapan, dan bukan dalam alur-alur utama cerita. Salah satu keuntungan besar dengan cara tradisional beralur maju ini adalah cerita menjadi mudah dicerna dan diikuti, tidak memerlukan banyak kebutuhan untuk mengotak-atik cerita dan membolak-balik halaman-halaman cerita bahkan membuat pohon cerita seperti yang begitu dibutuhkan dalam mencermati cerita-cerita moderen saat ini yang cenderung mencoba segala teknik yang baru termasuk teknik mozaik yang terfragmentasi satu sama lain.

Dalam penuturan cerita, dialog-dialog dibuat Rahmat Ali secara kental dan mengalir, namun lebih banyak dipaparkan melalui narasi di mana dialah sebagai penulis yang dominan menuturkan dan untuk menghindari terkesan cerita monolog ia memakai penggambaran dengan tokoh utama aku; yang acap dilakukan banyak pengarang, selain teknik tradisional masing-masing tokoh diceritakan sendiri-sendiri dengan satu tokoh utama dikelilingi tokoh-tokoh pendamping. Deskripsi yang dibuat Rahmat Ali meluas, meliuk dan kadang menyentak.

Adapun lukisan suasana yang dibuat terkesan kurang menggambarkan suasana secara memuaskan, karena seolah tuntutan cerita cepat mengalir dari satu kisah atau problem ke problem lain; karena kekuatan Rahmat Ali memang di sini, problem-problem itu dibahas cepat, sementara soal tuntas tidaknya masih bisa ditelaah lebih jauh lagi. Yang sangat terasa tuntasnya problem tanpa ‘doping’ pencepat alur cerita antara lain dalam cerita 'Dialog Membisu' yang menyoal kehidupan tiga anak manja atau kalah perang dalam hidup.

Rahmat Ali menuliskan semua lincah dan lancar, dengan gaya bahasa lugas mengalir menabrak batu cadas, dengan berani menggunakan ungkapan-ungkapan yang kadang melabrak kelaziman berbahasa dengan kata-kata mandiri seperti fisik menjadi pisik, bahkan kata pembunyian langsung menjadi kata kerja seperti didordordor untuk mengungkap ditembak yang tentu mengeluarkan bunyi itu, cuat-cuit terus mendesing (dalam 'Dialog Membisu'), mendokdokdok ('Jangan Ganggu') byar-byur-byar-byur, berkelontang-kelontang ('Kopi O, Kopi Goni, Teh Obeng, Mi Lendir dan Truk Dinosaurus').

Rahmat Ali juga tak lupa menggunakan kata-kata bahasa Jawa yang tampaknya menjadi bahasa ibu-nya yang mewarnai gaya bahasa bahkan detil kata ceritanya; aleman (artinya suka manja), mangkel (jengkel), trenyuh (terharu), unggah-ungguh (sopan santun) dalam cerpen 'Musim Bunga, magrong-magrong (besar megah) dalam cerpen 'Saat Tidak di Rumah'. Dia juga tidak segan-segan memasukkan istilah-istilah serapan baru dalam rumpun kalimatnya yang mungkin bagi orang tertentu mudah mengerti tapi bagi kebanyakan orang mesti berpikir agak lebih keras karena istilah ini bukan istilah yang lazim dalam penggunaan kalimat mengalir seperti itu. Entah apakah keterbatasan tempat pada suatu cerita pendek yang membuat Rahmat Ali pada beberapa karangannya mengakhiri cerita dengan hal-hal gaib, sirna, kembali ke alam, atau hal-hal semacam itu yang membuat konflik cerita menjadi begitu mudah berakhir, yang tentu saja mempengaruhi rasa dalam pembacaan.

Pada kebanyakan cerita yang demikian penuturan Rahmat Ali sebagai penceritalah yang dominan mengarahkan jalan cerita. Apa-apa menjadi begitu mudah diarahkan, tidak dibiarkan terus larut dalam konflik. Namun jelas cerita Rahmat Ali sangat kaya dari segi tema, karena apapun di tangan Rahmat Ali bisa menjadi cerita, yang patut dibaca siapapun suka mempedulikan kehidupan. Memperbesar nyali untuk merekam dan memaknai kehidupan, apapun akhirnya, apapun tamatnya, apapun selesainya, apapun ceritanya.

1. Musim Bunga (1960): Rahmat Ali memakai metafora tentang musim di mana hati berbunga seperti munculnya bunga di taman dan lembah indah. Cinta aku terhadap gadis yang dikenalnya saat pertemuan keluarga bersemi dan berwujud keindahan percintaan selama mereka masih satu kota. Begitu mereka harus berpisah yang ada adalah rindu dan si aku mesti melakukan sesuatu untuk keluarganya. Perhatian pada ibunya sering bertolak belakang dengan keinginannya untuk melakukan ekspresi kreatif seorang anak muda. Dan, itu berujung pada bagaimana aku harus mengambil keputusan untuk meninggalkan ibunya karena gadis yang telah membuat hatinya berbunga-bunga mengirimkan surat dari jauh yang mendorongnya untuk menemui si gadis dan meninggalkan ibu tercinta.

2. Laila, Istri Paling Kemayu di Dunia: Laila seorang istri dari tukang pos bernama Bima mesti mendapati kenyataan bahwa dalam pergaulan suaminya dengan teman-temannya akan sangat berpengaruh pada hubungan mereka berdua, yang saling menyayangi dan mencintai meski untuk perkawinan Bima yang ke sekian dengan Laila itu. Gelombang bahtera keluarga itu sungguh membuat Laila yang cantik mesti mencabik hati sendiri dengan mengambil sikap tegas terhadap sang suami namun sebagai istri Laila tidak mempunyai kekuatan cukup untuk itu, dan nyaris atau entah akhirnya memang Laila menjadi majenun, gila, dalam masa kehamilannya mendapati suaminya sering mabuk bersama teman-temannya yang merupakan orang yang dikirimnya surat.

3. Wanita Dari Luar Kota: Adalah wanita yang membawa seorang bayi yang datang pada rumah tinggal mahasiswa yang ternyata membawa misi tertentu sesuai dengan sumpahnya kepada suaminya yang telah meninggalkannya dan kawin lagi dengan wanita lain. Wanita yang datang dari jauh ini mengharu-biru kehidupan tenang mahasiswa itu hanya untuk menjaga sumpah untuk menculik dan menyembelih anak hasil perkawinan suaminya dengan orang lain. Dan setelah menculik anak itu, si wanita sempat mencederai suaminya hingga harus dikejar orang banyak dan menyelamatkan diri di rumah sang mahasiswa.

4. Sebuah Gambar di Ruangan Tukang Cukur (1972-2004): Tukang cukur yang mesti melayani dan menyenangkan para pelanggannya mesti menggonta-ganti gambar-gambar yang dipasang di ruang prakteknya sesuai dengan selera yang saling bertentangan pada diri pelanggannya. Berujung selera universal adalah gambar-gambar wanita cantik dalam pose-pose yang membuat hati berdesir, pilihan gambar terakhir ini berbuah kebahagiaan bagi seorang mayor yang dikembalikan memorinya tentang indahnya pernikahan dan cinta. Gambar yang dipasang telah menjelma gadis pinangan sungguhan bagi pelanggan tukang cukur. Entah kapan bagi ia sendiri.

5. Bi Gayah Sambalnya mmm…m (1975-2003): Seorang pembantu wanita yang tidak lazim, punya banyak perbedaan dibanding para wanita lain yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Perokok berat, suka membunyikan radio, punya kekuatan fisik yang luar biasa, suka mengumpulkan bahan pakaian, perhiasan namun tidak meninggalkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang banyak membantu kebutuhan tuannya, bahkan dengan sikapnya yang aneh dan eksentrik pembantu rumah tangga ini meninggalkan kesan mendalam bagi tuan-tuannya.

6. Saat Tidak di Rumah: Juga kisah tentang orang kecil, tinggal di daerah metropolitan di Jakarta yang didominasi kaum urban dengan kehidupan tidak berlebihan tapi mesti menghadapi gaya hidup konsumerisme di Jakarta yang banyak ditawarkan dengan produk-produk yang bikin ngiler wanita istri pegawai kantor. Dengan jeli Rahmat Ali memotret gaya hidup istri yang membuat gemas pembaca karena polahnya yang seenak sendiri, tidak peduli anak bahkan membiarkannya cedera, khususnya saat suami tidak di rumah. Tapi untuk menikmati gaya hidup konsumtif, si istri ini bahkan mesti menyusul suami yang sedang dinas ke luar kota yang celakanya malah menghabiskan honor yang suami.

7. Narto (1980): Kopral yang berdedikasi pada kesatuannya tapi hidupnya tidak beranjak naik hanya karena ia lebih mengandalkan kekuatan fisik tidak disertai dengan kecerdasan intelektual dan syarat-syarat lain yang menjadi kriteria kemajuan karir dalam struktur ketentaraan. Malah orang seperti ini hanya untuk menyelesaikan bangunan rumah yang belum rampung-rampung mesti minta bantuan wanita yang pernah ditolongnya, yang celakanya wanita ini mencari uang dengan jalan menjajakan diri sebagai pelacur, meski sebetulnya si wanita sudah terangkat kehidupannya dengan diperistri orang lain; tapi mau melacurkan lagi untuk cari uang buat penyelesaian bangunan rumah sang kopral.

8. Pagut (2004): Bercerita tentang seorang anak desa anak angkat mandor pabrik gula khas dengan latar pedesaan jaman sebelum kemerdekaan. Kisah romantis anak desa yang dekat dengan suasana dan kehidupan desa, kerbau, kolam ikan, sawah, surau, lokomotif lori perkebunan, ladang tebu, keluar masuk sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah swasta yang relatif lebih tinggi, tapi tetap diperhatikan oleh orang tuanya yang tetap bisa menyekolahkannya meski untuk mendapatkan biaya sekolah mesti melakukan pekerjaan apapun. Anak nakal ini baru merasakan arti hidup setelah nyawanya nyaris terbang karena digigit ular beracun. Si anak ini merasakan hidup yang lebih indah dibanding kehidupan bersama kedua orang tua kandung yang menelantarkannya.

9. Sol Demi Sol (1981-2004): Sepatu yang menjadi sahabat terdekat manusia moderen jaman ini mempunyai jiwa pula, dalam tulisan Rahmat Ali. Kisahnya adalah kisah sejauh mana sang pemilik mengalami kisah-kisahnya dengan orang-orang lain yang juga punya sepatu-sepatu yang lain, dengan sosok dan wujud dan fungsi yang lain. Kisah sepatu juga kisah sejauh mana sang majikan punya kepedulian terhadapnya, juga kepedulian atau sikap dari orang-orang yang dekat dan berhubungan dengan si tuan. Sikap keluarga majikan itu yang membuat nasib sepatu harus berakhir di bubungan atap, menyaksikan kehadiran sepatu yang lebih perlente, bersih dan baru dikenakan sang majikan yang bagaimanapun butuh penampilan oke.

10. Musim Layang-Layang (1996): Layang-layang dan pengejarannya serta seluk-beluk pembuatannya tak memisahkan dari siapa pembuat layang-laang, siapa pemilknya, siapa yang pandai memainkan, pandai mencari uang untuk bisa punya layang-layang yang indah dengan benang yang kuat yang bisa memutus benang-benang layang-layang lain jatuh meliuk-liuk di angkasa tinggi, terbang entah ke mana angin bertiup dan dikejar anak-anak meski hujan datang dan membuat mereka berbasah kuyub atau menjadi sangat kering tenggorokan karena udara yang kering sementara tidak setetes air pun bisa diteguk. Pengalaman masa kecil 'Aku' dalam cerita Musim layang-layang ini tak bisa terlupakan baginya hingga ia berburu layang-layang kehidupan sesungguhnya di metropolitan Jakarta yang keras.

11. Jantuk: Suatu zat, jiwa, roh masuk ke dalam guling dan menyaksikan kehidupan pemiliknya, pasangan pemain lenong betawi yang menyandarkan kehidupannya dalam pertunjukan kesenian tradisional yang kala itu masih digandrungi masyarakat tapi seiring dengan perguliran jaman kesenian ini menjadi tersisih oleh kesenian-kesenian yang lebih moderen dan berdampak buruk pada kehidupan pasangan seniman ini. Sang lelaki menjadi sangat terlunta-lunta mencari orderan manggung dari satu tempat ke tempat lain dan selalu gagal, tetapi dicurigai istrinya bahwa suaminya itu mencari perempuan lain untuk menyambung keturunan lantaran ia tidak bisa memberikan keturunan baginya yang sudah berumur uzur. Pembelaan zat, jiwa, roh yang tahu kondisi sesungguhnya pada sang lelaki terhadap wanita istrinya itu tidak mampu meluluhkan sikap keras si istri yang akhirnya lebih memilih menyatu dan kembali ke alam bersama jiwa, zat, roh yang keluar dari tubuh bantal pemain lenong betawi itu.

12. Jenny (1992): Tukang pijit atau tukang pijat? Rahmat Ali memilih menggunakan kata tukang pijit, yang berkonotasi lebih feminin, karena pelaku profesi ini adalah seorang wanita. Wanita tukang pijit yang dilukiskan Rahmat Ali di sini sebagaimana lumrahnya di panti-panti pijit atau lazimnya disebut panti pijat, senantiasa melayani tamu-tamunya lelaki-lelaki dari berbagai kalangan, profesi, tabiat, sikap, mulai dari lelaki yang santun dan menghormati sesamanya meski itu seorang wanita tukang pijit, sampai laki-laki yang kurang ajar dan memandang pemijitnya hanya barang tak layak diajak berkomunikasi dan profesi ini begitu nista padahal ia mau bahkan menyerahkan tubuhnya untuk dipijit dan digerayangi bahkan lebih dari itu. Dari semua sikap ini sampai lelaki yang mau mempersunting tukang pijit sebagai istri, sayangnya Rahmat Ali menenggelamkan nasib tukang pijit mau pasrah dalam kehidupan ini, dan mempedulikan dengan penuh rasa sayang kepada lelaki yang dipijit adalah kepedulian sebatas sebagai tukang pijit, dan hanya berlaku pada saat 'jam kerja' memijit.

13. Hari-hari dalam hidupnya: Kasihan nasib gadis yang menumpang hidup pada orang lain, bahkan tak lebih berperan sebagaimana pembantu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, semua, semua dan semua, dan menjadi sasaran kemarahan lelaki dan perempuan yang ditumpanginya. Untuk menikmati warna kehidupan di luar rumah tangga itu, sangatlah jarang dan mesti mengambil kesempatan hingga suatu saat didapatinya kesempatan itu lalu untuk bertemu dengan seorang duda beranak, lelaki yang ingin meminangnya sebagai istri. Nasib, karena lelaki yang ditumpangi hidup di rumah itu entah berkata apa, duda yang melamarnya itu tak pernah kembali lagi muncul. Dan kehidupan gadis penumpang hidup ini kembali seperti biasanya, menjalankan pekerjaan tak ubahnya sebagai pembantu rumah tangga. Dari hari ke hari. Waktu ke waktu.

14. Dialog Membisu (1996): Tiga bersaudara dari sekian bersaudara yang sangat beda cara hidupnya dibanding saudara-saudaranya yang sukses bekerja dan berumah tangga. Sebetulnya pengalaman mereka pernah sukses bekerja di tempat jauh dari rumah, dan cukup membanggakan. Namun karena ketidakkuatan menghadapi problematika mental, mereka kembali ke rumah kedua orang tuanya. Dan menjadi beban. Dari hari ke hari hanya duduk dan bersantai-santai, waktu ke waktu menggilas kemalasan itu, sementara anak-anak lain, pemuda-pemudi lain sudah begitu maju dalam karir dan profesi, mereka hanya menjadi penghuni rumah orang tuanya dan menghabiskan waktu untuk tidak bertindak apa-apa dalam hidup. Tragis. Rahmat Ali memakai teknik syair dengan pengulangan kalimat yang sama pada beberapa alinea. Memberikan kesan yang menyayat-nyayat dan sungguh mencabik-cabik perasaan, merasakan betul suasana yang membosankan dan menekan mental ketiga orang anak yang telah menggerogoti kehidupan keseharian kedua orang tua malang ini.

15. Moko Yang Terpanah (1999): Keberuntungan berpihak pada dua sejoli suku nelayan, yang saat menjala ikan mendapati dua buah moko (genderang, tifa kuno) ternyata setelah disimpan di rumah sepasang moko ini tanpa diketahui memberi rejeki yang berlimpah kepada keluarga sederhana ini hingga hidupnya berkelimpahan dan terpandang di desanya. Ternyata pada saat semua tidur lelap pada malam gelap kedua moko bangun dan berkeliling desa untuk mencuri apapun yang menarik hati perhatian mereka dan disimpan di rumah kedua 'orang tuanya' tadi. Puncak sekaligus antiklimaksnya ketika kedua moko menculik anak-anak di kampung. Menculik lebih berat dari mencuri, kecurigaan penduduk suku itu tak terperi, mencari biang misteri dan mengejar dan memanah hingga moko jantan tewas, sementara si betina terluka dan hanya dengan kesediaan 'ibu'nya untuk berkorban si moko tak dibunuh walau akhirnya toh tetap tewas dalam perjalanan. Moko terpanah ini tersimpan sampai keturunan kesekian dari pasangan nelayan tadi.

16. Petualangan Bersama Bantal (1996): Merebahkan kepala di atas bantal membawa seorang lelaki tua beruban lelap dan terbang melayang angan dan memorinya ke seluruh masa hidupnya di masa silam dan bertemu dengan sosok-sosok dirinya dari segala usia, sejak anak remaja, pemuda, dan mempertemukannya dengan gadis pujaannya yang dulu tidak jadi bersatu dengannya tapi malah kawin dengan lelaki lain. Kini perempuan itu tidaklah seindah masa gadisnya yang dulu, namun kenangan terhadap indahnya masa bercinta mereka tak akan pernah terlupakan sepanjang ingatan.

17. Mesintik Kesayangan (1993-2004): Mantan sersan yang menjadi sopir bos besar memilih profesi sebagai pengarang karena tidak tahan melihat sepak terjang dan gaya hidup bos besar yang memojokkannya harus bersilat lidah dan berbohong terhadap istri bos besar yang begitu baik kepadanya dan kepada istrinya. Rasa bersalah dan tekanan batin mesti melakukan kebohongan-kebohongan yang tak lebih dari dosa dan kejahatan sepanjang ia menjadi sopir bos besar terpaksa ia lakukan hanya untuk menjaga rahasia sang bos besar. Mesin tik ini menjadi saksi atas semua itu. Teristimewa saksi kehidupan majikan setelah menekuni pekerjaan sebagai seorang pengarang, yang butuh kesunyian dan dalam kesunyian itu ada saja yang datang.

18. Aku Seekor Merak (1999): Keluarga merak hidupnya di kebun binatang, menimbulkan kejemuan bagi seekor anak merak jantan yang akhirnya berhasil memprovokasi saudara-saudaranya untuk keluar, lepas, dan melarikan diri dari sangkar kebun binatang yang memaksa hidup hanya untuk menyenangkan pengunjung kebun binatang, dengan ruang gerak terbatas, terkungkung dalam sarang. Hidup di alam terbuka memang menyenangkan tapi itu tidak lama, banyak ancaman kehidupan dan nyawa merak bersaudara itu. Dari lima ekor merak yang cari kebebasan itu, dua teman, dibedil dan terpanggang sengatan kabel listrik. Ingin kembali pulang mereka tidak tahu jalan, tidak ada jalan lain, kecuali menghibur diri bahwa lebih baik mati di alam bebas asal lepas dari kurungan yang membatas keleluasaan gerak.

19. Lori (1999): Anak nakal dan gerombolannya selalu membuat olah, onar, rusuh, sengsara dan mengganggu serta mau menang sendiri terhadap seluruh penduduk kampung di sekitar perkebunan tebu yang setiap hari dilewati lori pengangkut tebu. Para pemimpin kampung, tua-tua tidak ada yang berani bertindak tegas terhadap mereka dan terkesan menghindar atau membiarkan dan tidak mau repot menghadapi, kecuali para mandor yang harus mempertahankan batang-batang tebu terutama yang diangkut lori. Sekali kalah melawan mandor-mandor itu, gerombolan anak nakal berulah kembali sampai menyebabkan lori terguling kecelakaan dan tewasnya pentolan anak nakal secara mengenaskan dan menyisakan kesan angker wilayah sungai tempatnya menemui ajal.

20. Akibat Lepasnya Dasamuka (1988): Tidak seperti cerita Ramayana yang baku, di sani Rahmat Ali bercerita Dasamuka setelah dikalahkan Rama, diikat, digantung dengan kepala di bawah, ditempatkan dekat kawah gunung berapi dan dijaga Anoman dalam waktu yang sangat lama, hingga Rama meninggal dan jaman-jaman sesudahnya sampai Anoman tua dan lemah. Kesempatan Dasamuka untuk melepaskan diri pun tiba dan membuat banyak onar, kerusakan dan kehancuran seluruh negeri, hingga Dasamuka merasa tidak punya lagi lawan yang sepadan dan memutuskan untuk menghancurkan diri. Meskipun tubuhnya hancur dan mati, Dasamuka meninggalkan segala keburukan bagi alam dan manusia yang sangat sulit diatasi sekalipun oleh penguasa negeri selanjutnya.

21. Sungut Sang Prabu Terlalu Panjang (2000): Perlawanan negeri rimba terhadap raja keong dipatahkan oleh raja keong dengan virus yang membuat semua menjadi lamban, mengikuti sifat hakiki darinya. Awal perlawanan mereka karena harapan dengan terpilihnya keong menjadi penguasa nusa rimba yang adil bijaksana dan bisa memimpin negeri tidak bisa terpenuhi. Malah sebaliknya sifat-sifat buruk raja keong yang lamban membuat hampir semua permasalahan negara dan masayarakat nusa rimba tidak dapat tertangani dengan baik, menimbulkan begitu banyak kekacauan dan kemerosotan nilai hidup.

22. Bertemu Hang Tuah (1999): Pemberian keris pusaka kecil oleh seorang aneh pada seorang wanita membuatnya didatangi istri Hang Tuah yang diperintahkan Hang Tuah agar barang milik Hang Tuah itu dikembalikan kepadanya di kuburan keramat terpencil yang membutuhkan nyali untuk berani melakukannya. Untuk itu dibutuhkan pertolongan orang pintar yang sayang tak segera terjadi dan terpaksa dilakukan sendiri bersama teman. Sepeletakan benda itu pada tempatnya Hang Tuah datang dan mengambilnya lalu pergi dengan kapal besar meninggalkannya beserta istri Hang Tuah di dermaga, yang segera berubah menjadi tempat aslinya, kuburan sunyi.

23. Akibat Bom Virus (2002): Kerajaan kegelapan menjalankan misinya di bawah penguasa kegelapan yang ingin semua manusia mengikuti maunya, bertindak, bersikap, bersifat, dan bermoral bejat, dengan membombardir negara tujuan memakai bom virus yang bukan sembarang bom seperti bom konvensional yang meledakkan, meruntuhkan dan menghancurkan bangunan. Bom virus ini berbau sangat harum yang bila terhisap akan membuat penghisapnya berubah sifat menjadi jahat, tamak, rakus dan sebangsanya sifat-sifat kegelapan. Sayang tidak semua oknum, golongan dan profesi berubah bersifat jahat, buruk dan sebangsanya, karena masih ada kalangan yang bersikap melawan kejahatan ini sesuai dengan profesi dan kewajiban masing-masing. Kemarahan raja penguasa kegelapan tak terbendung dan kiriman bom virus kedua dibombarirkan lagi hingga semua orang, oknum, pribadi, golongan dan profesi menjadi benar-benar total jahat dalam segala bentuk manifestasinya yang memuaskan sang raja kegelapan dengan bom wangi.

24. Aku Naga Pengangkut (2002): Kereta api bentuknya seperti naga, jadi ide Rahmat Ali mengarang bahwa memang sebetulnya kendaraan ini naga dari perut bumi muncul untuk membantu manusia menggantikan atau melengkapi kendaraan-kendaraan pengangkut lain yang mudah rusak oleh kanibalisme dan ketidakberadaban manusia. Dan dalam wujud kereta listrik yang dikenal sudah menjadi kendaraan menghubungkan wilayah-wilayah empat penjuru mata angin itu terutama di perkotaan, metropolitn Jakarta, naga pengangkut benar-benar merasakan penderitaan menjadi sarana tempat kehidupan para penumpang dari berbagai kalangan yang punya gaya hidup macam-macam mulai dari pengemis, pemulung, pengamen, sampai perempuan-perempuan seksi dengan payudara nongol dan pantat bahenol, apapun profesi dan orang yang memanfatkan kereta jadi sarana pengangkut, kendaraan meski tidak bisa dihindari pencemaran, sampah, kerusakan bahkan pengrusakan yang terjadi dan membuat naga pengangkut ini fisik dan fungsinya begitu terdegradasi.

25. Krakatau, Krakatau (2003): Pertemuan seorang cerpenis dengan penari ular mantan pawang gajah di kapal yang menyeberang selat Krakatau berbuahkan manisnya hidup memasuki wilayah serba indah. Namun ternyata itu dunia lain yang menyeretnya masuk wilayah kekuasaan Ratu dunia lain wilayah Selat Krakatau. Dalam wujud roh tidak kelihatan, si cerpenis bisa melihat semua keluarga yang mencintainya dan ingin berkomunikasi dengan mereka, namun yang terjadi hanya gejala alam yang keluarganya tidak pernah tahu meski di situ si cerpenis di dekat mereka bahkan menyentuh tubuh atau tangan keluarganya.

26. Jaran Kepang (1997-2004): Kesenian tradisional bernama lain Kuda Lumping di sini disorot Rahmat Ali dalam perjalanannya menjumpai atraksi yang berdekatan dengan keberanian dan ketrampilan 'mistik'. Pemain kudang lumping berhasil menyatu dengan alam dan roh-roh gaib melayang-layang di angkasa mengundang kekaguman luar biasa dari para penonton, dan melakukan perbuatan-perbuatan ajaib, menolong semua orang berkekurangan dengan bantuan keuangan dan harta kekayaan yang didapat dengan merampok, menggarong dari sumber-sumber harta dan uang yang ada. Meski merampok untuk menolong yang menderita, perbuatan pemain jaran kepang ini tidak berkenan bagi roh-roh gaib dan alam hingga menimbulkan malapetaka, bencana alam yang luar biasa memporak porandakan kehidupan, sementara sang pemain kuda lumping gagal kembali ke asalnya, tetap dalam kondisi magis di alam lain.

27. Gelombang Nyai Roro Kidul (2002-2004): Kisah hilangnya orang di pantai atau lautan selatan sudah sering dijumpai, yang kini dikisahkan Rahmat Ali adalah kehidupan di alam maya yang tidak kelihatan orang yang merasa kehilangan karena tidak pernah kembalinya kekasih, ayah, suami, teman yang dikabarkan oleh berbagai mulut dan media massa telah mati. Padahal, di lautan selatan yang bersangkutan menikmati kehidudupan yang jauh lebih indah, enak, megah dan penuh kedamaian, berkelebihan, makmur dan adil, sangat bertolak belakang dengan kehidupan di atas daratan seperti yang diketahui tokoh utama sebelum masuk dunia Nyai Ratu Kidul. Sayang kebahagiaan ini menjadi sirna ketika sang tokoh melihat keluarganya di tepi pantai dan ia mendekat untuk menyapa mereka, mereka sama sekali tidak menggapai. Bahkan sekalipun telah dipegang atau disentuh atau sekedar digoda dengan cipratan air mereka tidak bisa melihat sosok lelaki yang sebetulnya sangat mereka cintai dan dinyatakan hilang.

28. Kiriman dari Jauh (2002-2004): Sakit karena santet dan sebangsanya bukan main rasa dan wujudnya. Banyak barang tajam yang semestinya untuk alat-alat kekerasan, binatang-binatang menjijikkan dan kotor di perut dan organ-organ tubuh hasil kiriman orang 'pintar' yang menjahati wanita tokoh cerita. Tentu saja pergi ke dokter tidaklah menolong, pergi ke orang pintar banyak sarannya. Ketahuan ada seorang lelaki yang dulu kalah saingan dengan suaminya dalam memperebutkan dirinya sang wanita molek. Hanya dengan ibadah suami lebih khusuk kiriman dari jauh itu dapat diusir, dan karena dianggap salah satu biangnya adalah rumah tinggal pasangan merekapun pindah. Tanpa melakukan balas dendam ternyata pengirim barang 'santet' itu ternyata tewas dalam kecelakaan mengerikan.

29. Jangan Ganggu (2004): Masa pensiun, masa paling indah. Masa di mana hasrat menulis bisa tersalurkan mulus, di mana hari-hari bisa diisi kegiatan yang mendukung proses kreatif penciptaan, bebas dari gangguan bisa berupa apa saja termasuk tekanan pekerjaan yang mengharuskan perhatian mesti pada penyelesaian tugas-tugas kantor dan atasan. Namun jangan dikira dalam menikmati masa penciptaan ini hal sekecil apapun tidak bisa menjadi suatu gangguan, bahkan kehadiran orang-orang yang sangat dibutuhkan sekalipun, seperti pembantu rumahtangga dan cucu-cucu. Juga pada masa-masa menyepi di kamar kecil dengan ritus sakral di mana ide kreatif muncul dan menyatu dengan imajinasi terangkai dalam angan untuk berlanjut dalam laku teknis dalam mewujudkan suatu karangan karya. Makin peka seorang seniman, makin detil ia meluncurkan kata dan peristiwa yang seolah remeh tapi sebetulnya berdaya sentuh besar pada langkah berikutnya.

30. Kopi O, Kopi Goni, The Obeng, Mi Lendir dan Truk Dinosaurus (2004): Seorang suami yang sering memuja-muji masakan dan suguhan istri di rumah bahwa masakan dan minuman itu enak dan lezat belum tentu menyatakan hal yang sesungguhnya. Yang membuatnya sering tidak muncul di rumah juga belum tentu karena perempuan lain penjual makanan di tempat yang biasa dikunjungi dalam menjalankan pekerjaan sebagai sopir traktor tambang granit. Tapi, yang sebenarnya adalah si lelaki sangat menikmati makanan dan minuman yang enak di warung itu.


PUISI RAHMAT ALI

Bila dalam buku ini memang jadi disisipkan (yang ternyata akhirnya oleh penerbit dikelompokkan cerpen-cerpen dahulu baru disusul kelompok puisi), menikmati sajak-sajak yang disisipkan di antara cerpen-cerpen Rahmat Ali, membutuhkan perpindahan konsentrasi yang butuh ketrampilan cara menikmati puisi yang berbeda dengan metode menikmati cerpen. Tidak semua orang suka puisi. Tidak semua orang pula menyukai cerpen. Kalaupun ada yang suka kedua-duanya, perpindahan gelombang pikiran untuk menangkap sinyal puisi maupun cerpen bisa merusak gambaran penikmatan; seperti halnya gambar di monitor televisi.

Kesan penyisipan puisi ini dimaksudkan sebagai selingan yang membuat pembaca tidak jenuh untuk membaca cerpen-cerpen bisa dimaklumi; namun mempertimbangkan hal itu malah bisa memunculkan efek samping yang tidak diharapkan. Apalagi terhadap suatu apresiasi puisi yang mempunyai genetik berbeda dengan cerpen. Bertaburannya puisi-puisi pada tempat yang terpisah-pisah terpaksa membuatnya harus mengumpulkan puisi-puisi dalam kelompok sendiri. Lalu disusun sesuai dengan metode pembedahan karya. Tidak ada jalan lain, itulah yang saya lakukan.

Yang paling bagus memang mengelompokkan puisi-puisi itu, lalu menyusun berdasar tahun pembuatannya untuk melacak histori karya Rahmat Ali yang tentu bukanlah semua karya puisi yang pernah dibuatnya, tapi barangkali puisi pilihan saja. Namun, rentang tahunnya sejak 1959 sampai 2004, kondisi berbeda dari pengarangnya akan membuatnya susah menyebutkan karya pada suatu masa sebagai suatu karya yang bergejolak penciptaannya, yang secara intens dilakukan untuk mencapai karya-karya puncak; kecuali, memang cukup menjadi karya yang muncul mengikuti impuls suatu saat.

Meski begitu, ada baiknya bila kita coba menikmati puisi demi puisi itu terlebih dulu, baru disusun berdasar tahun pembuatannya, tinggal kita petakan bagaimana kegelisahan puitika Rahmat Ali di sela-sela intensitasnya berprosa yang begitu tinggi. Itu hanya alternatif terbaik saja, walau akhirnya saya lebih memilih menyusun sesuai urutan pemuatan puisi dari halaman depan saja, yang menyelang-nyelingi cerpen-cerpen yang ada; dan saya membahas setiap puisi, yang ternyata, semoga bukan kebetulan, tertangkap secara global genetik puisi-puisi Rahmat Ali adalah puisi yang prosais, mengambil thema bermacam-macam, mengandung kegelisahan moralitas, kemanusiaan alias humaniora yang mengangkat masalah-masalah mendasar hidup manusia (‘Sajak Tentang Tiga Dunia’), yang menyentuh cita rasa manusia (Sajak Nglangut), problema manusia (‘Janda Almarhum’), atau suatu potret kehidupan manusia (‘Biduanita Rock yang Molek’), dikawinkan dengan kondisi lingkungan yang berhasil dipotret secara jeli (‘Si Buyungdunia Pergi Tidur’, ‘Pesta Jakarta’, ‘Kisah Suatu Teluk’), menyoal keadilan (‘Balada Bersekolah yang Beratap Langit’), yang mana balada alias sajak yang mengharukan ini juga tampak pada beberapa puisi yang lain termasuk ‘Cah-cah Ayu Dari Gunung’, beberapa mengandung muatan religiusitas (‘Semua Tunduk’) dan beberapa lebih tepat disebut puisi agamawi karena langsung mengantar pada suatu ajaran agama tertentu (puisi ‘Zamzam’,‘Ka’bah’), sementara religiusitas nilai-nilai lebih bersifat universal tak berbatas simbol-simbol keagamaan. Dan yang tidak ketinggalan, puisi cinta (‘Cinta, Cinta’, ‘Hei’) yang ‘pastilah’ semua penyair melakukannya.

Dari segi teknis, Rahmat Ali seperti kebanyakan penyair mencoba menyeimbangkan rima, irama, tipologi, metafora dan permaknaan kata. Namun tidak bisa tidak, pemilihan teknis ini tidaklah mungkin bisa diakomodasi semuanya, karena pemaksaan suatu teknis misalnya memakai rima melulu bisa-bisa malah mematikan teknis lain yang jadang kalau dibebaskan akan memberi suatu gereget sendiri suatu karya. Setidaknya terasa ada kesadaran Rahmat Ali tidak ingin mengebiri makna hanya karena menghamba pada metafora, sebaliknya tidak menghamba pada metafora bilamana pada saat itu yang akan sangat kuat kenangannya adalah persamaan bunyi, suku kata atau rima.

Memang namanya seni, membutuhkan kepekaan perasaan yang hanya muncul bila diasah dan kadang sulit terdefinisi untuk menyunggi misteri yang menjadi bahasa utama puisi, penuh kejutan, kadang mengangkat kadang menjatuhkan, kadang menghempas kadang membumbungkan perasaan, pikiran atau imajinasi, yang ujung karya utamanya adalah kenangan, kesan yang sangat membekas sebagai keberhasilan suatu puisi.

Maka, kemudahan untuk diingat merupakan satu keberhasilan puisi. Karena ada beberapa keinginan yang mencoba memadukan unsur-unsur estetika dalam bangun puisinya, Rahmat Ali mencoba menyusun cerita pendek menjadi lebih pendek lagi dalam baris-baris terpisah sebagaimana lazimnya teknik tipologi dalam puisi seperti yang tampak pada beberapa puisi yang kisahnya adalah potret lain dari kisah pada cerpen-cerpennya (‘Jantuk’, ‘Janda Almarhum’). Tentu saja dengan penuturan berbeda dari cerpen yang sangat mendetil, sementara puisi-puisi ini lebih terikat pada unsur-unsur estetika itu yang bila dikawinkan dengan majas yang dilahirkan bisa menuntun ke perbedaan antara prosa dan puisi secara anggun. Walau, kadang perbedaan itu tipis dan membahayakan jati diri puisi yang bersangkutan kalau penuturan bercerita begitu kental prosanya seperti dalam puisi ‘Bis’ yang diselamatkan perpuisiannya dengan permainan tipologi.

Tak dapat dibantah hal semacam ini memang sudah jadi milik dan memperkaya sastra kita bahkan sastra dunia seperti halnya puisi pendek ‘Sajak Barbir’ yang pendek, bahwa puisi bisa sangat prosais, dan sebaliknya prosa bisa sangat puitis, walau untuk mengembalikan kepada genetisnya masing-masing itu tetap suatu hal terbaik karena pasti dalam genetisnya sendiri masih banyak yang bisa dieksplor, tidak berhenti pada ‘penemuan’ perpuisian kita yang mandeg pada tokoh-tokoh sentral yang dianggap masih saja meraksasai puisi. Selebihnya mencermati puisi-puisi Rahmat Ali secara individu puisi, akan tampak keberanian Rahmat Ali menggunakan kata-kata ‘aneh’ yang mewarnai puisinya, mencari makna baru dengan bermain kata-kata itu yang tentu saja masih berbenangmerahkan dengan bangunan utuh puisi itu dengan kalimat lain.

Persoalan unsur-unsur estetika itu teramu dalam suatu orkestra yang meninggalkan kenangan, penikmat yang bisa menilainya setelah merasakannya, karena mirip dengan gaya penceritaan dalam cerpen-cerpennya, terasa eksplorasi masalah sering tidak tuntas dan mudah selesai (baca puisi ‘Ajari Lagi’, ‘Balada Bersekolah yang Beratap Langit’), sementara kalau dipertajam lagi bisa bernilai lebih dari pesan yang tanggung.

Percikan-percikan gemerlap atau redupnya puisi Rahmat Ali bisa dijumpai sebagai penik-pernik setiap puisinya, yang akan lebih mengena dan bermanfaat bila ditelaah satu per satu. Saat mulai berkomentar, saya tidak mencantumkan halaman pemuatan puisi-puisi itu karena saat itu buku ini masih berupa konsep yang butuh diteliti dan dikoreksi lebih teliti. Ada beberapa pemuatan yang tidak tepat halamannya sesuai daftar urut di depan. Ada puisi yang judulnya ada di daftar tapi pada isi buku ternyata tidak ada, mungkin keliru dengan judul yang lain. Seperti puisi 'Semua Tunduk' yang tidak ada di isi tapi yang ada adalah puisi 'Mungkin'.

Tanpa mengurut tahun pembuatannya, saya memilih untuk membahas karya-karya yang ada apa adanya, dengan harapan lebih tekstual pembahasannya. Harapan lain tentu agar upaya pencapaian karya puisi yang bernilai dari Rahmat Ali itu benar-binar bisa ditemukan kecemerlangannya.

1. Cinta, Cinta (1961): Tentu yang dipakai Rahmat Ali untuk terbang ke ranjang kekasihnya bukanlah kemeja, tapi sayap-sayap rindu yang berkemeja. Kemeja ini untuk melengkapi sayapnya yang tidak polos, telanjang, kerinduannya yang terbang seperti sayap dipersolek dengan kemeja. Metafora dua lapis ini (sayap rindu, kemeja) memberi nuansa lain untuk suatu cinta. Apakah cinta itu harus begitu berpenampilan? Diulang dengan bekal yang lain 'berbekal kalbu seribu', cinta menjadi penuh asesoris muatan. Tapi rupanya tidak demikian dalam pandangan Rahmat Ali, ia menilainya sebagai suatu kurnia, ia tekankan hal ini yang mungkin tak terpikir sebelumnya saat membaca baris-baris awal dengan kata penguat 'Duhai'. Ditambah metafora lagi, 'Cinta itu sendang (kolam, jawa, Rahmat Ali acap memakai ungkapan Jawa) pegunungan dalam dadaku' yang mengundang kekasihnya untuk bersama menikmatinya. Ditambah lagi metafora-metafora yang lain tentang cinta itu, menunjukkan penguasaan metafora pada sosok Rahmat Ali. Referensinya tentang cerita klasik Rama Sinta memudahkan pembaca mengikuti pergolakan resah dalam suatu cinta. Suatu temuan tersendiri manakala dia gambarkan resah cintanya itu dengan panah dan kijang emas di hati kekasih, dan ia menjelajah cinta itu dalam raba pada kijang emas terpanah, dalam rimba, dalam rambut, hati di malam. Ia telusuri cinta itu sebagai suatu pencarian yang mempertemukan hatinya dan kekasihnya dalam satu surga. Di karya Rahmat Ali, resah dengan segala gundah nyatalah indah dalam suatu cinta.

2. Si Buyungdunia Pergi Tidur (1960): Tapi buat apa tekad dan pedang, kalau dalam bait-bait sebelumnya tidak disinggung tentang suatu peperangan? Pertanyaan ini menggelitik ketika pada awal puisi ini diungkap bagaimana malam, yang di'aku'kan oleh Rahmat Ali yang bertutur kepada bui yang di'si buyung dunia'kan. Penuturan yang mengalir dan dengan pengambilan pernik-pernik alam, bintang, rembulan, burung, angin sepoi. Satu kata yang bisa menghubungkan ada di akhir bait pertama 'seharian penuh kau telah berjuang demi hidup harimu'. Ada hubungan, tapi tetap terasa jauh dari tekad dan pedang yang ada di bait terakhir. Penyelamat makna baris ini adalah kalimat di baris sebelumnya '...taklukkan segala yang merimbakan hidup'. Malam yang melindungi buyung dunia tetap merelakan bahkan mengharus buyungdunia bangun dan menghadapi hidup. Dan jangan kuatir, bui dan malam akan menyatu lagi. Rahmat Ali berhasil mendetilkan kondisi perubahan hari pada perputaran alam dan memanusiakan mereka. Ada harapan yang menyatukan makna kalimat dalam ujung puisi 'Dengan serangkai bunga di tanganku (malam) kita (bumi dan malam) kembali temu!'.

3. Janda Almarhum (1961): Puisi yang prosais menceritakan seorang yang mesti mencari nafkah dan menghidupi anak-anaknya dengan susah payah karena ditinggalkan suaminya, mengingatkan pada cerpen rahmat ali tentang kuda lumping di mana penmainnya mesti tewas dalam kondisi magis tak bisa kembali ke dunia karena sudah menyatu dengan alam supranatural. Meski prosais, unsur puisi yang penuh misteri menyisakan tenaga dan energi meski dicurahkan untuk mengimbangi gejolak emosi yang bisa muncul karena membaca baris-demi baris puisi yang tragis karena permainan kata yang dipilih Rahmat Ali. Amati kalimat awal: karena/ kematian 'dialah kuda beban ditunggang anaknya lima', yang akan meluncur beberapa baris lalu ditemui lagi kalimat senada 'berlari dikendara lima penunggangnya', meluncur lagi beberapa baris lalu ditemui lagi kalimat 'berlari dia membawa anaknya lima'. Permainan kata yang akan terasa gejolaknya setelah mengamati baris-baris kalimat di antaranya adalah suatu pergulatan dan kemampuan Rahmat Ali melukiskan misteri hidup susah. Dipukul pada akhir dengan suatu harapan mempesona: karna tahu, putra-putra Suparman penunggang setia/ yang kelak menahtakan kuda beban di singgasana/mulia.

4. Kisah Suatu Teluk (1975): Permainan personifikasi jadi andalan puisi Rahmat Ali ini. Selubung tubuh, mata berkilau, beralis, semua diberikan untuk laut dan sebangsanya, juga kata-kata menggoda, telentang, menelanjang, diperkosa, ditunggang, membelalak, dan sebagainya, meluncur dengan berurutan di sela-sela sosok laut yang punya tanda-tanda kehidupan sebagai sosok pribadi yang kadang dimetafora, disimbolkan sebagai makhluk lain yang jika membayangkannya akan terasa sifat dari makhluk yang bersangkutan akan memberi nyawa pada teluk yang dikisahkan. Puisi kisah, dengan unsur-unsur pembangun puisi semacam ini bukan hal sepele, meski banyak dilakukan orang tetap menjadi suatu pendorong lebih memperkaya perlambangan alias metafora yang lebih meriah dan lebih kaya lagi untuk menjemput gol terindah dari suatu karya sastra yaitu imajinasi, bukan sekedar kognitif, dan memberi kenangan karena imajinasi akan selalu membuat kita mudah mengenang.

5. Bis (2000): Kembali Rahmat Ali menunjukkan giginya yang kuat dalam berkisah, soal bis kota yang menjadi bagian hidup tak terpisahkan masyarakat perkotaan dan metropolitan kini kembali menghiasi puisinya, dan ia dengan berani memasukkan kata yang biasanya pada istilah kaum elit dan birokrat negarawan ke dalam dunia yang jauh dari kemewahan, karena memang bagian sederhana dari masayarakat biasa. 'Kucoba mengintegrasikan diriku ke dalam bis'. Integrasi, kata yang gagah masuk keringat penumpang bis kota. Agaknya permainan pilihan kata yang bukan sewajarnya ini menjadi hal yang patut pula dinikmati, seperti apa yang ditulisnya di baris akhir puisi ini: Pahit konyol, suka tak suka,/Perlu dinikmati! Walau tentu saja yang dimaksud Rahmat Ali tentulah kondisi susah bertranspor di dalam bis kota yang sesak dan berjubel penumpang berkeringat 'lengur serba tidak sedap', yang khas Rahmat Ali: puisi prosais.

6. Mungkin (2000): Ia berani memakai kata kekedepanan yang menjadi lawan dari keterbelakangan. Ada pula kata keberbedaan. Mengapa tidak keterdepanan? Mengapa tidak perbedaan saja/ mengapa harus jadi panjang sukukatanya hanya dalam satu kata yang mestinya bisa diperpendek dan mudah diingat hanya dengan pengucapan lebih singkat tanpa mengurangi makna karena makna keduanya sungguhlah tidak berbeda setidaknya berdekatan satu sama lain? Tapi itulah pilihan bahkan garis otoritas seorang penyair sebagai produsen kata-kata, mencipta dan memberi makna, yang barangkali tidak demikian berani dilakukan oleh pengguna kata seperti wartawan dan kalangan profesi lain. Hanya bedanya pada Rahmat Ali, makna kata ini masih bisa dimengerti karena ia tak pernah melepaskan katanya menjadi seorang diri di belantara kosong. Artinya ia selalu memberi teman, kata-kata dan kalimat yang lainlah sang teman ini.

7. Sajak Ngebut (1980): Ada kejenakaan di sini, satu kekuatan Rahmat Ali yang lain. Sosok sajak disandingkan dengan bis, sekali lagi bis: …./kuboncengkan sajakku/menggelantung pintu/sementara di bawah/roda laju/aspal tajam ancam/para penumpang beresak-desakan// Bukan, bukan diri seorang manusia, tapi ‘sekuntum’ sajak yang sudah dipersonifikasi oleh Rahmat Ali. Itu jadi jenaka, terlebih karena selanjutnya dengan lincah Rahmat Ali memprosa puisikan situasi apapun yang terjadi di dalam bis kota, meski terasa juga tak ada maksud berjenaka ria, tapi kondisi di situlah yang bercerita dengan sendirinya, tentang semua orang yang berlaju di dalam bis kota itu. Keberanian Rahmat Ali menempatkan kata yang unik dan tidak semestinya ada pada suatu situasi, membuat ingatan pertama kali ‘mencerna’ dan ‘mengesaninya’ dada pula dalam: ayo tancap/ sajakku lebih ringan kapas/ tidak memar hempas. Tidak ada keinginan bermetafora di sini tapi itulah apa adanya, potret di bis kota namun ada suatu yang di atas kenyataan atau realitas, karena ia bisa hadir tanpa seperti kehadiran manusia biasa, yang hanya mungkn ada di dalam benak, itulah sajak di bis kota yang ngebut, mendorong nasib buruk penumpang, tidak sebaik nasib si ‘sajak’.

8. Sajak Barbir (1980): Kalau tidak melihat di kamus, tak bakalan sebagian pembaca mengerti apa makna dari kata ‘barbir’; tapi untungnya meski tiada tahu maknanya biasanya suatu kata akan dimengerti bila membaca kesatuan utuh kalimat atau cerita sebagai suatu kesatuan kontekstual. Setidaknya konsep itulah yang banyak dijumpai pada puisi maupun cerpen Rahmat Ali. Juga pada sajak ini, sajak terpendek dalam kumpulan puisi ini, hanya enam baris, tujuh dengan judulnya, dan setiap baris hanya dua atau tiga kata, tapi yang namanya puisi memang sependek apapun, komentarnya tetap bisa sangatlah panjang. Ada kenangan tragis dari leher yang sekerat, risau yang mengkeret, yang mendorong tangan itu barbir, dan mau bertindak apa saja untuk mengatasi atau menyalurkan kegamangan itu. Ya, karena ia tukang cukur (barber, barbir) yang tiap hari menghadapi dan memegang kepala orang, leher orang, rambut orang.

9. Sajak Tentang Tiga Dunia (1959): Permainan sajak yang bisa diartikan bahasa teratur, bahasa ketat terasa di puisi Rahmat Ali ini. Persamaan rima awal dan rima akhir sungguh ketat diperhatikan di sini. Masing-masing dikelompokkan dalam bait sendiri-sendiri, ada tiga bait yang secara parallel gaya pengucapannya hampir mirip, tapi mengisahkan kondisi yang berbeda, dunia yang berbeda. Pengulangan kata atau suku kata dalam sajak memang suatu teknik tersendiri untuk memberikan tekanan kesan. Kesan itu akan membekas dengan detail uraian tentang kondisi yang dipaparkan, tiga dunia yang berbeda: masa sebelum kehidupan atau kelahiran hingga saat dilahirkan ke dunia, masa saat hidup yang penuh dengan segala macam penderitaan yang akan berakhir dengan maut, masa maut dan sesudahnya apa yang akan terjadi? Kekuatan kalimat dan kesatuan dengan kalimat yang bercerita lainnya, menjadi ciri Rahmat Ali dalam puisi ini.

10. Hei (1987): Kembali Rahmat Ali ingin bermain dialog di puisi ini. Dua insan dimabuk asmara mengapa saling menolak bila hal terelok sudah menjadi milik jiwa? Puisi ini bisa dinikmati dengan membacanya tenang, juga apalagi bila dibacakan dengan tekanan intonasi dan irama. Terasa dialognya, dialog cinta. Tapi cinta mereka di sini tidaklah cinta tembak langsung antar dua sosok, ada kalbu dan cinta yang bercinta. Ada bahasa puisi yang bermain-main di hati. Ngiang kata Hei, sapaan ini bisa terasa dalam susunannya sebagai pembuka menunjukkan puisi macam apa yang dimaui Rahmat Ali. Puisi dialog memang salah satu gejala di antara lebat belantara perpuisian kita, bukan semata puisi satu arah; kalau itu dilakukan pada puisi Jantuk, di sini ternyata masih suatu ungkapan perasaan satu arah, yang punya kalbu pada baris kedua.

11. Jantuk (1986): Lelaki dan istrinya, keduanya pemain Lenong Betawi yang dikisahkan Rahmat Ali dalam cerpen yang berjudul sama, saling mengutarakan isi hati tentang sosok guling yang berisi zat, roh , jiwa yang dari dunia lain, meski sekali lagi di depannya berujud guling. Saling berdialog lah mereka, tentang sejatinya Jantuk bagi mereka. Dalam bahasa puitis, dialog ini terasa beda dengan penuturan cerpen. pemenggalan anak kalimat, pembarisan, dan permainan rima, serta pemilihan kata untuk pada suatu saat menekankan suatu pesan, dilakukan Rahmat Ali yang mencoba membedakan dengan jelas, apa itu bahasa cerpen dan bagaimana pula bahasa puisi.

12. Biduanita Rock yang Molek (1987): Kita lepaskan bahasan kecenderungan berprosa dalam puisi Rahmat Ali kali ini, karena memang hal itu begitu nyata. Kita lepas bahasan pemenggalan kalimat jadi baris berbeda dalam tipologi di sini, karena itu sudah lazim dilakukan juga penyair-penyair lain. Kita lepaskan bahasan permainan metafora di sini, karena rata-rata puisi Rahmat Ali memang tidak gunakan jurus ini. Kita tajamkan pembahasan tema, tepatnya detil tema, karena di sini letak keunggulan Rahmat Ali, bahwa ia berhasil memotret susahnya kehidupan penyanyi berbalut gemerlap malam yang banyak dijumpai di Jakarta malam, ternyata sudah beranak tanpa tahu siapa bapaknya. Gejala jaman yang ditangkap Rahmat tentang kehidupan seks bebas. Entah kenapa.

13. Sajak Nglangut (1980): Kekuatan Rahmat Ali sebagai cerpenis mempengaruhi puisi-puisinya yang kalau tanpa permainan tipologi yang memisahkan kalimat utuh menjadi beberapa baris memberikan efek tertentu, menuntun pembaca pada penekanan-penakanan rasa dan kesan; atau permainan kalimat utuh dalam suatu prosa menjadi berkurang bagian-bagian anak kalimatnya, pendek-pendek menjadi kalimat berbaris sendiri-sendiri. Apapun, dalam puisi Rahmat Ali yang inipun terasa kisah atau stori alias ceritanya, dan ia berhasil melukiskan bagaimana dan apa yang terjadi bila seseorang nglangut. Kembali Rahmat Ali memakai bahasa Jawa, nglangut, suatu tindakan seseorang yang pikirannya mengembara. Tradisi kepenyairan klasik yang sungguh memperhatikan rima tampak di sini; beberapa baris berakhir kalimat bersuku kata sama, tiga baris berakhiran i, empat baris berakhiran at, dan seterusnya. Efek bunyi dicoba ia berikan, apapun ada pengaruhnya pada suatu kesan. Itulah puisi.

14. Pesta Jakarta (1975): Kembali kejelian Rahmat Ali menangkap suasana Jakarta membawa pembaca kembali ke tahun 1975 tergambar di benak, memori sejarah tentang Jakarta yang punya romantisme masalalu dan optimisme masadepan, dan seperti biasa dalam cerpen-cerpennya, kehidupan keseharianlah yang tak luput dari pengamatan. Juga, sejarah ! Rahmat Ali menguasainya dengan detil, khususnya pada hal yang unik, meriam jagur yang bisa memberi harapan cinta buat lelaki dan perempuan dalam segala problema. Kalau orang tak menguasai hal semacam ini, tak mungkin bisa menuliskan dengan lancar. Rahmat Ali terbukti punya merek dagang tersendiri.

15. Cah-cah Ayu dari Gunung (1987): Maka mempelajari puisi-puisi Rahmat Ali, kita tak perlu dibuat pusing pengistilahan puisi yang sepanjang pengamatan penulis setiap orang berhak punya penilaian sendiri tentang apa makna puisi dan apa puisi itu bagi setiap orang, yang secara garis besar dapat dikatakan suatu bahasa kesan, lebih memainkan rasa, bisa juga pikir tapi tetap bernuansa misteri, keindahannya seperti embun dan cahaya matahari pagi, kebetulan sesuai judul, keindahan wajah molek bocah ayu dari gunung. Permainan rima, irama, metafora, tipologi, memang tidak semua bisa diakomodasi dalam suatu bingkai puisi, tetap tidak menggulingkan suatu karya disebut puisi, yang penting nilai kesan yang tersampaikan oleh majas dan estetika dalam bangunan utuh suatu puisi, yang seringkali butuh keberanian memilih mau mengambil gaya yang mana. Asal tidak ragu, akan punya karakter sendiri. Dan, terfokus.

16. Semua Tunduk (1995): Tampaknya saat menjalankan ibadah Haji, Rahmat Ali
merasakan suatu ketakjuban luar biasa dalam dirinya saat ‘bertemu’ dengan Tuhannya. Ia tidak lragu lagi melukiskan kemahadahsyatanNya dengan pilihan-pilihan kata yang mencoba lain, dari hal mikro, mezo sampai makro ia coba ungkapkan puja-pujinya kepada Tuhannya. Puisi menjadi bahasa paling efektif untuk hal-hal semacam ini. Karena, puisi memakai suatu getar dalam rasa dan pemikiran yang terkadang mesti harus saling menunjang, bahkan sering tak bisa dilepaskan ikatan keduanya. Intelektualitas akan menunjang pemahaman bahasa-bahasa asing, aneh, tak lazim, atau membahasakan unsure-unsur alam yang sangat terkait secara erat dengan penciptanya. Puisi religius Rahmat Ali dari bertaburnya puisi-puisi bernuansa moralitas, kemanusiaan alias humaniora dan beberapa puisi cinta.

17. Zamzam (1995): Religiusitas dalam puisi, hal yang lumrah bagi penyair-penyair Indonesia yang memang berkultur atau minimal dikelilingi kultur agamis. Nilai yang diungkap lebih merupakan penegasan dari nilai-nilai yang ada, atau pengalaman batin yang berlatar belakang agama bersangkutan. Rahmat Ali memorikan air suci itu dengan gaya puisi klasik yang penuh rima sama. Pemilihan suku kata akhir yang sama butuh penguasaan kosa kata, kalau tidak terksan mencari-cari dan kadang bisa-bisa hampir mematikan kekuatan yang lain, karena tidak semua saat harus berima ini, ada kalanya membiarkan permainan makna kata yang bermakna sama, berdekatan, rumpun berdekatan, berlawanan kata, klimaks dan antiklimaks, ironi, sarkasme, bahkan kejutan-kejutan dengan kata-kata lucu yang terbingkai sesuai konteks dan alur pesan yang diberikan. Kembali kali ini Rahmat Ali memakai rima akhir yang sama.

18. Ajari Lagi (2000): Kegelisahan antara baik dan buruk muncul di puisi ini. Hal mempertentangkan semacam ini merupakan suatu teknik yang banyak dipakai, untuk memberi konflik yang merupakan nafas utama suatu cerita maupun bahasan sastra. Puisi ini pendek, bahkan bahasannya jauh lebih panjang. Yang ditonjolkan ketidakberdayaan manusia kini, yang ternyata masih butuh pegangan dari orang terdahulu, apapun dan siapapun mereka, yang oleh Rahmat Ali disebut rasul dan nabi. Kerinduan dalam puisi memang kadang bisa membodohkan manusia saat ini, kalau menelan mentah-mentah akan tampak semua begitu mudah diatasi hanya dengan kembalinya sosok pengingat itu, bukan pada konflik kejiwaan yang menggiring niat sebenarnya manusia kini pun bisa melakukannya, asal tahu betul, yang digerakkan adalah hatinya dengan puisi, sebagai langkah awal suatu tindakan, bila memang Rahmat Ali ingin ada penyadaran religiusitas di sini.

19. Ka’bah (1995): Masih puisi agamawi, kini ditekankan agamawi, tidak sekedar religiusitas karena religiusitas lebih bermakna luas sedangkan agamawi lebih terkait dengan agama yang dianut, yang semestinya juga diungkap untuk puisi Zamzam. Pengalaman batin seseorang memang modal utama untuk menulis puisi, dengan majas dan ditambahi wawasan estetika yang cukup, ramuan ini bisa mengekspresikan pengalaman batin itu, dan dituangkan dalam tulisan yang akan bisa pula dinikmati pembaca yang kalau pengalaman empirik dan kognitifnya mendekati atau banyak persamaan dengan yang dialami penulis, maka sentuhan sinyal yang meraba imajinasi itu tak akan jauh beda yang artinya sinyal puisi itu akan bisa dimiliki, dan yang bersangkutan bisa punya kesan, suatu nilai keberhasilan suatu puisi. Menyentuh, menggetarkan, meninggalkan kenangan, sebagai suatu syarat mutlak dari tingkatan karya sastra bernilai paling tinggi. Kenangan. Tidak mudah lapuk jaman. Abadi.

20. Ninabobo untuk Nabila (Usia Dua Bulan) (1997): Rahmat Ali meminta burung, bajing, musang untuk memberi pelajaran tentang bersahabat dan hidup bersama alam untuk menidurkan bayi; memperkaya cara meninabobokkan anak-anak, tidak dengan satu metode melagukan lagu nina bobok saja, membacakan majalah saja, atau mengelus-elus saja. Tapi, juga dengan bercerita yang secara sinyalistik akan didengarkan oleh anak meski secara verbal anak itu belum mengerti tapi secara kejiwaan bisa merasakan klagu cinta yang imajinatif dan membawa ke alam indah bersama makhluk-makhluk yang bersahabat dan menggembirakan yang sering dikenal anak dalam gambar atau film kartun sangatlah lucu, menyenangkan. Imajinatif.

21. Yang Tertundung (1996): Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Itu yang diprotes Rahmat Ali terhadap sikap bangsa ini yang tidak menghargai mereka. Meski tidak tersurat, hal ini tersirat dengan gamblang, bagaimana nasib para veteran pejuang yang dulu turut memerdekakan bangsa ini, terlunta-lunta tanpa penghargaan bahkan untuk hidup layak saja tidak bisa. Temanya sangat jelas, kekuatan tema memang andalan Rahmat Ali, sementara bentuk-bentuk puisinya memprosa, sekali lagi tampak di sini.

22. Balada Bersekolah yang Beratap Langit (2004): Tema umum tentang kekuasaan yang korup, serakah, semena-mena yang lupa daratan namun diingatkan semua hanya sementara dan sesudah itu pastilah semua sia-sia. Kekuatan Ali di sini menggunakan kata bahasa lisan ‘Lu’ sebagai kata ganti diri kamu. Dilakukan pengulangan, maka ia mendeskripsikan ketidakberesan apa yang dilakukan ‘Lu’ dalam menghadapi keseharian, bersikap terhadap orang lain, lingkungan, masyarakat, sistem. Sebagai kritik sosial puisi inipun membawa nilai yang sudah umum di masyarakat. Kekuatannya, Rahmat Ali sekali lagi menunjukkan kemampuan memotret rinci yang harapannya membangun imajinasi untuk mengenali apa-apa saja wujud fisik yang acap jadi gambaran utuh suatu rasa atau sikap. Dan Rahmat Ali jeli menangkap obyek penggusuran sekolah rakyat.

23. Sajak Kasur (Jakarta, 6 Nopember 1980). Yang paling nikmat dalam membaca sajak-sajak Rahmat Ali adalah ceritanya. Cerita apa yang ingin ia sampaikan, karena barangkali pembaca tidak pernah menjumpai hal semacam. Ia piawai bercerita tentang kondisi yang dijumpai, ia suka bercerita tentang hal kecil dan detail, ia suka bercerita tentang kisah-kisah sederhana dari masyarakat menengah ke bawah, walau ada kalanya bercerita tentang kalangan atas walau itu sedikit sekali. Dari situ yang tampak jelas jadi salah satu ciri khas Rahmat Ali adalah ingin menggarisbenangmerahkan suatu benda dengan orang. Dalam puisinya ini ia berkesan cerita tentang bantal dengan seorang pembajak sawah, kuli penanam bibit, seperti petani kuli sawah, tapi di sini bukan di sawah pedesaan yang luas lahannya. Aneh, sajak kisahnya tentang mirip-mirip kuli tanam tapi di kota, yang notabene ladang lahannya sempit. Bisa jadi puisi kisah tukang kebun, tapi lebih terasa puisi perjumpaan Rahmat Ali di Jakarta dengan petani-petani lahan tidur atau lahan sempit yang ternyata bisa menghidupi rakyat kecil di kota, yang punya satu sahabat setia: kasur, tempatnya mencari dunia lain. Dan kasur sangat setia untuk peran itu bagi si rakyat susah sejak kelahiran entah sampai kapan.

24. Si Bikini (Jakarta, 5 Juni 2004). Puisi memang ternyata bahasa bebas. Semula lebih terikat kaidah bentuk bersajak yang artinya terikat oleh garis-garis keteraturan dalam rima, irama, tipologi, dengan banyak persamaan antara unsur-unsur baris satu dan berikut dan sebagainya yang tampak pada syair-syair, pantun, talibun, gurindam sastra lama. Tapi para pembaharu sastra lebih mengikuti aliran hati untuk membuat dan menyampaikan kesan yang diraihnya dalam suatu peristiwa, rasa, lukisan suasana dan sebagainya. Maka kalaupun tampak menjadiseperti narasi atau bercerita pun tidaklah menjadi masalah lagi. Memang kalau puisi tak punya arti yang bisa dimaknai akan menjadi kurang berarti transformasi yang diharapkan pada diri pembaca. Maka bagaimana caranya suatu kesan itu sampai, sah-sah dan bebas-bebas saja sang penyair menciptanya. Dan ini kembali dilakonkan oleh Rahmat Ali. Ia bercerita tentang rasa melihat suatu rahasia yang bertabir di balik bikini wanita. Tetap ada rasa di situ. Itulah puisi. Ia lepaskan dari tipologi baris dan bait, ia luncurkan dalam alunan kata seperti prosa yang mengalir. Ia hentikan pada suatu sentakan. Terlalu lama menunggu rahasia itu memuaskan penasaran.

25. Tak Lagi Mencium Rahim Bumi (Jakarta,12 Juni 2004). Pastilah Rahmat Ali kembali mengamati dengan sangat cermat lingkungan tempat ia biasa berpelancong atau menelusur lekuk-lekuk perkampungan padat yang dibelah sungai-sungai yang tak lagi layak disebut sungai kecuali layak sebagai tempat sampah raksasa. Sungai, yang dulu merupakan sumber hajat air bersih bahkan menjadi sarana kehidupan makhluk air, transportasi manusia dan sebagainya kini tak layak lagi menjadi sahabat terdekatnya. Ia telah menjadi monster yang begitu menakutkan dan siap melumat siapapun individu dan komunitas di dalamnya, tak lagi menjadi anak bumi yang ramah memberi kesegaran hidup. Di sini Rahmat Ali memainkan puisinya yang lain, secara tematik ini baik untuk dikelompokkan dalam tema-tema lingkungan, tetap dengan gayanya yang khas, dengan suatu seruan menegaskan di ujung deretan kalimat puisi yang panjang, plus tanda seru!


Jakarta, Juli 2004


Senja yang Sihir Sastra

oleh Yonathan Rahardjo

(Review Pementasan Sastra Senja ‘Lima Sihir Sastra’ Dewan Kesenian Jakarta, di Ruang Kreativitas Terbuka Taman Ismail Marzuki Jumat 8 September 2006, dibuat atas permintaan Dewan Kesenian Jakarta)


Adalah suatu acara yang ditunggu-tunggu oleh dunia seni dan sastra di Jakarta, untuk tahu perbedaannya dengan Sastra Senja yang digelar sampai hitungan jari sebelah tangan oleh Dewan Kesenian Jakarta periode terdahulu.

Adalah harapan kalangan sastra di Jakarta untuk mengetahui kelebihan Sastra Senja olahan baru dengan Sastra Senja periode sebelumnya.

Adalah publikasi gencar dilakukan oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menyedot kedatangan penikmat sastra. Email-email di berbagai maillist, undangan cetak dikirim ke berbagai sastrawan, komunitas dan seniman, bahkan SMS pun dua kali dalam seminggu, terakhir pagi hari H agar si penerima SMS tidak lupa, ada acara sihir-sihiran kata-kata sore Jumat 8 September 2006 itu.

Senja belum datang. Sore yang hendak pergi masih berlagak.

Wajah-wajah dari berbagai komunitas bermunculan. Tidak perlu disebut satu per satu, begitu banyak. Lagi pula untuk menghindarkan pementingan tokoh-tokoh yang hadir dan yang sudah dikenal atau merasa terkenal.

Hadirin yang berminat pada acara sore itu memang datang dari lintas seni. Mereka lepaskan atribut wakil dunia teater, foto, sastra, tari, film, musik dan lain-lain.

Para hadirin rata-rata datang dari jauh, setidaknya tempat tinggalnya tidak di sekitar Cikini, datang dari berbagai sudut kota dengan kendaraan umum ataupun pribadi, bahkan dari Bandung, Aceh, terutama penampilnya yang diistimewakan Komite Sastra DKJ Periode ini.

Mereka telah melewati jalan dua setapak tembus dari halaman Taman Ismail Marzuki Jakarta. Melewati lampion merah di sisi jalan setapak, dalam setiap jengkal memunculkan lampion lain.

Yang... sayang... lampu neon-lampu neon itu masih sibuk dipasang dan didandani oleh para petugasnya untuk bersolek di jalan setapak-jalan setapak itu... padahal pengunjung sudah hadir. Pemandangan apa yang tercipta kalau begitu..? Persiapan apa yang telah dilakukan panitia? Betulkah akan selalu begitu tradisi keramaian di negeri ini?

Hadirin telah hadir... Mereka datang bukan kerena diiming-imingi bajigur segerobak, pisang rebus dan jajan pasar segerobak meski panitia mengundang dengan iming-iming dan membuktikan suguhan tradisional ini.

Dengan arah tubuh dan perhatian memusat pada satu arah, dengan sudut pandang panggung dari berbagai tempat, hadirin itu bisa bercengkerama pada berbagai posisi. Lebih ramai meski tak sampai berjejal, pertanda baik bahwa publikasi Lima Sihir Sastra lebih baik daripada Sastra Senja yang dulu.

Sayang, yang mereka kitari sebagai pusat perhatian tidak seperti dalam bayangan semula ketika mereka lahap informasi kebangkitan Sastra Senja.

Artistik panggung tidak seperti yang mereka harapkan.

Hanya ada satu lemari kuno, kursi antik, panggung kecil, latar kain hitam penuh noda. Lampu sorot masih membisu. Sedang cahaya hari masih berkuasa, mampu memperlihatkan berbagai kelemahan artistik.

Ah, mereka, hadirin, ternyata bukan datang untuk menikmati panggung yang tidak sempurna.

Mereka datang untuk memetik manfaat demi manfaat yang dirasakan ketika bertemu dengan manusia-manusia sastra dan seni baik yang mereka kenal ataupun tidak.

Ada silaturahmi, ada lobang terbuka untuk mengintip, ada lahan untuk membaca peta..

Tak heran DKJ dan penerbit lain membuka dasaran jualan buku...

Ada dukungan terhadap teman-teman terutama yang penampil...

Ah, para pembaca yang didaulat tampil rata-rata dari satu kubu. Maka dapat diraba para penonton yang hadir pada acara itu dibanding yang hadir pada acara-acara Sastra Senja era DKJ sebelumnya, sungguh jauh berbeda. Mereka sering ditemui pada satu komunitas tertentu.

Meski, tentu saja, tidak semua ini benar, karena penampil dari Bandung pun yang rasanya jauh dari komunitas itu pun diundang, dan penonton pun kelihatan, sekali lagi, dari banyak komunitas.

Hanya, terasa, yang dominan dari komunitas tertentu. Apalagi tiga orang tim Komite Sastra DKJ lebih dikenal dari atau setidaknya dekat dengan komunitas itu. Tak heran, seorang yang dianggap terkemuka dari antara para hadirin adalah panglima komunitas itu, pun, hadir dalam lingkaran ‘sihir’.

Pengeras suara mampu mengangkat suara pembaca acara, Ayu Utami, lebih mudah menggetarkan gendang telinga penonton pendengar.

Bukan hanya kaos singlet ketat dominan merah muda dan celana jins ketat anggota Komite Sastra itu yang malu-malu menyembunyikan bagian tubuh yang menggetarkan...

Yang mampu menarik mata penonton, juga audio jernih yang masih satu paket dengan tata lampu dan panggung besutan Yanto Le Honzo.

“Senja yang suram dan seram,” kata Ayu Utami.

Terang menjelang petang.

Inilah.. “Lampion Sastra..,” satu kata alternatif yang dingkapkan Zen Hae, Ketua Komite Sastra DKJ yang menyuguhkan sederet kisah sejarah kemunculan Sastra Senja yang pertama dimulai DKJ periode baru melanjutkan tradisi periode terdahulu...

Katanya, Sastra senja ini sudah diubah formatnya dari konsep Sastra Senja DKJ periode lalu.

Sekarang hanya baca-baca karya. Hal ini sudah didengungkan oleh Zen Hae di berbagai kesempatan di berbagai komunitas untuk promosi reformasi acara sastra DKJ yang lebih membumi, lebih menjawab kebutuhan.. bukankah acara bahas karya, bukan cuma baca karya, sudah banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas yang menjamur di kota ini?

Ya, berbagai komunitas sudah melakukan acara sastra yang sangat tipikal, peluncuran karya, baca sedikit karya, bahas karya, diskusi dan debat.

Dan Komite Sastra DKJ periode ini mencari celah lain, yang belum dilakukan komunitas yang sudah ada. Satu hal yang terluputkan oleh Komite Sastra periode sebelumnya, dengan acara sama dengan di berbagai komunitas sehingga sering disebut penjiplak, padahal mestinya peran Dewan bukanlah menyaingi.. tapi.. tapi... tapi....

Betulkah? Betulkah komitmen itu? Benak tanya berkecamuk. Apalagi Zen Hae juga mengatakan pada acara Sastra Senja sesekali juga akan ada peluncuran buku baru....

“Kami datang untuk melihat dan membuktikan perbedaan itu..”

“Kami datang untuk mendukung angin segar itu...”

“Kami datang untuk melihat teknik itu”

“Kami datang untuk merasakan ekspresi itu”

“Kami datang untuk menyaksikan orisinalitas itu...”

Teknik, ekspresi, dan orisinalitas... tiga tombak yang jadi satu dalam trisula... memang acap dipakai untuk mengukur suatu nilai karya seni....

Dan agaknya... Komite Sastra DKJ kali ini ingin mengemban amanah seni ini...

Betulkah.. betulkah... betulkah...?

Ketua Komite Sastra pun berkisah tentang kurasi untuk penulis berbakat yang belum dapat tempat...

Tapi, benarkah sudah cukup prestasi mereka?

Berbagai alasan kuratorial diutarakan dengan menyebut prestasi-prestasi lima penyihir kata sore beranjak ke senja itu. Tentang mereka, masing-masing dalam buku acara dipaparkan prestasi-prestasi yang menorehkan karya-karya mereka pada berbagai media, koran-koran yang dianggap berjasa mempublikasikan karya yang kemudian didewakan untuk suatu pengakuan.. meski.. meski.. secara kependekaran sastra.. masing-masing sangat miskin buku!

Bayangkan.. ke lima pendekar wanita itu masing-masing hanya punya setidaknya hanya satu buku! Halnya Vio baru menapak pada buku ke dua yang hendak diluncurkan tapi toh belum terbit..

Betulkah karya koran saja yang menjadi tolok ukur untuk suatu bakat?

Memang buku Linda dapat pengakuan prestasi tertentu.. namun untuk mengukur bakat yang layak ditampilkan, mengapa harus dipanggungkan, mengapa, mengapa tidak lebih dulu di-dadar dalam media-media sastra yang lebih sah dunianya dalam wujud tulis-menulis (yang tak sekedar sesekali di koran dan jurnal)?

Laksmi Pamuntjak, Josepha Violetta Simatupang, Linda Christanty, Avi basuki, Intan Paramaditha, yang kesemuanya perempuan, betul-betul membuat wajah-wajah para hadirin yang tampak jelas mereka adalah petarung-petarung sastra, menjadi pucat pasi, suara mereka bergetar, senyum dipaksakan.. Mengapa,.. mengapa.. harus mereka...? Mengapa bukan aku?... Apakah penyihir kata itu hanya para perempuan?... Apa kekuatan mereka sudah melebihi kekuatanku?...

Tidak salah ini?

Tanya demi tanya mengekspresikan nilai-nilai manusiawi para hadirin lelaki (dan juga wanita) yang merasa sudah berdarah-darah. Lebih berdarah-darah dalam berproses dan berkarya.. dari pada .. daripada... mereka.

Lalu, mereka para penampil itu dianggap berbakat namun tidak dapat tempat?

Bolehlah mereka disebut berbakat, meski belum teruji kesetiaannya dalam jumlah buku yang ditelurkan (kalau mau mengembalikan penilaian suatu kekuatan karya sastra dari buku serius sastra yang dihasilkan)... tapi.. betulkah pebakat ‘pemula’ itu betul-betul tidak dapat tempat?

“Kebohongan apa yang diungkap tentang Linda Christanty yang bukunya sudah diterbitkan penerbit KataKita dan mendapat hadiah Khatulistiwa Award dikatakan sebagai tidak dapat tempat?” benak tanya hadirin berkecamuk seperti badai yang menghantam tiang dan pohon menjatuhkan setiap barang berdiri tegak itu, rata dengan tanah.

Mereka, hadirin, hanya mendengar kata ‘tidak mendapat tempat’ bagi para penulis mutakhir itu...

Bahkan Ketua Komite Sastra sendiri mengungkapkan sederet data sebagai bukti kontradiksi. Ia katakan panggung mempertemukan penulis mutakhir..

Laksmi Pamuntjak yang ternyata buku cerpennya The Diary of R.S.: Musings on Art sudah diterbitkan penerbit tertentu.

Linda Christanty buku ceritanya Kuda Terbang Mario Pinto diterbitkan oleh Penerbit KataKita (2004).

Josepha Violetta Simatupang buku puisinya diterbitkan oleh penerbit di Bandung.

Avi Basuki buku cerpennya Tango diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2006).

Dan..

Intan Paramaditha bukunya Sihir Perempuan diterbitkan oleh Penerbit KataKita (2005).

“Apa itu bukan bukti mereka sudah punya tempat (untuk penilaian pebakat ‘pemula’ yang belum-belum sudah dianggap mutakhir)?”

Satu kebijaksanaan muncul di benak hadirin, “Coba jelaskan dulu maksud-maksud tempat bagi mereka, supaya kami dapat mengerti dan memahami tanpa rasa curiga...”

Dan rupanya dalam buku acara yang disediakan Zen Hae sudah menuliskan bahwa lewat panggung ini memberi tempat untuk para pesastra yang bermutu tetapi masih kurang mendapat kesempatan membacakan karya-karyanya di depan publik.

O... masalahnya hanya itu?!!.. sosialisasi karya yang dianggap ‘bermutu’ lewat pembacaan di depan publik...

Begitukah?

Begitukah cara memajukan dunia sastra? Agar karya dan penulisnya dikenal masyarakat??..

Ketika matahari masih menghibahkan cahayanya pada bumi sehingga pohon-pohon di sekitar arena masih kelihatan warna-warni batang, ranting dan dedaun yang berbeda-beda.

Ketika cahaya sore masih membuat panggung terlihat jelas bahannya dari kayu.

Ketika cahaya hari masih mampu menyuguhkan noda-noda layar hitam bekas, yang mestinya tak tertonjolkan untuk sebuah pemanggungan dengan pencahayaan yang begitu kaya.

Ketika Laksmi Pamuntjak memaksakan diri untuk maju dan berdiri dengan canggung di panggung.

Ketika perempuan muda bercat rambut kecoklatan dengan gelang karet mengikat rambutnya berkuncir kuda ini berseragam kaos ketat coklat dan celana jins yang juga ketat, kesemuanya memperlihatkan siluet lekuk tubuh bertonjolan elok pada tempat-tempatnya.

Ketika perempuan berbibir merah ini menceritakan ia harus mengatur waktu secara ketat setelah acara langsung mau terbang ke Kuala Lumpur.

Ketika perempuan berbahasa tubuh canggung ini memaksakan bercerita panjang lebar tentang cerpen yang ia buat dan akan dibacakan.

Ketika ia bercerita tentang lukisan selalu yang kita lihat dan ingat bukan sekedar lambang.

Bahwa dalam lukisan ada yang seperti puisi.

Bahwa pelukis Perancis abad 20, baginya menarik dan intim.

Bahwa ada warna-warni tidak stabil dalam lukisan.

Bahwa ada keintiman sang pelukis dan obyek.

Gadis penghamba sastra wangi ini tak menyadari.....

Terlalu lama ia makan waktu untuk sebuah pengantar.

Terlalu cerewet ia menguraikan latar kisah penciptaan sekaligus pengisahan ceritanya.

Uraiannya merusak imajinasi pembacaan.

Tiba saat pembacaan Cerpen Si Pelacur dan Si Kate, pembacaannya pun seperti baca koran. Datar. Tidak menggigit. Tak bisa menggugah apalagi menyedot emosi penonton.

Apa yang ditampilkan untuk tujuan menarik perhatian dan minat bersastra melalui sebuah pemanggungan pembacaan boleh dikata hanya ditunjang oleh penampilan fisik si perempuan pembaca yang berhiaskan sensualitas.

Sedangkan segi pembacaan, ....? Ah.. menggelisahkan.. untuk suatu pementasan karya seni!

Tak berlebihan bila menghadapi pemanggungan macam ini, penonton tak terlalu berselera, apalagi terusik perasaannya kecuali perasaan menikmati pertunjukan fisik.

Padahal pada sastra sudah tentu bukan ini yang dicari. Kalau acara pembacaan karya: serahkan pada pembaca profesional.

Bahwa thema yang digarap Laksmi Pamuntjak adalah thema perkelaminan, bisa dimaklumi, kuratorialnya tampaknya lebih berpihak pada thema-thema ini, bahkan ada rencana akhir tahun anjing ini akan mengudarakan lagi thema sastra erotis.

Thema usang yang menghadapkan sastra lendir dengan sastra-sastra lain yang relatif tak teridentifikasi dengan jelas benderanya kecuali yang frontal berhadapan yaitu sastra religius.

Apapun, memang isi karyanya cukup menggelitik, dan bisa dinikmati dengan pelototan mata pada huruf dan kata dalam buku. Namun bukan dengan mengikuti pembacaannya.

Tepuk tangan dipaksakan. Meski Laksmi Pamuntjak penulisnya (yang baik pada ukuran tertentu), ia bukan pembaca yang baik. Tak berjiwa.

Sungguh makan waktu, pengantar sekaligus pembacaan yang datar, berujung kecerahan baru ketika pembacaan ini berakhir, dan Ayu Utami selaku presenter pun mengundang pengisi acara berikutnya.

Sayang lagi... ada perubahan mendadak pertanda buruk kurangnya koordinasi antara pengisi acara, jembatan pengisian acara dan pembawa acara itu sendiri.

Violeta Simatupang belum datang. Linda Christanty yang sudah datang ditembak untuk menggantikan Violetta. Sah-sah saja. Apalagi kalau yang diusung suatu kelenturan pengisian acara. Apalagi kalau banyak permaafan yang akan diberikan untuk suatu presentasi acara yang bisa asal nyebut para pengisi acara.

Ralat... biasakah ralat dalam suatu acara? Kalau dianggap tidak menjadi masalah, ya boleh.. Asal tahu... bagaimana pun, acara yang terbaik adalah yang tertata secara sistematis dan rapi.. tak perlu ada ralat karena suatu pembatalan atau pembetulan.

Persis seperti Laksmi Pamuntjak yang memberi pengantar pembacaan cerpennya, Linda pun menceritakan tentang cerpennya. Bedanya, Linda tidak senyinyir Laksmi... sebuah upaya untuk menghormati pembacaan karya, bukan bercerita tentang karya.. yang untuk itu sudah ada agendanya sendiri di akhir acara, agenda bincang-bincang.

Datang jauh dari Aceh, di mana ia ber-LSM.. Linda tampak punya niat khusus memberikan yang terbaik ia punya untuk membaca karyanya sendiri.

Di sisi perempuan muda berambut hitam panjang yang sore-senja ber-blouse oranye dan bercelana jins ini, hal ini merupakan suatu penghargaan buatnya, sebab ia diundang khusus untuk itu...

Ia berdiri di panggung di depan pengeras suara, coba membacakan Cerpen Pohon Kersen dengan penjiwaan.

Dan penonton memang... memperhatikan.

Menjelang Maghrib lampu neon menyala. Perhatian penonton pecah.

Linda tetap berupaya dengan segenap kemampuan.. Intonasi, artikulasi, irama, tempo, ia usahakan memainkan..

Namun bagaimanapun, cara pembacaan bahkan oleh Linda ini tidak ada yang baru. Ciri yang tidak orisinal untuk sebuah pementasan muncul, setiap lembar kertas cerita yang sudah dibaca, ia jatuhkan lantai panggung.

Apapun, upaya Linda lumayan menarik perhatian dibanding Laksmi..

Meski sesungguhnya hanya yang mau berkonsentrasi yang bisa menangkap cerita. Untuk orang awam, belum tentu sanggup memaknai pembacaan itu. Untung rata-rata hadirin berprofesi sama sebagai orang sastra atau kesenian, sehingga dapat mempertahankan perhatian.

Sementara lampu neon utama masih menyala, lampu sorot panggung kurang berfungsi.

Godaan Maghrib terlewati.

Sambutan terhadap pembacaan Linda lebih tulus dan semarak. Komentar Ayu, “Mami (Linda) ternyata juga aktor.” Boleh juga...

Usai jeda Maghrib peserta pada pulang, tinggal enam puluh persen. Intan Paramaditha tidak hadir, diganti oleh Meyke Vierna dari Teater Tetas. Jawaban kegagalan pembacaan Laksmi Pamuntjak dan sastrawan pada umumnya. Serahkan pembaca profesional.

Neon mati. Gelap. Lampion merah nyala. Seram.

Setting panggung ketika malam gelap lebih berdaya sihir.

Pembacaan Cerpen Pemintal Kegelapan-nya Intan oleh teatrawan lebih menyihir.

Burung hitam terbang di ruang. Serangga di depan lampu sorot. Percik api korek dan rokok memijar malam gelap.

Suara diesel mengganggu kesunyian pembacaan perempuan rambut kuncir satu yang sore itu berpakaian sederhana, celana hitam selutut dan blouse putih bergaris-garis..

Gaya pembacaan Meyke, mimik, artikulasi dan intonasi suara menyedot pelototan mata penonton. Tepuk tangan sambutan terhadap Meyke lebih keras meski hadirin lebih sedikit. Sekali lagi, profesional pembaca panggung karya sastra lebih berhasil menghidupkan tulisan dalam imajinasi, dibanding pengarangnya sekalipun.

Violetta Simatupang yang mestinya mengisi acara jadual kedua itu, sudah datang.

Dibilang Ayu Utami selaku pembawa acara, Violetta tidak begitu dikenal dan lebih dikenal di dunia perhotelan..

Dikaitkan dengan Iwan Simatupang. Nama yang dianggap besar oleh pengamat sastra Indonesia, Violetta sang anak menolak, meski sebetulnya tak bisa sama sekali menolak, itulah takdir bahwa Iwan Simatupang adalah ayahnya.

Pembacaan puisi-puisi Vio yang diambil dari dua buku puisinya, dilakukan oleh dirinya sendiri.

Puisinya bersifat naratif, dengan kisah percakapan. Dengan satu unsur pemanggungan beda dengan kesederhanaan pakaian ketiga penampil terdahulu.. Pakaian perempuan Vio lebih modis, dengan geleng hitam melingkar di leher, mengingatkan pada satu hewan malam berkaki empat dan dikenal berekor...

Ah.. pantas judul buku puisinya Anak-anak Vampir... Meski, pakaian Vio dominan putih berbunga pastel..

Pembacaan Puisi :Kesaksian ekspresif dengan ucapan-ucapan berbeda tiap tokoh. Seperti pembacaan sandiwara radio.

Namun ritmenya sungguhlah terlalu cepat. Beberapa kejutan bom, sirine, tidak mampu menyihir penonton. Kalau Vio lebih memainkan di sini, lain jadinya. Meski puisi diakhiri dengan ‘bau arang’ yang lumayan membekaskan perhatian...

Pembacaan puisi kedua Sang Peramal disusul puisi ke tiga Gadis Tembikar tidak diikuti pergantian warna sorot panggung. Sayang.. sayang..

Namun Vio coba menarik perhatian dengan ganti posisi pembacaan. Ia duduk di kursi di panggung.

Puisi ke empat Namaku Norma, tetap dengan gaya suara beda tokoh-tokoh. Ada kejutan di akhir “puisi’nya.

Sambutan tepuk tangan penonton tampak ada sedikit sihir.

Ketika membaca gaya Koh-koh Cina, memancing tawa.

“Tidak ada yang bisa menyangkal Vio anak biologi dan non biologi Iwan Simatupang,” kata Ayu Utami. Ya, Vio termasuk pembaca yang baik, dan untuk pembacaan karya yang dilakukan oleh penulisnya sendiri... mestinya ada kurasi! Kalaupun Komite Sastra mengatakan sudah ada kurasi... perlu dievaluasi kekuatan kurasi itu sendiri!

Giliran Avi Basuki, pembacaan kembali oleh Meyke Vierna.. si pembaca profesional dari Teater Tetas.

Sayang kostum si pembaca ini masih sama dengan kostum waktu pembacaan karya Intan Paramaditha. Untuk sebuah pemanggungan yang membutuhkan penampilan, bukan sekedar materi dan cara baca, Meyke lupa...

Untuk sebuah kurasi pemanggungan meski hanya pembacaan karya sastra, panitia lupa atau perlu dipertegas...

Di manakah peran sutradara di sini? Hanyakah kurasi pada karya bukan hanya pada arahan laku di panggung?

Apa yang menjadi beda dan nilai lebih acara pembacaan karya sastra ini kalau, kalau, kalau.... masih begitu-begitu saja?

Ya, kostum pembaca karya perlu berubah, sedang Meyke kostumnya sama begitu.. Cuma kelebihannya cara pembacaannya lumayan juga dibanding pembaca datar.

Namun, sesungguhnya, pembacaan Meyke kali kedua sore ini kurang daya sengat seperti saat ia membaca cerpen Intan Paramaditha. Namun tetap lebih menyihir dibanding pembacaan Linda apalagi Laksmi Pamuntjak.

Malam telah jatuh...

Bagaimanapun... Sastra Senja memang menyihir dan mencekam.

Di sela-sela penonton, hantu jubah hitam berjalan-jalan seperti setan tak bertuan. Mengejutkan penonton. Terasakan sihirnya. Tak perlu masuk ke tengah acara, ia cuma berjalan-jalan di pinggir arena pembacaan.

Sementara penonton masih ada yang jongkok, bersila, duduk di tembok pendek, berdiri.

Namun, jangan harap ada suasana pasar malam di sini. Begitu kegelapan sudah menyelimuti lahan di sekitar arena baca, DKJ dan penerbit lain yang membuka dasaran jualan buku sudah gulung tikar...

Kalaulah ada pencahayaan yang mereka siapkan untuk dikerubungi para hadirin yang gila buku bacaan sastra...

Lampu-lampu neon merah tentu tak akan kedinginan sendiri...

Kalaupun ada pencahayaan, apakah hadirin itu juga akan mengerubungi mereka yang membuka dasaran di tanah kering mengarah ke panggung itu?

Bukankah hadirin itu sudah begitu banyak berkurang jumlahnya ketika acara menuju akhir..

Di manakah orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya penting itu berada ketika acara belum lagi tamat?

Mengapa tidak banyak yang mau bertahan sampai penghabisan?

Padahal malam baru seper enam jalan... dan kegelapan masih panjang dengan keindahan lampion merah menyala di kegalapan yang belum jauh dari purnama yang minggu itu bercengkerama dalam gerhana?

Apakah karena lokasi acara yang begitu menyudut di tempat sunyi, jauh dari keramaian jalan dan lalu lalang pengunjung Taman Ismail Marzuki yang setiap hari menjajah lahan-lahan parkir dengan mobil-mobil yang menyulap lahan kesenian menjadi lahan parkir?

Apakah karena tempat berhajat begitu menyelip seperti slilit di pojok belakang gedung besar, masuk ke dalamnya perlu menyusuri jalan berliku dikepung semak bernyamuk dan hitam?

Mengapa untuk menghadirkan senja dalam sastra dan sastra dalam senja perlu tempat tersembunyi?

Mencari ketenangankah?

Mencari persemediankah?

Mencari wangsitkah?

Mencari kesunyian agak setiap kata yang diucap dari pembacaan bisa tertangkap secara jelas makna tersurat dan tersirat-nya-kah?

Kalau untuk para empu yang suka bersemedi menjauhkan diri dari keramaian untuk mendekati Sang Maha Pencipta.. baiklah... bolehlah tempat seperti itu jadi pilihan utama..

Kalau untuk suatu ajang antar seniman yang suka berkonsentrasi menghayati dan memaknai setiap aksara terlontar dalam media-medianya... bolehlah tempat seperti itu yang dirindu...

Kalau untuk memadukan sihir sastra dan suasana senjakala... bolehlah tempat seperti ruang kreativitas terbuka dicoba...

Tapi.. kalau untuk suatu maksud menarik sebanyak-banyaknya masyarakat agar lebih gandrung kepada dunia sastra.. mesti dicari tempat pengganti.

Tapi kalau untuk suatu maksud membalik takdir dunia sastra yang sering berjalan sendiri dalam sepi dengan penikmat dan pelaku hanya dari kalangan yang sangat sempit.. diubah dalam keramaian yang mampu menyedot perhatian umat...

Barangkali sudah saatnya dunia satra lebih bergandeng mesra dengan kalangan tata kota agar dapat menemukan dan mencipta tempat yang tepat untuk acara-acara pemanggungan karya sastra.

Ada berbagai taman di berbagai petak ibukota yang asri dirindangi pepohonan tua berpermadanikan rumput-rumput hijau dengan merpati-merpati beterbangan kalau belum dibasmi karena flu burung.. dengan pengunjung yang tak jemu menikmati sore dan malam..

Meski untuk menembus keramaian masuk petak-petak ini para seniman dan penikmat seni akan lebih membutuhkan energi, belum lagi ada perjudian dalam menarik perhatian masyarakat pengunjung yang tak bisa tidak masih punya materai malas sastra sebagaimana umumnya masyarakat negeri beras ragu impor ini..

Ada taman-taman baru yang hendak dibangun Gubernur setelah mengusir penjaga sejarah sepak bola nasional dan konon akan menyulapnya jadi taman-taman kota.

Meski untuk menunggu waktu pelaksanaan kata-kata penguasa wilayah ini butuh bermusim durian..

Ada pojok-pojok di pusat perbelanjaan yang dapat difungsikan untuk menyedot perhatian manusia yang sok sibuk berjalan-jalan cuma sekedar melihat dan menyentuh barang belanjaan..

Meski untuk membelah keramaian dan mensterilkan diri dari hiruk pikuk para penghamba keramaian ini butuh energi super untuk mampu mencipta konsentrasi dalam gegap gempita dan ruwet hari..

Ada taman-taman di Taman Ismail Marzuki yang Pusat Kesenian Jakarta dengan lahan yang luas bila mobil-mobil diusir tak menjejak tanah itu... dan difungsikan sebagai lahan kreativitas yang tak bakal kekurangan pengunjung, yang begitu suka kencan menikmati makanan di warung-warung tenda yang tendanya sudah menyatu dalam tenda penganten besar, menghilangkan nilai artistik warung tenda di sebuah pusat kesenian.

Agaknya, yang terakhir ini alternatif terdekat dan paling masuk akal, sebab cap pusat kesenian bagaimanapun sudah melekat dan mengimajinasikan bahwa ada kegiatan-kegiatan kesenian di sini dan untuk menikmati kesenian ini tak perlu harus melesat masuk ke sudut terbelakang, namun cukuplah di garis perbatasan, yang tetap di pusat kesenian namun dekat dengan tempat-tempat masyarakat santai menikmati senja, dalam menghilangkan penat kerja, mencari dan mendapat sumber relaksasi, sambil menikmati hidangan pengisi kampung fisik, sekaligus menghirup roh penyemangat hidup penuh spirit... dalam sastra.. yang dibacakan.

Apakah tata kota untuk publik yang semacam ini bisa dicipta dan dilipatgandakan? Sehingga penikmat karya sastra yang dibacakan bukan hanya dari kalangan kesenian dengan seniman-senimannya semata?

Ya, sebetulnya terkait tata kota, Sastra Senja bisa di mana-mana.

Kalau untuk pengisi acara, tak perlu diragukan, mereka akan datang karena merekalah yang dihormati dengan kebijaksanaan memilih mereka dari antara pesaing-pesaingnya... Bukankah Violetta dari setengah lebar pulau Jawa? Bukankah Linda datang dari ujung pula melewati sepanjang pulau Sumatera yang maha besar dan panjang dibanding pulau Jawa? Bukankah Laksmi datang dan pergi melintasi laut, selat, pulau, bahkan perbatasan negara?

Itu sudah cukup bukti.

Setidaknya untuk acara pertama Sastra Senja yang sudah disegelkan sebagai salah satu tradisi Dewan Kesenian Jakarta, acara kali ini sudah membuktikan nilainya, begitu penting acara ini.

Acara berjalan dari matahari masih benderang menghibahi bayang-bayang pada pohon, daun, ranting dan bangunan peneduh para hadirin, hingga suara puji-pujian Sholat Isha berkumandang bahkan sayup pergi.. menjerat malam dalam jaring lampion merah yang mencipta aksen malam...

Meski hadirin dikhianati dengan tidak dilangsungkannya Acara Bincang-Bincang dan diganti dengan acara permaafan dengan bincang-bincang tidak resmi... hanya karena yang tersisa dari pengisi acara hanyalah Violetta Simatupang, sedangkan Linda Christanty entah sudah terbang bersama kuda terbangnya ke mana.. dan Laksmi Pamuntjak sudah jelas terbang ke Kuala Lumpur.. dengan sebagian hadirin cukup setia sampai acara usai...

Bukankah ini suatu bukti masih ada suatu harapan terhadap lebih baiknya acara dirancang untuk waktu-waktu selanjutnya?

Dirancang siapa-siapa siapa sastrawan terpilih sesuai dengan kriteria yang memagari orang-orang ‘suci’..

Atau lebih baiknya dirancang pementasan karya-karya terbaik.. bukan berdasar siapa orangnya tapi karya yang layak dipanggungkan.. sehingga masyarakat tidak dikecewakan dengan ‘pembacaan koran’ untuk suatu pementasan baca karya sastra. Bukankah karya terbaik itu tidak memandang siapa penciptanya tapi karya-lah yang berbicara?...

Dirancang siapa-siapa yang layak membacakan karya-karya orang pilihan itu agar pembacaannya memenuhi kaidah-kaidah pementasan panggung...

Dirancang tata panggungnya yang membuat nyaman perasaan dan perhatian hadirin yang datang dari berbagai tempat secara susah payah menembus debu dan asap timbal ibukota..

Dirancang alur acara yang tidak mencla-mencle dan terkesan sekenanya asal acara berlangsung dengan menampilkan para orang dan karya terpilih...

Dirancang siapa pembawa acaranya sehingga meski ia bukan orang penting dalam komite sastra ia tetaplah layak untuk menjadi presenter dengan kaidah-kaidah artistik, dan teknis seorang pembawa acara?

Dirancang persiapan-persiapan acaranya sehingga tidak perlu ada orang sibuk memasang lampion, memasang ini itu justru ketika jam J waktu pementasan acara sudah harus berlangsung?...

Ataukah perlu digagas suatu bentuk lain untuk suatu sikap Dewan Kesenian Jakarta dalam menjalankan tugas, amanah dan tanggung jawabnya dalam mendinamisasi perkembangan sastra dengan para pelaku, media dan komunitas-komunitas penggerak utama dunia sastra.

Bagaimana bentuk dukungan untuk mendinamisasi dunia sastra dan perkembangannya itu?

Cukupkah hanya dengan menyuguhkan orang-orang pilihan yang ternyata kapasitas kreativitas dan pengarungan dunia sastra belum tentu menghasilkan karya-karya puncak, bahkan kesetiaannya dalam berproses belumlah atau setidaknya mengundang pro-kontra kelayakan untuk mendapatkan bintang penghargaan itu?

Cukup puaskah dengan penerbitan buku acara berisi karya-karya bintang yang dibacakan pada acara pementasan yang konon menghabiskan biaya begitu besar?

Bukankah biaya besar itu cukup untuk sebuah penerbitan suatu buku karya sastra? Bukankah kalau mau memberi tempat pada mereka yang berprestasi dengan karya mutakhir sementara secara finansial belum ada dana, biaya alokasi buku acara seperti itu bisa menjadi penyaluran Dewan untuk lebih bermanfaat bagi penerbitan karya baru?

Pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di antara hadirin, antar teman, antar komunitas, antar pengisi acara, antar pengisi acara dengan hadirin, antar panitia dengan pengisi acara, antar pengisi acara dengan hadirin, antar pengurus komite sastra dengan pembawa acara, dengan hadirin, dengan pengisi acara...

Pertanyaan demi pertanyaan menggelayut dalam pikiran-pikiran sunyi...

Pertanyaan demi pertanyaan bertarung dengan pendapat, protes, hujat, pujian, sanjungan, pujaan, dan kidung-kidung malam..

Zen Hae dan kawan-kawan tentu berpikir keras untuk menggandakan manfaat. Dia telah kunjungi kantung-kantung sastra, minta masukan sana-sini dan coba memformulasi...

Ketua DKJ Marco Kusuma Wijaya telah minta tim reviewer, berdialog dan mencoba-rumuskan metode yang terbaik untuk mengkaji, evaluasi dan rumuskan langkah berikutnya...

Pembacaan sastra DKJ sudah berhasil menyedot masyarakat? Setidaknya nama yang membubuhkan tanda tangan pada buku hadir sejumlah 103 orang... tentu masih banyak yang belum menorehkan jati diri... Indikasi keberhasilan? Prematur bila tolok ukurnya hanya jumlah hadirin yang mayoritas para seniman atau penikmat seni... Apalagi dengan ambisi besar mengembalikan daya sihir sastra pada masyarakat luas..

Sekali lagi... Bagaimana dengan dukungan terhadap komunitas yang telah melakukan hal yang sama?

Gelap terus merambat..

Lampion masih bersinar,

Merah masih menyala...

Malam kelam, merah berpijar..

Semilir udara malam..

Ini bukan lagi senja.. Senja telah menjadi malam..

Senja hanya sekejap.. ketika matahari pergi ke peraduannya, di telan malam..

Kala hantu berjubah hitam berkeliling, tersenyum, mengerling mata.. menyapa yang ia kenal...

Senja sudah pergi...

Sapa kata ucap perempuan-perempuan yang ingin jadi penyihir dengan kata-kata... masih tersimpan di dedauan yang tunduk..

Dalam batang yang tegak..

Dalam ranting yang merunduk..

Dinding ruang kreativitas terbuka memotret gerak mereka yang tak terlalu berlagak.. hanya berkata-kata dalam membaca karena merasa yang mereka tunjukkan bukanlah gaya teater, meski ada yang mencoba berteater dalam naik-turunnya kata-kata...

Namun yang berhasil merasuk kalbu penonton adalah mereka yang membacakannya tidak sekedar membaca, mereka yang memakai ilmu-ilmu seni yang lain.. mereka yang tahu bahwa yang mereka tampilkan bukan naskah mereka yang dibacakan..

Tapi... pembacaan naskah mereka..

Pengucapan setiap kata dan kalimat mereka

Penyampaian tulisan yang ada di kertas-kertas mereka..

Dalam suatu wujud media yang lain..

Media penyampaian lisan.. yang disaksikan.

Bukan sekedar pembacaan di radio yang hanya terdengar

Bukan hanya pemanggungan bisu..

Apalagi hanya pembacaan bisu dalam hati..

Butuh suatu kolaborasi dengan seni pentas untuk mendapatkan dan mengeluarkan energi terbaik..

Agar betul-betul menyihir dengan kata-kata yang dibacakan dalam suatu pentas...

Bukan hanya bajigur dan pisang rebus yang menyihir..

Bukan hanya lampion merah yang menyihir..

Bukan hanya senja yang menyihir..

Agar Sastra dan Senja yang akan menyihir kita.

Agar jangan sampai terulang lagi suatu kesemata-mataan yang terasa kali ini...

Senja yang menyihir Sastra.

Bukannya Sastra yang menyihir Senja.

Terlalu agung masa ilahi yang begitu mempesona dalam pergantian waktu dan masa..

Terlalu menyihir masa ilahi yang memindahkan bumi dari kala siang menuju kala gulita...

Terlalu menyihir datangnya malam gelap yang mencekam dan mencemaskan...

menyapa rasa

menggetarkan rasa

mendebarkan jiwa

ada misteri dalam sihir masa ilahi..

Terlalu menyihir masa ilahi..

Dibanding sihir sastra yang dibacakan dengan persiapan dan segalanya yang pas-pasan..

Meski.. ada penghiburan bilamana senja dan kegelapan usai.. diganti terang untuk berbenah dan menyambut senja lagi......

Asal bukan berarti ‘senja kala’ bagi dunia sastra yang semua sudah tahu maknanya..

Ketika kaum sastrawan masih saja berkutat pada dunia lama yang tidak ada perubahan, pembaharuan dalam kaidah-kaidah bersastra dan berkesenian..

Ketika para pesastra sudah merasa puas terhadap karya-karyanya sehingga hanya mengulang-ulang pencapaian kaum terdahulu, mengekor puncak-puncak dan makin memperkukuh diri dalam kesempitan pola pikir dan eksplorasi ide, bahasan, bahasa dan cara penyampaian..

Ketika penulis sastra berhenti lagi berkarya karena merasa tak ada lagi yang akan dieksplorasi..

Ketika sastrawan dan sastrawati mudah nyinyir mengungkapkan dan bercerita seluk beluk di sekeliling proses kreatifnya namun lupa untuk mengevaluasi dan mencoba tahu diri di mana ia berada, berhadapan dengan siapa dan tak tahu apa yang mestinya disampaikan pada dunia-dunia tertentu..

Ketika kaum seni dengan mudah mengkotak-kotakkan diri dalam kelompok-kelompok yang merasa lebih unggul dibanding kelompok lain sehingga terjadi chauvinisme di dunia yang dia merasa sudah seluas samudera tapi sesungguhnya ia hanya berenang dalam baskom di bawah meja...

Ketika birokrat-birokrat sastra dan kesenian dengan mudah menembakkan kembali peluru-peluru yang diarahkan padanya dan dimentalkan ke arah penembak.. baik peluru nyasar ataupun peluru terfokus... tanpa pernah mencoba menangkap peluru itu dengan tangan dan dada perkasa untuk membuka dan tahu isinya dengan keyakinan peluru itu tak semata-mata akan meledakkan tangan dan mengambrolkan jantung perikehidupannya...

Ketika pemegang birokrasi sastra sudah merasa menjadi dewa yang bisa melakukan apa saja sampai hal-hal yang semestinya bisa didelegasikan pada masyarakatnya...

Ketika para penggede lembaga penandatangan kegiatan sastra mudah menerima surat kesempatan berkembang, menganggapnya itu adalah bagiannya, bukan bagian khalayak yang diwakilinya...

Ketika sastrawan dan birokrat sastra lupa untuk bertemu dan sering bagi kesaktian untuk mencapai puncak-puncak tertinggi kesaktian yang bukan diletakkan di atas gunung batu tapi dibagikan di kalangan yang lebih luas dan lebih luas...

Ketika kesenian lupa untuk berbaur, menyerap energi, membagi energi dan mengembangkan peradaban dan kebudayaan yang mewakili kepentingan hak-hak azasi manusia yang adil, bebas, setara, tanpa paksaan untuk suatu perikehidupan yang lebih berbudaya dan berperadaban...

Ketika...

Ketika....

Ketika itulah... yang terjadi Sastra tak bakal mampu menyihir Senja...

Yang bakal terjadi malah sebaliknya...

Senja yang Sihir Sastra

Hingga terjadilah yang semua tak bakal menginginkannya..

Senjakala Dunia Sastra.....

Maka..

Berteriaklah pada Matahari.... untuk membiarkan senja itu datang hanya sekali-sekali pada putaran dan waktunya yang pasti... untuk suatu ...

Fajar yang lebih benderang.



Ragunan, 15 September 2006