Membaca Puisi Sutardji Calzoum Bachri

Aku pertama kali membaca puisi Sutardji Calzoum Bachri di depan umum ketika Perayaan Hari Ulang Tahun ke 70 H A Karim Mahanan (sekarang almarhum), Mertua SCB, orang tua Mariam Linda istri SCB, di sebuah hotel besar di Jakarta beberapa tahun silam. Aku baca dari buku SCB 'O Amuk Kapak' yang aku sudah punya yang kubeli di pasar buku loak Senen Jakarta Pusat, terbitan Sinar Harapan. Dalam acara itu, sebelumnya, SCB juga membacakan puisinya.

Aku pun beberapa kali menyaksikan SCB membacakan puisinya sendiri di panggung, pada HUT sang Mertua itu, pembacaan-pembacaan lain, dan termasuk di antaranya pada Puncak Pekan Presiden Penyair 66 Tahun SCB di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki 19 Juli 2007 dan Peringatan HUT Kemerdekaan Negaraku ke 62 di tempat yang sama pada 16 Agustus 2007. Saat SCB membaca puisi-puisinya, memang pertunjukan pembacaan yang menawan, dengan kemampuan SCB membacakan secara unik, memainkan timbre, tempo, intonasi, tekanan kata, berbalutkan gayanya yang 'kocak', di luar jeda antar pembacaan yang rata-rata kacau pada saat puncak Pekan Presiden Penyair itu.

Saat lomba baca puisi SCB pada pekan Presiden Penyair itu, aku pun nonton 25 pembacaan puisi SCB oleh peserta lomba. Bahkan oleh banyak teman yang kujumpa juga termasuk seorang juri, aku ditanya apakah aku juga ikut lomba baca puisi itu. "Tidak," jawabku sesuai kenyataan. Pada saat-saat itulah aku berpikir tentang pembacaan demi pembacaan puisi yang tampaknya menjadi 'gaya' dan bergengsi di kalangan seni 'antara' (seni sastra dan seni pertunjukan), hingga pembacaan puisi berskala 'nasional' belum lama berselang.

Pada Acara HUT Jurnal Nasional berupa Parade Puisi Kebangsaan: Meniti Jejak Republik", dengan pembacaan puisi oleh para penyair, birokrat dan pengusaha, penyair-penyair diundang untuk membacakan puisinya di Di teater 1 Blitz Megaplex, belakang Grand Indonesia, 14 Juni 2007 malam. Mereka seperti mendapat angin untuk menunjukkan keberadaannya. Selengkapnya. Penyair SCB dan Taufiq Ismail diundang meski Taufiq tidak hadir, selain penyair-penyair lain.

Namun, di antara nama-nama itu tidak ada nama WS Rendra, yang dikenal masyarakat sebagai penyair terbesar dalam hal pembacaan puisi hingga masyarakat rela membayar tiket masuk untuk menonton pertunjukan pembacaan puisinya. Soal ini aku pun sengaja untuk membeli tiket pertunjukan puisi 70 Tahun Rendra, meski sebetulnya dengan atas nama tugas bisa menonton pembacaan puisi Rendra tanpa membayar tiket, hanya karena aku ingin menghargai pembacaan itu sebagaimana orang menghargai pembacaan-pembacaan puisiku dengan pembayaran atau ongkos transpor dari panitia, dan harapan agar suatu saat pun aku mendapat kesempatan lebih baik seperti dalam pembacaan seperti itu.

Dengan tolok ukur prestasi itu, ketidak-ikut-sertaan Rendra sebagai pembaca puisi terbaik dalam baca puisi Presiden, bagiku menggelitik, menjadikan suatu tanda tanya dengan acara yang dipimpin dan mengikutsertakan pembacaan oleh orang nomor satu di Indonesia saat ini: Soesilo Bambang Yudhoyono.

Memang Sutardji menjuluki dirinya Presiden Penyair Indonesia dan diamini oleh para pengagumnya. Panitia 66 Tahun SCB dalam Pekan Presiden Penyair pun makin mengukuhkan julukan itu, juga Abdul Hadi WM yang dikenal sebagai Wakil Presiden Penyair pada masanya, saat gilirannya baca puisi SCB, bahwa julukan itu bukan olok-olok. Namun Rendra ternyata mengatakan saat itu julukan Presiden Penyair oleh SCB sendiri adalah suatu gurauan.

Soal kredo puisi SCB sebagai pelanjut setelah Chairil Anwar, memang diakui banyak pihak, berbagai pendapat dan telaah nasional maupun internasional, meskipun menyisakan berbagai kontroversi. Namun soal pembacaan puisi, rasanya pun tidak ada yang dapat membantah bahwa Rendra-lah saat ini pembaca puisi terbaik yang dipunyai negeri ini, setidaknya dari daya sedot terhadap massa yang terhimpun secara melimpah ruah di berbagai tempat itu! Bahkan masyarakat awam pun siapapun, bila ditanya siapa penyair Indonesia, jawabannya WS Rendra, atau siapakah WS Rendra rata-rata jawabannya penyair, bukan teatrawan. Sedangkan SCB lebih dikenal dan diakui di kalangan sesama seniman dan sastrawan, sedang ke wilayah awam, sangat jauh massa-nya dibanding Rendra.

Semoga memang Rendra diundang dalam acara itu namun berhalangan seperti Taufiq Ismail, atau semoga tidak ada alasan sama sekali untuk tidak mengundang Rendra dalam pembacaan puisi oleh 3 Presiden tempo hari (Presiden Republik Mimpi Si Butet Yogya, Presiden RI SBY, dan Presiden Penyair SCB), dan hanya soal sensasional saja agar seolah acara yang diselenggarakan Jurnal Nasional itu memang acara bertaraf 'Presiden'. Bukan acaranya 'kebun binatang' karena Rendra lebih dikenal sebagai 'Si Burung Merak' (SBM).

Namun boleh juga kan kalau pikiran usil, apakah karena Rendra dikenal sering menentang kebijaksanaan pemerintah terutama di masa Soeharto maka ia tak diiukut sertakan dengan acara penerus Soeharto ini? Sedang Sutardji dikenal sangat menikmati masa-masa Soeharto berkuasa karena puisinya tidak jelas maknanya, meski di sisi kredo puisi SCB dinilai banyak orang lebih mempunyai kelebihan, meski pada beberapa puisinya juga ada bicara tentang kehidupan berbangsa bertanah air apalagi dengan puisinya 'Tanah Air Mata'.

TANAH AIR MATA

Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana

bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata

SCB, 1991

Kepedulian SCB pada kehidupan berbangsa juga tampak pada puisi 'Jembatan'.

JEMBATAN

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

SCB

Di luar itu tampaknya puisi SCB lebih berkutat pada pencarian estetika dalam kata. Sehingga puisi SCB yang masuk isinya katagori perlawanan seperti yang dilakukan WS Rendra (apalagi Wiji Thukul), jumlahnya sangat minim! Dalam konteks ini puisi-puisi berkehidupan negara dan berbangsa SCB tak ada apa-apanya dibanding puisi-puisi sosial Rendra yang membuatnya mesti dibui rezim penguasa, apalagi puisi Wiji Thukul yang membuatnya tak ketahuan rimbanya sampai kini hidup atau sudah tiada.

Sajak Sebatang Lisong

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
..........................

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian

bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
.................................

kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

Rendra, 1978

Lalu kulayangkan pandang ke penyair-penyair lain yang turut dalam pembacaan puisi 3 Presiden itu. Mereka tak lebih hanya sekedar sebagai pelengkap, sehingga ketika Presiden SBY pulang pembacaan puisi mereka menjadi kekurangan penonton. Tak berkecil hati, banyak acara serupa yang melibatkan seniman namun para seniman yang dilibatkan tidak mewakili suatu gambaran sesungguhnya kesenimanan dalam kaitannya dalam pembangunan berbangsa dan bernegara.

Aku jadi ingat kasus kelompok Ungu yang diusir dari Istana Negara karena memakai 'seragam' jins-nya? Itu bukti sebaik apapun maksud pemerintah melibatkan seniman, para senimannya masih mendapatkan perlakuan yang 'tidak adil' entah oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri.

Jelas, di sini aku tidak membicarakan estetika puisi SCB maupun SBMerak, apalagi estetika SBY dan SBYogya. Aku cuma mencari perbandingan pembacaan puisi yang bertingkat pergerakan nasional untuk sebuah paham 'konkrit' seperti yang dikatakan Korie Layun Rampan terhadap puisi SCB. Konkrit mana puisi SCB dan SBMerak untuk sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yang carut marut? Jawabannya sudah jelas.

Ataukah karena ada nafas puisi SCB yang bertema berbangsa bernegara, tidak konkrit-nya puisi SCB dalam konteks pergerakan ini karena SCB kurang mensosialisasikan pembacaan puisinya sebagaimana Rendra yang masuk dalam pusaran pergerakan dengan melibatkan lasykar-lasykar Bengkel Teater-nya serta kolaborasi dengan berbagai kalangan seniman, namun SCB lebih berkutat pada sikapnya yang soliter dan 'mungkin' pun disindir lebih sebagai penyair salon seperti yang ditorehkan Rendra pada 'Sajak Sebatang Lisong' itu? Tampaknya, kuantitas thema puisi yang konsisten juga sangat mutlak diperlukan untuk menegaskan posisi SCB. Dalam konteks ini, pun, lebih terjawab konsistensi perlawanan pada puisi-puisi Wiji Thukul.

Adapun, ternyata, konkritnya pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah puisi-puisi yang tidak secara langsung terasa daya sengatnya untuk memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kaum lemah. Pemerintah lebih memilih puisi yang tidak begitu jelas arah isinya mau dibawa ke mana. Dan, kalau pun ada yang berbicara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, penguasa lebih memilih yang cara ungkapnya umum, general, jangan sampai menggoyang kursi kekuasaannya, seperti pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang lebih menghunjam pada pergulatan hati nurani tanpa terasa menyodok terang-terangan pada yang sedang berkuasa.

Tentu saja, mungkin, SCB tidak pernah berpretensi apa-apa terhadap disandingkannya '3 Presiden' dalam acara oleh Jurnal Nasional itu, dan tidak pernah mencari posisi pada puisi pemberontakan. Yang artinya Jurnal Nasional lah yang paling berkompeten menjelaskan hal yang bisa saja dipersoalkan mengingat sensitivitas dalam dunia simbol ini. (Yonathan Rahardjo)


Referensi:

Tidak ada komentar: