Malam Anugerah Sayembara Novel DKJ 2006: Lelaki, Daerah, dan Estetika Sastra

Sinar Harapan 13 Maret 2007

oleh Sihar Ramses Simatupang

Jakarta - Tidak benar bahwa lelaki penulis tak produktif dan tak berkualitas dalam dunia kesusasteran Indonesia masa kini. Pernyataan itu secara eksplisit sempat diungkapkan Ahmad Tohari menjelang pengumuman dari Dewan Juri atas lima pemenang novel Dewan Kesenian Jakarta di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jumat (9/3). Lima pemenang lomba kali ini bahkan seluruhnya lelaki. Novel yang meraih juara itu adalah Hubbu karya Mashuri, Mutiara Karam karya Tusiran Suseno, Jukstaposisi karya Calvin Michel Sidjaja, Glonggong karya Junaedi Setiyono dan Lanang karya Yonathan Rahardjo.

Pernyataan yang diungkapkan oleh Ahmad Tohari itu bisa menjadi kontradiksi atas pernyataan juri di periode lomba sebelumnya--dalam hal ini Sapardi Djoko Damono--bahwa tak ada lagi lelaki penulis novel di Indonesia. Hal ini memperlihatkan banyak fenomena baru di dunia sastra, selain banyak penulis yang berasal dari daerah--dari para pemenang hanya satu dari Jakarta. Petikan Hubbu karya Mashuri yang lulusan mahasiswa Universitas Airlangga Fakultas Sastra dan kini mendalami filsafat di Pascasarjana IAIN itu, sempat dibacakan oleh Andi Bersama dan Wawan Sofwan sebelum pengumuman itu.

Memang bahasanya terkesan lebih “realis dan lebih terang” namun dengan sentuhan kultur pedesaan. Dalam memaparkan alas abang (alas: hutan, abang: merah--bahasa Jawa) dan sebuah pedukuhan, pada kisah di bab pertama itu, peran narator terasa muncul untuk menunjukkan pada pembacanya. Seperti ungkapan Ketua Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya, 249 naskah peserta telah membuktikan makin bergairahnya penulisan novel di Indonesia.

“Tentu saja dengan jumlah peserta yang makin banyak ini kami berharap akan lahir lagi juara-juara baru dalam khasanah sastra Indonesia, yang dapat memenuhi harapan akan makin majunya kehidupan sastra di negeri ini,” ujar Marco.

Mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef juga hadir dan diminta tampil di podium untuk memberikan penghargaan pada pemenang pertama sekaligus memberikan tanggapannya. Hal yang menarik diungkapkannya adalah bahwa “lebih baik pergunakan bahasa Indonesia yang baik daripada mencegah penggunaan bahasa asing di Indonesia”.

Baginya, para novelis malam itulah salah satu pendidik untuk penggunaan bahasa Indonesia--juga menjadi salah satu pertimbangan juri.Di tengah pengumuman itu, ada juga disampaikan kabar duka dan pengheningan cipta atas kepergian Ketua Akademi Jakarta Koesnadi Hardjasumantri, yang disampaikan oleh wartawan senior Rosihan Anwar.

Dalam kesempatan itu, Rosihan mengungkapkan tentang perjalanan, jasa, dan prestasi tokoh yang wafat dalam kecelakaan penerbangan pesawat Garuda 7 Maret 2007 lalu. Koesnadi sebagai sosok budayawan aktif, seorang “perfect type” namun juga mampu jadi penengah bahkan di tengah orang yang punya ego besar, superioritas dan inferioritas kompleks. “Bapak Koesnadilah yang memberikan dukungan untuk bisa berdamai,” ujar Rosihan.

Antara Estetika dan PasarEstetika sastra, itulah yang paling penting saat memilih novel-novel yang masuk kali ini. Itu juga yang dikatakannya seusai membacakan pernyataan yang tertulis dan disepakati oleh para juri--dengan Ketua merangkap Anggota Juri Prof Apsanti Djokosujatno dan Anggota Juri Bambang Sugiharto, sangat menarik.

“Bagi yang kalah jangan berkecil hati, ini khas ibu guru. Ibu guru yang profesor,” ujar Ahmad Tohari, mengomentari pernyataan Ketua Juri, Apsanti, terhadap “ketabahan” para peserta yang tak lolos namanya. Selain sebagian besar naskah disiapkan tekun dengan bahasa Indonesia yang menakjubkan, tema-tema para pemenang juga beragam, mulai dari keretakan rumah tangga, anak telantar hingga tema agama, rasialisme, manusia super yang mengendalikan gejala alam, dan tema yang berkaitan dengan teknologi modern.

Berkaitan dengan penerbitan, diungkapkan dalam pernyataan itu, para juri juga ingin meyakinkan bahwa amat banyak naskah peserta yang bagus, yang menurut hemat para juri memenuhi selera pasar dan berpeluang menjadi yang paling laris. Dalam ungkapan lisannya, pengarang Ronggeng Dukuh Paruk ini kemudian mengatakan bahwa hampir semua karya yang diikutkan pantas terbit dan bisa disajikan pada masyarakat.

Namun bagaimana pun, sudut pandang juri adalah sudut pandang kesusasteraan.“Bagaimana pun, pilihan penerbit agak bergeser karena merangkul pasar. Jadi mungkin saja novel yang tak terpilih bisa lebih laris daripada yang menang,” ujarnya.Dengan gaya santainya, Ahmad Tohari kemudian mengungkapkan karya pemenang pada beberapa puluh tahun yang lalu, menang namun dalam perolehan eksemplar cukup kecil bahkan tak lebih dari seribu eksemplar. “Itu sebelum saya menang,” ujar, dengan nada sedikit jenaka. *

Tidak ada komentar: