KEBUN PISANGNYA YONATHAN RAHARDJO

KEBUN PISANGNYA YONATHAN RAHARDJO

oleh: Asahan Aidit

Dalam cerpen Yonathan ini saya seperti bertemu dengan Gabriel Garcia Marquez. Realisme magis. Hanya saja realismenya Yonathan tidak sejelas realismenya Marquez. Yonathan melapisi realismenya dengan romantisme yang itu juga ada pada Marquez hanya saja pada Yonathan terasa seperti bernyanyi-nyanyi dengan kata-kata yang juga sebetulnya adalah prosa berirama yang sangat digemari pernulis-penulis muda moderen Indonesia. Sedangkan elemen magisme pada cerpen Yonathan yang sekarang ini, cepat mengingatkan elemen magisme Marquez. Saya anggap Yonathan cukup berhasil membangun ceritanya dengan tema dari secuil sejarah masa silam yang masih dekat ini. Di kebon pisangnya Yonathan ini, kita diingatkan kembali pada cerpen Martin Aleida: "Mangku mencari doa di daratan jauh": soal dendam sejarah. Hanya saja pada Martin, sikap anti dendam itu lebih jelas dan dia tegas berdiri di belakang Putu Oka Sukanta sebagai bapak anti dendam sejarah, melalui Mangku-nya. Tapi Yonathan masih ragu, malah masih bilaaaang pemutar balikan atas reaksinya terhadap malaikat penjaga kubur dan mengatakan: "Ah, betulkah ini. Pemutarbalikan fakta macam apa lagi ini ? "Tapi di ahir ceritanya, Yonathan memastikan keraguannya: "Aku tidak tahu harus bertindak mengikuti siapa. Mengikuti orang tua kandungku yang dikubur secara kejam di bawah kebun pisang, ataukah mengikuti bapak,perwira tentara orang tua angkatku" yaitu antara meneruskan dendam dengan mengikuti "bidadari"cantik anti dendam tapi yang sudah tidak bernyawa terkubur dalam tanah, menurut tafsiran orang tua angkatnya. Setidaknya keraguan Yonathan telah turut ikut meruntuhkan misi besar Putu Oka Sukanta yang anti dendam sejarah. Bahkan Soeprijadi Tomodihardjo dalam cerpennya: "Fir dan "Sis", juga di ahir ceritanya menulis: "Sisbandi, ah Sisbandi! Mengapa kau jadi begini? Kita semua kaum terhina, korban kebiadaban. Engkau boleh lupa segala.Tapi Suharto...". Cerita tamat. Bahkan pada seorang kawan yang sudah menderita demensi berat, Soeprijadi masih menuntut jangan sampai lupa kebiadaban Suharto. Dua menguak Putu dan mungkin masih ada yang lain dalam satu kumpulan TITIAN ini.

Masaalah dendam sejarah dalam sastra maupun dalam cabang-cabang seni lainnya, akan mempengaruhi sangat dalam pada orang-orang yang terlibat di bidang ini. Sastra memperhalus tujuannya melalui seni dan bisa menyentuh dalam ke hati sanubari manusia. Sedangkan media lainnya seperi berita koran, majalah, siaran radio , TV, dan media lainnya meskipun lebih mudah dipahami dan dan cepat dimengerti pesan langsung maupun tak langsungnya, tapi tak akan sedalam seperti yang dikesankan oleh sastra melalui seninya. Dalam RBKP (Revolusi Kebudayaan di Tiongkok masa lalu) kita tahu, semua buku-buku atau tulisan sastra yang dianggap reaksioner, adalah menjadi sasaran tombak yang paling tajam dengan kampanye pengganyangan besar-besaran. Jadi kita tahu pengaruh seni sastra bisa luar biasa besarnya.
Apa sesungguhnya pengertian orang-orang tentang dendam sejarah? Sungguh ironis, musuh atau Suharto, lebih mengerti apa itu dendam sejarah dari pada korban-korban terornya sendiri. Kalau Suharto dan kelompok perwira militernya melampiaskan dendam sejarahnya dengan menghabisi secara total, habis-habisan, tanpa ampun musuh-musuhnya (PKI) tapi kemudian sebagian kecil musuh-musuh korbannya yang masih hidup, menjawabnya dengan "Lupakan masa lalu, mari melihat ke depan"atau pengakuan-pengakuan yang dianggap berbudi luhur seperti: "Saya tidak punya beban, saya tidak punya dendam" yang pengkuan demikian datang dari yang bahkan di antaranya yang mempunyai "sertifikat" 13 tahun buangan pulau Buru atau dari penjara-penjara siksaan lainnya.
Orang Vienam bisa menang perang melawan Amerika karena sebuah dendam yang teramat sederhana, mereka bilang: :Kami dendam terhadap Imperialis Amerika yang telah dan sedang membunuhi kami, karena tanpa dendam kami tidak akan bisa menang meskipun punya senjata moderen dan dibantu oleh seluruh dunia".Dan mereka telah menang.

Tanpa dendam , Suharto tidak mungkin berhasil membunuhi tiga juta manusia. Suharto tidak punya ideologi karena untuk punya sebuah ideologi mungkin dia tidak cukup pintar . Tapi kalau dendam bisa dianggap sebuah ideologi, maka ideologi dendam itulah satu-satunya yang dipunyai Suharto dan dia menang. Tapi orang naif dan kaum oportunis bisa menukar atau memperjual belikan dendam untuk satu keuntungan mereka sendiri.

"Kampung kebun Pisang" nya Yonathan Rahardjo adalah tumpukan dendam yang ingin dijinakkan orang tua angkatnya yang membunuh generasi ayah kandungnya (dalam cerita) dengan menciptakan bidadari mati sebagai tumbal anti dendam. Apakah bidadari yang tidak bernyawa yang kecantikannya sepuluh kali lebih cantik dari manusia cantik yang hidup, yang menjadi idolanya Martin Aleida dan Putu Oka Sukanta yang dengan segenap bakat sastranya yang ada dikerahkan untuk bikin banyak film, bikin buku, bikin antologi untuk menghidupkan bidadari mati anti dendamnya di tengah rakyat Indonesia?. Saya kira Nobel sastra yang diimpikan Putu Oka Sukanta, lebih cocok diganhti sebagai peraih Nobel perdamaian yang gagal diterima SBY beberapa tahun lalu. Bukanlah kebetulan kalau Guthe Institut telah menjadikan Putu sebagai langganan besarnya yang namanya sudah lekat mati di komputer. Ia hanya memerlukan merekrut sebanyak-banyaknya teman seideologi dengannya. Sponsor menjamin segala-galanya. Masaalah yang tinggal apakah itu akan berhasil atau tidak.
BISAI.

LELAKI DALAM GENDONGAN

LELAKI DALAM GENDONGAN

Cerpen Yonathan Rahardjo
Sinar Harapan Sabtu 20 Desember 2008

Dengan digendong, lelaki tua yang tak mampu berjalan normal itu menerobos gang, yang sudah menjelma menjadi sungai bahkan melebar ke halaman dan masuk rumah penduduk menjadi danau. Anak muda yang menggendongnya mengerahkan tenaganya agar langkah kakinya dalam air tidak sempoyongan, agar rangka tubuhnya tetap kuat menahan beban tubuh si lelaki renta dan melawan kepungan air.

Air setinggi pusat perut telah membuat lelaki tua dan lelaki muda itu menjadi satu tubuh, dengan syarat, pegangan tangan lelaki tua erat, pada leher dan pundak si lelaki muda. Juga, tangan berotot lelaki muda kuat menyilang, agar kaki si lelaki tua seperti menunggang kuda pada tubuh lelaki muda.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

Kampung Kebun Pisang

Kampung Kebun Pisang
Yonathan Rahardjo
Antologi Cerpen Kerakyatan TITIAN, Koekoesan, 2008


KEBUN pisang yang permai. Di sini kita saling pandang dengan damai. Di sela pohon-pohon pisang yang memberi kenyamanan hati, kita saling tatap mata tanpa mengharap lain tersemai.
Rani.., kita adalah sebuah teka-teki berada di tempat ini. Kita kesatuan berpadu dengan bisik-bisik daun, dahan dan batang pisang yang tegak berpadan dengan kata tak terucap. Hati kita saling sapa mengisyaratkan bagian dari mereka, alam yang senantiasa mengelukan undangan persahabatan..
Di sini, kita berdiri berpelukan terlindungi pohon-pohon ramah memagar dengan kenyamanan. Tidak ada mata yang sanggup menembus dan memandang bahkan untuk mengintip.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

Napas Daerah Berembus ke Pusat

http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=OASE%20BUDAYA&rbrk=&id=69494&postdate=2008-10-26&detail=OASE%20BUDAYA

Jurnal Nasional
OASE BUDAYA
Jakarta | Minggu, 26 Okt 2008
Napas Daerah Berembus ke Pusat
by : Theresia Purbandini

Jakarta sebagai ibu kota dengan segala hingar bingar kehidupannya, berlangsung serba cepat dan praktis dalam segala hal. Hingga akhir tahun 1990-an, era internet mulai menyambangi dan menyekat kesusastraan yang ada pada media koran ataupun majalah. Adanya internet, dianggap oleh Jonathan Rahardjo, penulis novel Lanang, justru mempersempit kesenjangan antara sastra daerah dengan sastra di Jakarta.

Namun, tak dapat dipungkiri, kegiatan penunjang kemajuan sastra di Jakarta jauh lebih banyak dan menjamur dibanding kegiatan di daerah. Jakarta ibarat etalase bagi begitu banyaknya kegiatan di segala bidang kehidupan kesenian, termasuk bidang sastra.

Sementara, bagi novelis Naning Pranoto, hampir semua pengarang Indonesia yang telah menulis karya-karyanya adalah kaum urban. Yakni orang-orang yang meninggalkan tempat kelahiran (daerah) menjadi imigran masuk ke kota-kota besar terutama Jakarta.

Ketika mereka berkarya mengambil setting Jakarta – misalnya, karena mereka telah menetap di Jakarta sebagai penduduk. Semisal Pramoedya Ananta Toer yang menulis Cerita Dari Blora, Romo Mangun menulis Burung-Burung Manyar dan Mochtar Lubis menulis Senja Di Jakarta serta STA menulis Layar Terkembang dan Dian Tak Kunjung Padam.

Bukan kesadaran sosiologis

Pada umumnya, menurut Naning, mereka menulis tidak dengan berdasarkan kesadaran sosiologis. “Jadi, sama sekali tidak ada maksud untuk mempertentangkan antara Jakarta (pusat) vs Daerah yang telah mereka tinggalkan. Kalau kemudian ada pengarang yang mengangkat warna lokal, itu hanya dikarenakan gerakan yang dipicu nostalgia,” ungkap penulis novel Musim Semi Lupa Singgah di Shizi ini.

Bagi Jonathan Rahardjo, kegiatan sastra tidaklah identik dengan keramaian. Namun, kegiatan sastra sangat dekat dengan sunyi dan kesendirian. “Hal ini lebih banyak dimiliki sastrawan di daerah yang berkarya di ruang sunyi. Namun ruang sunyi sendiri dalam konteks berkarya bagi setiap orang adalah berbeda-beda. Arswendo Atmowiloto justru sangat produktif di keramaian, sementara di sebagian banyak orang mereka lebih produktif dalam kesunyian,“ katanya.

Maka dalam konteks ini, hiruk pikuk bagi Arswendo adalah sunyi. Arswendo sendiri sekarang tinggal di Jakarta, sehingga ia lebih dikenal sebagai sastrawan Jakarta. Dengan konteks kemajuan berkarya sastra antara daerah dan Jakarta, maka menurut Jonathan soal kreativitas sejatinya tidak memandang lokasi, daerah atau Jakarta namun tergantung pribadi sastrawan masing-masing.

“Ada semacam memori, rasa kangen, kristalisasi pengalaman, yang semua dapat dengan deras ditumpahkan menjadi sebuah karya bila ia mengambil jarak dari kisah yang dituliskan. Tak mengherankan bila karya Korie Layun Rampan, Upacara yang mengisahkan kehidupan tradisi di Kalimantan malah ditulisnya di Jakarta sebagai orang urban. Bahkan karya Umar Kayam, Para Priyayi seingat saya juga ditulis ketika ia berada di luar negeri. Dalam konteks Jakarta vs Daerah, sulit memisahkan karya-karya tentang daerah ditulis orang daerah di daerahnya sendiri, sementara ia sudah menjadi orang Jakarta yang ternyata baru bisa menulis tentang Jakarta mungkin setelah dipisahkan waktu dan tempat,“ ungkap Jonathan, pemenang sayembara novel DKJ 2006 ini.

Tema pusat dan daerah muncul sejak Angkatan Pujangga Baru, dinilai oleh Naning, bahkan di luar negeri, tema seperti itu nyaris tidak bergema. Keadaan geografis, politik, kultural, Indonesia tidaklah sama dengan negara-negara lain misalnya seperti AS, Prancis, Jerman, Inggris dll. “Di AS tidak seperti di Indonesia, ada pusat dan daerah, dikarenakan sistem pemerintahan AS berbentuk federal, sehingga adanya negara-negara bagian (bukan pusat dan daerah),” katanya menambahkan.

Pergerakan peradaban

Sementara bagi Jonathan, karena sastra berpotensi strategis dalam menunjukkan pergerakan peradaban suatu lokasi, daerah misalnya, maka ada keterkaitan yang tak terpisahkan antara kehidupan di daerah dan di Jakarta dalam banyak novel Indonesia. Tema Jakarta dan tema daerah itu, muncul dalam kisah si tokoh cerita yang melibatkan mobilitas sosialnya.

Semacam novel Belantara Ibukota karya Umar Nur Zain, menceritakan tentang anak daerah yang ke Jakarta dan berubah gaya hidupnya di Jakarta dengan
segala macam kepelikan hidup. Novel Toenggoel mengisahkan kehidupan warok di Madiun dan gemblak yang kemudian tinggal Bandung. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menyuarakan kehidupan Ronggeng Srintil di Jawa Tengah.

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam menyuarakan kehidupan priyayi di Jawa yang tak lepas kisahnya dengan anak-anaknya yang kemudian tinggal di kota besar seperti Jakarta. Novel-novel Oka Rusmini menyuarakan perlawanan gender perempuan dan penindasan struktur sosial di Bali. Novel Hubbu tentang pencarian identitas sosial di dunia pesantren di daerah tapal kuda Jawa Timur dan Surabaya.
Sedangkan Naning berpendapat, masyarakat pembaca bisa mengetahui perbandingan situasi sosiologis ekonomi, politik, budaya antara pusat dan daerah dari novel-novel, tapi juga dapat tergelincir ke dalam informasi-informasi yang kurang valid apabila para pengarang tidak menulis berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya. Karena menurut Naning, yang juga rajin mengadakan berbagai workshop penulisan kreatif ini, pada umumnya pengarang Indonesia adalah orang-orang yang bekerja (do writing) berdasarkan intuisi, imajinasi, ilusi. Tidak berdasarkan observasi apalagi penelitian yang detail dan akurat.

“Tidak perlu menempatkan batas paradigma antar Jakarta Vs Daerah. Karena selalu ada perbedaan antara pusat dan daerah. Apa yang disebut kota pada dasarnya tidak lebih dari desa yang sudah mulai mengalami proses industrialisasi, kapitalisasi dengan segala risiko dan konsekuensinya. Harap diingat, ada pepatah yang mengatakan: Jakarta is the big village,” tutup Naning. Theresia Purbandini

Gerakan “Komunitas Sastra” Harus Diimbangi Konsep dan Wacana

http://sinarharapan.co.id/berita/0809/27/bud01.html

Gerakan “Komunitas Sastra”
Harus Diimbangi Konsep dan Wacana



Oleh
Sihar Ramses Simatupang

Depok - ”Mana mungkin mengenang Chairil Anwar di tempat yang ber-AC, jauh dari kenyataan seorang Chairil sendiri. Chairil berada di gelanggang, itu juga yang menjadi latar dari Surat Kepercayaan Gelanggang,” ujar seorang penyair Irman Syah, si pembaca puisi dan peniup saluang yang kerap mangkal di Komunitas Planet Senen (KoPS), di pertengahan tahun 2008 ini.
Kita jangan fokus pada data bernas yang diucapkan ”si” Irmansyah. Tapi pendapat Irmansyah adalah gemuruh lain dari dinamika suara komunitas yang beringsut tegar di tengah dinamika komunitas sastra lain yang ”menasional” dan ”menginternasional”. Komunitas ini bergerak tanpa dukungan kekuatan raksasa citraan, media bahkan dana yang memadai.
Tak harus berlatar tempat di ”marginal perkotaan namun bersejarah” seperti Komunitas Planet Senen, beberapa komunitas sastra yang ada mulai dari Komunitas Sastra Gapus di Surabaya, Komunitas Sastra di Bali, hingga komunitas sastra di Lampung, mempunyai fenomena yang sama dengan Komunitas Planet Senen.
Komunitas Planet Senen, dengan penggiatnya Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu, Widodo Arumdono dan Giyanto Subagio, mungkin masih berkait dengan mainstream sejarah sastra termasuk nama sastrawan yang pernah bertandang ke tempat itu mulai dari Gerson Poyk hingga Chairil Anwar. Namun, problem utama di antara karya-karya komunitas berdasarkan wilayah ini adalah soal kualitas yang semestinya juga dikupas satu per satu. Selain suasana kritik, keberadaan pengamat, juga fasilitas bacaan yang diharapkan memperkuat karya baik dari sisi intrinsik maupun ekstrinsik. Teks dan tema dari masing-masing teks pengkaryanya harus diuji.

Proses
Dalam soal wacana, pemikiran ataupun estetika karya, kita mencatat fenomena Persada Studi Klub di Yogyakarta yang diasuh Umbu Landu Paranggi dengan anggotanya sastrawan ternama seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi dan RS Rudhatan. Tentang komunitas ini, seorang anggotanya Korie Layun Rampan, pernah mengatakan bahwa salah satu energi solidnya komunitas ini adalah untuk merespons fenomena media massa yang "jakartasentris".
Keberadaannya kemudian menghasilkan efek yang lebih dari itu. ”Persada Studi Klub diimbangi dengan konsep dan wacana, sehingga setiap sastrawan di dalam kelompok ini juga melakukan olah pikir,” ujar Korie, dalam percakapan dengan SH di tengah Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) 1 di Kudus, 19-21 Januari 2008 lalu.
Juga fenomena kegairahan Sanggar Minum Kopi pada tahun 1990-an dengan penggeraknya Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana, K Landras Syalendra, GM Sukawidana, Warih Wisatsana didukung Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira. Atau komunitas Meja Budaya yang dimotori oleh Martin Aleida, Sides Sudyarto DS, dengan aktivisnya, sebut saja Donny Anggoro dan A Badri AQT.
Di luar kualitas teks, fenomena jaringan, media televisi, koran, cetak-buku hingga festival kerap tak mampu menjangkau karya-karya mereka baik berupa buku ataupun cerpen mereka yang dimuat di media massa daerah. Tak ada kurator yang setia di dalam sastra! Kini, komunitas itu harus tertantang mengetahui fenomena sastra dunia, pandangan akademisi sastra dunia baik lewat internet, situs atase kebudayaan asing, situs akademi yang berisikan jurusan sastra Indonesia hingga situs atau email pribadi milik seorang pengamat dan cendekiawan yang sedang mengoleksi karya-karya sastra Indonesia baik yang klasik hingga yang kontemporer.
Kita bisa membaca perkembangan komunitas di Jawa Timur, dalam hal ini Surabaya, yang oleh S Yoga yang dilansir di Harian Umum Kompas. S Yoga, mencatat fenomena dan dinamika para sastrawan di Komunitas Sastra Gapus (mulanya akronim dari ”Gardu Puisi” sebagai komunitas di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga) yang para penyairnya (lintas generasi) antara lain Panji K Hadi, Pamudji SL, W Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, Deny Tri Aryanti, Dheny Jatmiko, Ahmad Faishal, dan Puput Amiranti N.
Suatu hal yang kemudian mengemuka dalam kekhasan, seperti Imam Mutahrom yang dalam cerpen-cerpen sarat dengan metafor dan ungkapan simbolis yang khas, mengolah kata ”kita” sebagai orang pertama dalam pengisahan, Mashuri lewat karyanya Hubbu terpilih sebagai pemenang 1 Sayembara Novel DKJ 2006, terpilih antara lain menurut sastrawan Ahmad Tohari karena ceritanya yang utuh dan padu sekali pun alur melompat-lompat. Tiap sastrawan di dalam komunitas ini pun pada akhirnya mengambil jalan sendiri, di tengah pergesekan konsep yang awalnya bisa jadi sejalan.
Kendati, di dalam puisi, S Yoga membeberkan fenomena puisi gelap di komunitas ini (yang pada awal dan di kemudian hari semakin memiliki banyak varian, red), S Yoga lalu menyebutkan bahwa tiap penyair memilih jalan sendiri karena demokratisasi dan menghargai perbedaan, lebih ditegakkan daripada mazhab ataupun ideologi.
Beberapa komunitas yang selama ini ngendon di balik keyboard komputer dan kursi warnet pun malah keluar dari dunia cyber-global dan terbatas ruang dan waktu itu. Setelah asyik berkomunikasi antarbenua, mereka malah turun gunung di dalam Acara Sastra & Musik REBOAN di sebuah tempat yang khas dan punya sejarah: Warung Apresiasi Bulungan. Warung yang di dekatnya konon pernah berdiri Kelompok Poci Bulungan-nya Arswendo Atmowiloto bersama Radhar Panca Dahana dan Yoyik Lembayung.
Semoga saja, penggagasnya, Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam) dengan nama sastrawan antara lain Johanes Sugianto, Budhi Setyawan, Yonathan Rahardjo, Zai Lawang Langit, Setiyo Bardono, Sahlul Fuad, Ilenk Dian Asrinda yang telah menggelar kegiatan rutin keenamkalinya pada 17 September 2008 lalu, dapat semakin tepat dalam langkah dan konsepnya.
Tak sekadar membumi setelah asyik bermain di antara kerlip monitor komputer, tak cuma mengulang sejarah komunitas para pendekar sastra lama yang notabene pernah bergelut di tempat itu. Sastra Indonesia lahir di mana-mana, tentu sejalan dengan konsep dan estetika teks. n

'Cermin Hati' di Sastra Reboan #6

'Cermin Hati' di Sastra Reboan #6

“Ada sesuatu yang beda dalam acara ini. Sastra, yang bagi saya terasa berat dan serius, kok bisa dinikmati dengan enak ya. Ini setiap minggu ya,” kata seorang lelaki setengah baya saat menikmati tampilan Cakranada, band dengan nuansa etnik di Sastra Reboan #6, Rabu kemairn (17/09) di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan, Jakarta Selatan. Teman di sampingnya, yang jadi panitia hanya tersenyum sebelum menjelaskan, acara ini sebulan sekali. Khusus untuk Bulan Puasa diajukan ke tanggal 17 dari semestinya tanggal 24.

Sastra Reboan, yang tak terasa sudah memasuki edisi ke 6, malam itu memang terasa beda. Mengambil tema “Cermin Hati”, acara mengalir dengan riak dan rima yang menghanyutkan sekitar 100 pengunjung. Apalagi semua pengisi mampu menyanyikan tampilannya yang terbaik. Semua membaur, menunjukkan cermin hati diri dalam berbagai isi puisi. Tak peduli dia penyair ternama atau baru mencoba merangkai kata-kata.

“Sebelumnya sempat terpikir Paguyuban Sastra Reboa Malam (Pasar Malam), apakah akan dilaksanakan Reboan karena bulan September ini bersamaan dengan bulan Ramadhan atau bulan puasa bagi kaum Muslim. Namun akhirnya dilaksanakan dengan menampilkan karya yang bernuansa spiritualitas atau sufistik-religius. Hakikatnya ada semangat berinstropeksi diri, dan diharapkan akan merembes pada suatu sikap yang terus menggali mata air kreativitas agar mampu menghasilkan karya yang mencerahkan bagi kehidupan”, ujar Wakil Ketua Pasar Malam, Yonathan Raharjo ketika diwawancara Jak TV.

Acara Reboan # 6 dimulai relatif agak malam,dari semula dijadwalkan pukul 20.00 WIB, namun agak sedikit tertunda karena sholat tarawih belum usai dan lain hal, akhirnya dimulai pukul 20.30-an. Budhi Setyawan sebagai presenter naik ke panggung sendirian. Kemudian tanpa diiringi alat musik, dia menyanyikan penggalan lagu Munajat Cinta-nya The Rock dan ketika sampai refrain: “……. Tuhan kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati……..” tiba-tiba muncullah seorang perempuan cantik berjilbab. Dan perempuan yang akrab dipanggil Tiwie yang berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas di Jakarta itu jadi presenter pendamping pada malam itu.

Tampil pertama malam itu adalah Cakranada Band, sebuah grup yang tampil begitu padu dan sangat impresif membawakan 2 buah lagu. Grup band ini menggabungkan unsur etnik seperti kendang sunda, perkussi, juga gamelan dengan unsur band pada umumnya seperti gitar, keyboard, drum dan bass. Penampilannya sangat memukau para pengunjung, yang kebanyakan suka seni dan sangat mungkin seperti mendapatkan oase baru bahwa ada alternatif musik yang berbeda dengan band-band pop umumnya. Setelah itu tampil Savitri Restu Putri, seorang pegawai Pengadilan Pajak Depkeu yang juara pada lomba baca puisi di kantornya membacakan puisi karyanya berjudul Rinduku. Pembacaan puisinya cukup jelas artikulasinya dan menyentuh perasaan. Disusul penampilan Weni Suryandari seorang guru SMP yang rajin menulis puisi, cerpen, novel/novelet membacakan puisinya berjudul Tuah Bunda. Puisinya bertutur tentang kerinduannya kepada ibundanya yang telah meninggakannya dan ada kegamangan dalam menjalani kehidupan, dia merasa lelah berjalan sendirian. Memang sosok seorang ibu hampir pasti sangat berpengaruh bagi anak-aaknya.

Pembaca puisi berikutnya adalah Aditya Kusuma Rachman, yang juga pegawai Pengadilan Pajak dimana dia juara lomba baca puisi membacakan puisi karyanya berjudul Hanyalah Debu. Berisi tentang jerit anak manusia yang merasa dirinya adalah debu yang tak berdaya, yang hanya dengan bantuan-Nya bisa hadir sebagai khalifah di muka bumi ini. Disusul Dharmadi, penyair senior asal Purwokerto yang mebacakan puisi berjudul Mencari Kosong yang diambil dari buku kumpulan puisinya ke-4 yaitu Jejak Sajak. Penyair ini akrab menggeluti puisi dengan pencitraan imajis-simbolik. Puisi-puisinya yang kebanyakan puisi pendek terasa mengalir lambat, namun sedemikian teliti dan telaten merayapi relung sukma para pembaca dan penyuka puisinya. Disambung naik ke pentas Rita Sahara, penyair yang bermukim di Cimanggis ini beberapa puisinya masuk dalam Antologi Penyair Depok “Gong Bolong”. Dia membacakan sebuah puisi pendek berjudul Terapung Senyap. Setelah itu tampil Cakranada band untuk kedua kalinya dengan membawakan beberapa lagu, selain lagu ciptaan sendiri juga sebuah lagu bernuansa religius karya Oddie Aam berjudul Kusadari. Ternyata band ini juga ikut mengisi di acara Reboan # 5 pada bulan Agustus 2008.

Kemudian tampil Utami Diah Kusumawati, seorang editor sebuah perusahaan percetakan membacakan puisi karyanya “Liar Ilalang”. Setelah dia seharusnya tampil Endang Supriadi, penyair yang aktif menulis puisi sejak tahun 80-an, namun tidak bisa hadir karena sakit. Yang berikutnya membaca puisi adalah Ulil dari Komunitas Bunga Matahari. Dia membacakan 2 buah puisi sambil duduk di kursi, namun demikian tetap bisa tampil dengan baik. Setelah itu tampil Gemala, penyanyi yang tergabung dalam grup band Kerispatih itu, membawakan sebuah lagu diringi oleh dua orang gitaris dalam nuansa unplugged. Meski minimalis, namun tetap menerbitkan semburat kesegaran dalam lagu yang dinyanyikannya.

Di sela-sela penampilan penyair dan pemusik, Budhi sang presenter sempat melantunkan tembang mocopat berjudul Ngelmu Iku. Tembang yang diciptakan oleh KGPAA Mangkunegoro IV itu mempunyai makna yang dalam, yang secara singkat bisa diartikan bahwa setiap ilmu atau pengetahuan dapat diperoleh dengan adanya niat dan kesungguhan, dan apabila telah didapatkan pun juga harus diamalkan agar memberikan manfaat kepada banyak orang. Juga sebuah lagu dari grup GIGI berjudul Malam Lailatul Qadar: “....inilah malam seribu bulan.....”, yang mengingatkan tentang adanya malam Lailatul Qodar yang nilai kemuliaannya lebih dari seribu bulan. Sedangkan Tiwie sempat melantunkan dengan lirih penggalan lagu Sajadah Panjang-nya Bimbo. “ada sajadah panjang terbentang, hamba ruku’ dan sujud......”

Pembaca puisi berikutnya adalah Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair yang terkenal dengan puisi religinya berjudul Sembahyang Rumputan membacakan 3 buah puisi. Salah satu puisinya berjudul Tuhan, Aku Berlindung PadaMu. Puisinya berisi tentang keteguhan seorang manusia yang tetap berharap dan berlidung kepada Tuhan yang sejatinya tuhan, meski banyak bermunculan atribut atau kilau dunia yang dianggap sebagai tuhan bagi sebagian manusia yang hidup di era kekinian. Disusul Rukmi Wisnu Wardani, penyair yang juga sarjana arsitektur ini tampil sangat memikat dan penghayatan yang mantap, 2 buah puisi dibawakannya tanpa teks. Sepertinya telah membaur menyaur dalam keseharian penyair ini. “Surat Untuk Ibu” bertutur tentang keluhuran dan ketulusan seorang ibu, sedang kegelisahannya sebagai manusia dalam menyikapi ketuhanan dan pencarian diri dituangkan dalam “Satu”.

Akhirnya reboan edisi 6 ditutup dengan penampilan kolaborasi 5 penyair Pasar Malam yaitu Yonathan Rahardjo, Setiyo Bardono, Johannes Sugianto, Budhi Setyawan dan Sahlul Fuad. Dalam kondisi lampu dimatikan, naiklah 5 orang itu, lalu duduk bersila berderet dari kiri panggung ke kanan. Setelah lampu panggung dinyalakan, maka berkumandanglah suara Yonathan Rahardjo yang bertindak sebagai pengatur laku dan gerak, dan kemudian satu persatu penyair membacakan sebuah puisi bernuansa spiritualitas-sufistik. Pembaca pertama adalah Budhi Setyawan, disusul Johanes Sugianto, Sahlul Fuad, Setiyo Bardono dan terakhir Yonathan Rahardjo. Yonathan Rahardjo bergerak menidurkan para penyair dari duduknya dan kemudian dia mengambil posisi tidur di tengah-tengah. Setelah berlangsung sejenak dan dalam balutan nuansa yang magis, Yonathan bangkit dan turun dari panggung disusul para penyair lainnya.

Sungguh acara malam itu sangat meriah dan ada nuansa yang lain dari Reboan sebelumnya. Apalagi di antara hadirin yang datang nampak Mr Mihaly Illes yang menjabat sebagai Duta Besar Hungaria untuk Indonesia. Dia sangat suka dengan sastra Indonesia dan sangat sering menekuni membaca cerpen yang ada di koran edisi Minggu. Selain dia juga hadir Endo Senggono Kepala Perpustakaan PDS HB Jassin TIM, penyair Imam Ma’arif, Irmansyah, Anya Rompas, para penggiat sastra dari Universitas Atmajaya dan dari Universitas Bung Karno/Kapas Merah, pejabat Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan dan juga tidak ketinggalan penyanyi berambut gimbal Mbah Surip. Acara malam itu juga sempat diliput sebuah televisi swasta Jak-TV.

Dan pada pukul 22.30-an acara resmi berakhir, dan para hadirin beranjak dari tempat duduknya dalam nuansa seperti terpuaskan dengan acara malam itu, dan beberapa pengunjung malah menanyakan kapan acara Reboan bulan Oktober akan dilaksanakan. (bud/ines)

Manunggaling Kawulo-Gusti

OASE BUDAYA, Jurnal Nasional
Jakarta | Minggu, 14 Sep 2008

by : Theresia Purbandini

Abdul Hadi WM pernah melahirkan kumpulan puisi yang begitu pekat diwarnai pemikiran tasawuf Islam. Kumpulan puisi tersebut, Meditasi, memenangkan hadiah buku puisi terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1978. Lalu, bukunya yang juga banyak mendapat perhatian, Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh, melukiskan kecenderungan pemikiran sufistiknya.

Menurut penyair Yonathan Rahardjo, gaya sufistik ini juga disosialisasikan oleh Abdul Hadi WM yang mengembangkan pengaruhnya pada tradisi penulisan puisi 1970-1980an. Ia bersama Kuntowijoyo dengan sastra profetik dan sastra transenden, Emha Ainun Nadjib dengan estetika kaffah, Danarto dengan cerpen-cerpen Islam kejawen, Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG dengan estetika Jawa, serta Wisran Hadi dengan estetika Minang, Taufiq Ismail dengan sajak-sajak sosial-religiusnya -- sama-sama mengembangkan estetika sastra yang kemudian dikenal sebagai sastra sufistik.

Pendapat Yonathan ini didukung oleh penyair Akhmad Sekhu, yang menyebutkan gerakan tersebut sebagai arus utama dari gerakan "kembali ke akar". Kembali ke sumber. Di antaranya: menjadikan nilai-nilai Islam dan sufisme sebagai sumber ide dalam bersastra. “Jadi puisi sufistik di Indonesia tidak lahir begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh sastra klasik Timur Tengah. Sebuah tempat yang disebut-sebut juga sebagai awal atau cikal-bakal peradaban dunia,“ kata Akhmad.

Begotulah mata rantai yang panjang dari tradisi sastra sufistik pun bisa ditarik dari Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, Al-Hallaj, yang di Indonesia mata rantai pun sudah mentradisi sejak Hamzah Fansyuri dengan Syair Perahu, lalu Amir Hamzah dengan sajak-sajak romantik-religiusnya. Barulah pada 1970-an, Abdul Hadi WM menghidupkannya kembali.

Estetika Timur

Sosok penting Abdul Hadi WM dianggap Yonathan tak hanya popularitas kepenyairannya, tapi juga dibekali paradigma sastra sufistik yang dikembangkannya. “Jelas sebetulnya dialah yang menyebarkan konsep ini, selain sebagai seniman dia juga ilmuwan sastra,” kata Yonathan.

Sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporer, melalui puitika sufistik yang dikembangkan AbdulHadi WM. “Abdul Hadi WM ikut menafasi kebudayaan kita dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami, yang ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual. Pemikiran sufistik dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat yang hedonis dan sekular,“ kata Yonathan lagi.

Dalam salah satu puisinya, Tuhan Kita Begitu Dekat, diakui Yonathan, Abdul Hadi rupanya dengan tandas menuliskan tentang kemanunggalan atau menyatunya dirinya dengan Tuhan, seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Dengan puisi itu Abdul Hadi ikut mengkristalkan konsep kemanunggalan makhluk dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistica atau wahdatul wujud.

Abdul Hadi menyediakan diri sebagai nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Hal ini tampak sebagai komitmen Abdul Hadi dalam bersastra, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).

Disisi lain, Akhmad Sekhu juga menambahkan bahwa puisi Abdul Hadi menyiratkan makna yang dalam di balik kesederhanaan kata-katanya. Sebuah karya yang populis, dikaryakan dengan totalitas melalui sumber-sumber agama dengan menyiratkan ayat-ayat agamanya serta bersentuhan dengan alam, karena alam merupakan ayat yang tercipta dari Tuhan. Yang tersirat dan yang tercipta disandingkan di dalam karya-karyanya yang bersifat pribadi, langsung menuju sang Penciptanya.

Mempengaruhi penyair 1980-an

Selanjutnya, gerakan sastra sufistik yang didukung oleh Abdul Hadi WM ini ternyata cukup "mempengaruhi" beberapa penyair 1980-an. Di antaranya sebutlah Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Soni Farid Maulana, dll.

“Mereka dianggap memilih puitika sufistik sebagai landasan kreatifnya, dengan intensitas penulisan puisi yang juga bertema sufistik itu. Tapi, jelas di sini bisa terjadi politik sastra. Kecuali dengan jujur dan mau mempelajari begitu banyak karya lain yang bermunculan, kita akan menemukan karya puisi sufistik sejati,” ungkap Yonathan.

Yonathan mengingatkan, “dalam berkarya, tidak usahlah terbebani tema maupun kaidah yang akan membelenggu. Pelajari semua, namun dalam mencipta biarlah muncul secara alami. Sufistik adalah hubungan dengan Tuhan, jujurlah dengan hubungan itu dan jujurlah dalam menulis. Tak peduli apa pun label yang bakal disandang, sebab yang penting semua karya sebetulnya adalah menuju karya sufistik, meski bukan sufistik gaya Abdul Hadi WM.”

Sementara, perkembangan tema sufistik di kalangan penyair sekarang menurut Akhmad Sekhu, masih tetap ada. Tentu dalam rangka untuk mengenal dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Di tengah gelombang kehidupan hedonis yang serba materialistis ini, wajar tetap ada penyair yang agamis. “Hal ini patut kita syukuri, karena ada yang masih berpegang teguh pada norma agama. Ini berkaitan dengan keyakinan. Fenomena ini sungguh dahsyat.” Theresia Purbandini

Puisi-puisi sufistik Abdul Hadi WM

Wawancara dengan Dini Wartawan Jurnal Nasional


1.Apa sebenarnya definisi puisi sufistik itu? melihat dari segi pesannya atau mengaitkan dengan latar belakangnya dengan makna Sufi?

Menjawab dengan kesadaran saya sendiri, bahwa munculnya definisi puisi sufistik bagi karya-karya penyair, hanyalah labelisasi yang diberikan oleh pengamat untuk memudahkan penggolongan puisi berdasar tema. Jelas bagi saya puisi sufistik adalah puisi yang bertema tentang sufi, tasawuf, kesucian, keTuhanan. Sementara bagi saya sebetulnya soal KeTuhanan tidaklah semata-mata berkaitan dengan hal yang 'seolah-olah' suci seperti langsung tentang Nafas Tuhan, jiwa yang dekat dengan tuhan, tentang pengembaraan hati, pencarian kesucian Tuhan, dosa dan tidak dll.

Bagi saya, Tuhan adalah sesuatu yang nyata dalam hidupsaya, bahkan dalam menjawab pertanyaan ini pun saya melakukannya untuk Tuhan. Puisi-puisi sosial dan lain-lain, bukankah itu juga untuk kemuliaan Tuhan? Bukankah puisi-puisi dengan Tuhan yang nyata dan terefleksikan secara praktis boleh dibilang juga puisi sufistik? Mengapa kok tidak disebut puisi sufistik? Tapi disebut sebagai puisi sosial, puisi perjuangan dan lain-lain?

Ternyata kita memang menghadapi begitu banyak orang yang berbeda-beda,dan untuk memberikan suatu pendapat kolektif, mau takmau kita moderat, dan mencoba menerima dan mengerti batasan-batasan umum, yang sialannya kita terbentur lagi oleh norma bersama yang seolah kebenaran umum, dengan pendapat ahli bahasa, pengamat dan lain-lain, apalagi paus sastra atau para peng-indoktrin dunia sastra, ada yang disebut dengan nama puisi sufistik.

Sebetulnya bagi saya itu penyempitan darimakna tasawuf, kesucian dan keTuhanan itu sendiri. Tuhan tidak sebatas itu, tidak sebatas dalam makna puisi sufi itu, dalam segala puisi, mestinya kita mengenal Tuhan; maka semua puisi adalah puisi sufistik. Sedangkan yang kita kenal dengan puisi sufistik sekarang hanyalah pemaknaan supersempit;yang mau takmau kita mencoba memahami keadaan yang berkembang dengan pendapat orang di jagad sastra yang sudah ada; agar kita mempunyai pendapat yang kuat mengakar dan membangun keyakinan kita sendiri.


2. Sebenarnya puisi Sufi di Indonesia itu lahir begitu saja atau ada pengaruh dari negara lain?

Di sini kita terikat pada batasan-batasan, setidaknya kita memaknai pengetahuan umum itu. Kalau makna puisi sufi mengacu pada tasawuf adalah puisi yang bertemakan tentang tasawuf, maka puisi sufi yang dikenal selalu dihubung-hubungkan dengan tasafuw muslim yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad. tasawuf atau sufisme sendiri sering dimaknakan bermacam-macam arti, asalnya dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa, ada yang bilang dari sha wa fa. Ada yang berkata berasal dari shafa yang berarti kesucian, ada pula yang brucap darikata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang terpilih.

Kalau melulu dari pemaknaan itu, ya mau tak mau lahirnya puisi sufistik yang terpengaruh mata rantai panjang tradisi sastra sufistik kalangan para penyair sufi Persia Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, Al-Hallaj; yang kemudian di Indonesia, mata rantai tradisi sastra sufinya dari Hamzah Fansyuri dengan Syair Perahu, lalu Amir Hamzah dengan sajak romantik-religius, lalu tahun 1970-an dengan sajaksufi Abdul Hadi WM.

Puisi sufistik bersifat esoterik, universal dan dapat melampaui batas-batas agama; maka kita mengenal penyair reformasi Hindu Rabindanath Tagore dan penyair Kristen Khalil Gibran. Guna mendalami puitika sufistik, seseorang tak harus menjalani tarikat sufi atau ikut mazhab sufi tertentu untuk melahirkan karya sufistik. Kesufian ditentukan cara berpikir tentang kehidupan di dunia dalam olah batin dan sistem nilai dalam penguasaan jiwa guna dituangkan dalam karya sastra.

Bukankah sebelum adanya agama-agama samawi di Indonesia kita sudah mengenal tentang Ketuhanan, tasawuf, Ketuhanan dalam berbagai wujud? Mengapa tidak ada pelabelan semacam yang sudah kita kenal? Ini PR kita bukan? Betapa sesungguhnya karya-karya Negarakeragama karya Empu Prapanca di Majapahit pada 1350-1389 yang mengenal Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa pun sebuah telaah pikir Ketuhanan yang dahsyat yang tidak pernah kita kelompokkan karya ini dalam sastra sufistik bukan?

Mengapa ada pelabelan puisi sufistik seperti sekarang? Itulah hasil kerjaan para kritikus dan pengamat sastra yang kita berhak untuk tidak semata-mata mengikuti pensejarahan yang kita ketahui banyak sekali penggelapan seperti yang terjadi terhadap hilangnya sastra kiri karya sastrawan Lekra dalam sejarah sastra Indonesia.


3. Kalau di dunia, tokoh puisi Sufi itu siapa ya? Apa karyanya yang menonjol?

Sekalilagi ini hanyalah pengetahuan umum, bahwasanya kita menjadi kenal mereka, sementara banyak yang hilang dari perbincangan dan peredaran karena banyak faktor
penyair sufi Persia Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, Al-Hallaj, Rabindanath Tagore yang sangat menonjol terutama pada karya-karya puisinya; dan penyair Kristen Khalil GibranE dengan karyanya Lagu Gelombang, Pasir dan Buih, Sang Pralambang, Sayap-Sayap Patah, Taman Sang Nabi.


4. Bagaimana menentukan puisi ini jenis sufi atau tidak?

sudah terjawab di nomor 1


5. Bagi mereka, mengapa Abdul Hadi WM disebut penyair sufi?

Sekali lagi ini pengetahuan para pengamat itu: Bersama para penyair yang menumbuhkan estetika Timur pada 1970 an seperti Kuntowijoyo dengan konsep sastra profetik dan sastra transenden, Emha Ainun Nadjib dengan konsep estetika kaffah, Danarto dengan cerpen-cerpen Islam kejawen, Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG dengan estetika Jawa, serta Wisran Hadi dengan estetika Minang, dan Taufiq Ismaildengan sajak-sajak sosial-religiusnya; Abdul Hadi WM dianggap mengembangkan dan memasyarakatkan puitika sufistik!

Dalam salah satu puisinya, Abdul Hadi rupanya dengan tandas menuliskan tentang kemanunggalan atau menyatunya dirinya dengan Tuhannya seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Dengan puisi itu Abdul Hadi ikut meluruskan dan mengkristalkan konsep kemanunggalan mahluk dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-Gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistika atau wahdatul wujud. Abdul Hadi menyediakan diri menjadi nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Hal ini tampak sebagai komitmen Abdul Hadi dalam bersastra, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).



6. Karya apa dari Abdul Hadi WM yang paling menonjol karakter sufinya?

Sosok penting Abdul Hadi WM bukan sekadar popularitas kepenyairannya, tapi juga paradigma paradigma sastra sufistik yang dikembangkannya. Jelas sebetulnya dialah yang menyebarkan konsep ini,selain sebagai seniman dia juga ilmuwan dan politikusi sastra. Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan AbdulHadi WM menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya. TampakAbdul Hadi WM ikut menafasi kebudayaan kita dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami, ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler.


7. Menurut mereka, mengapa pada 1980-an puisi-puisi sufistik begitu berkembang? Adakah peristiwa yang melatarbelakanginya?

Saat itu Abdul Hadi menjadi redaktur rubrik satra Dialog Harian Berita Buana. saat itu pulajaya Majalah Sastra Horison dan rubrik-rubrik sastra surat kabar Jakarta lain yang menjadi semacam kiblat perkembangan sastra Indonesia. Saat itu Abdul Hadi WM mengembangkan pengaruhnya pada tradisi penulisan puisi pada 1970-1980an. Agaknya menurut saya kecenderungan 1970-an dengan puisi sufistik adalah setelah tragedi pembantaian jutaan rakyat Indonesia yang tidak berdosa pasca 30 September 1965 dimulai pembantaian besar-besaran tahun 1967,lalu keharusan setiap orang harus mempunyai agama dan dilabeldi KTP-nya, mendorong orang cenderung bersifat religius, kalau tidak akan dicap komunis dan 'dibantai'. Masa 1970-1980 an stigma PKI pada jutaan rakyat Indonesia masih merajalela; sementara pada saat bersamaan keran budaya barat akibat PKI kalah dibuka seluas-luasnya sehingga semua budaya Amerika dan kawan-kawan yang liberal mencengkeram ibu pertiwi; inilah saat paling subur perlawanan rohani baiknaturalmaupun rekayasa di mana orang mulai bersifat religius itu, muncul puisi2 keagamaan, tasawuf, kesucian, agama, Ketuhanan itu;


8. Menurut mereka, apakah jenis puisi sufi bisa bersifat abadi? Maksudnya tetap kontekstual dari masa ke masa tidak?

Ya. Apapun karya sastra yang baik akan abadi.

9. Apa pengaruh gaya Abdul Hadi ke penyair muda sekarang ini ? Kalau ada, merujuk ke gaya penulisan, tema, atau pesan?

Banyak penyair dari generasi 1980-an yang juga menulis puisi senafas dengan sufistiknya AbdulHadi WM. Sebutlah nama yang sering didoktrinasikan oleh kelompoknya Horisin seperti Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Nor, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, dan Soni Farid Maulana. Mereka dianggap memilih puitika sufistik sebagai landasan kreatifnya, dengan intensitas penulisan puisi yang terus berthema sufistik itu. Namun jelas di sini juga ada politik sastra sendiri, kecuali dengan jujur dan mau mempelajari begitu banyak karya lain yang bermunculan kita akan menemukan sejatinya karya puisi sufistik tidak sebatas pada para penyair yang disebut. Katakanlah bagi saya, karya-karya penyair yang disebut para pengamat dalam barisan karya Sufistik seperti Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, Ari MP Tamba, almarhum Maroeli Simbolon, Sihar Ramses Simatupang, maupun Maulana Ahmad yang baru menelurkan bukunya Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan bersama Dedy Tri Riyadidan Inez Dikara.

10. kelebihan dan kekurangan dalam membuat puisi sufistik itu sendiri?

Kelebihannya, orang (baik pencipta puisi maupun pembacanya) mendapat makna bagaimana nilai-nilai berhubungan dengan Tuhan secara muka dengan muka

Kekurangannya, hubungan dengan Tuhan seolah-olah hanya masalah yang terasakan dalam penyembahan, kesucian, kedirian, padahaljelas bagi saya semua masalah apapun itu selalu terkait dengan Tuhan, tanpa kita membicarakannya dengan kata yang tersurat sekalipun


11. Termasuk Sufi yang bagaiman karya-karya Abdul Hadi yang tersirat melalui karyanya?

Bagi saya karya-karya Abdul Hadi merupakan karya sufi yang langsung mengupas hubungan antara Tuhan dengan manusia, alias sufi tembak langsung yang cenderung menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-bentuk spiritualitas agama.


12. Ksulitan dalam membuat tema yang artistik dan tematik ini apa sajakah kendalanya?

Secara estetika perlu pemahaman esetik yang luas dan latihan. Secara tematik perlu dan keluasan berpikir dan olah batin.


13. Apakah ada pakem tertentu dalam membuat karya bertema sufistik?

Bagi saya, jujurlah berkarya,tidak usah terbebani oleh tema maupun kaidah yang akan membelenggu. Pelajari semua, namun dalam mencipta biarlah muncul secara alami. Kalau pun ada para politikus sastra memetakan, biarlah semua hal toh akan muncul dengan kedirian sendirinya. Sufistik adalah hubungan dengan Tuhan, jujurlah dengan hubungan itu dan jujurlah dalam menulis, yang pasti puisi atau karya sastra kita itu akan berjiwa dan punya Roh; tak peduli apapun label yang bakal disandang, sebab yang penting semua karya sebetulnya adalah sufistik; meski bukan sufistik tembak langsung ala Abdul Hadi WM.


14. Bagaimana perkembangan tema sufi sendiri dikalangan penyair muda, bagaimana tanggapan mereka?

Sangat bagus sesuai dengan progresifitas kekinian masing-masing


15. Apakah karya sufistik bisa dibilang melebihi keindahan karya sastra lainnya?

Sama saja,sesuai dengan jawaban no 13.

Sepasang Sepatu Tersiram Kuah Rawon

oleh
Setyo Bardono

Sepasang Sepatu Tersiram Kuah Rawon



(Foto-foto bisa dilihat di: http://setiakata.multiply.com/photos/album/32/Sepasang_Sepatu_dan_Kuah_Rawon)



“Rawon sudah menunggu.” Sederet pesan menggetarkan handphone tua, memaksa langkah untuk segera bergegas. Rasa malas di hari Sabtu seketika sirna. Hari ini, bala kurawa Pasar Malam (Paguyuban Sastra Rabu Malam) akan berkumpul untuk membicarakan evaluasi acara Reboan #4 dan membahas pelaksanaan Reboan #5, tanggal 27 Agustus 2008 nanti. Pabrik_t yang berumah di Pamulang kebetulan bersedia menjadi tuan rumah. Rawon sudah menunggu.



Sepanjang perjalanan Depok – Pamulang pikiran saya sudah dipenuhi kuah rawon. Tuan rumah yang dijuluki Pakcik Ahmad sebagai “Sunan Godhong Pisang” ini pasti tak sembarangan memilih menu rawon. Ada apa di balik rawon?



Ketika menatap kembali pesan pendek itu, tiba-tiba mata nakal saya berbicara. Kata “RAWON” kalau dibaca terbalik menjadi “NOWAR” yang bila dipenggal menjadi “NO WAR”. Ah, ternyata ada pesan damai dibalik kuah rawon. Sebuah pilihan menu yang tepat di bulan kemerdekaan ini. Menu sing oRA aWON (bhs Jawa: Menu yang tidak Jelek). Semoga saya tidak saya salah membaca rawon.



Ternyata bala kurawa sudah sampai duluan di Pamulang. Yohannes Sugianto, Budhi Setyawan, Pakcik Ahmad, Nash, Ilenk Rembulan dan tentu saja pabrik_t sebagai tuan rumah. Suasana terlihat seperti Family Gathering, karena Om Yo dan Kang Budhi membawa serta keluarganya. Saya sendiri datang bersama istri muda.



Setelah sesi kuliner dengan menu utama rawon selesai ditandaskan, kami ngobrol-ngobrol santai di teras rumah. Suasana menjadi semakin sumringah ketika Pakcik Ahmad mengeluarkan buku puisi terbarunya: Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan (S3DH). Entahlah apakah ini bisa disebut sebagai soft launching atau tidak, yang jelas ada sesi tanda tangan buku dan foto bareng penyair.



Buku S3DH ini merupakan kumpulan sajak dari tiga penyair Maulana Ahmad – Inez Dikara – Dedy T. Riyadi. Di buku ini Pakcik Ahmad, sesuai saran Yonathan Rahardjo memang memakai nama asli pemberian orangtuanya yaitu Maulana Ahmad. Mungkin trio penyair ini bisa disebut sebagai MAulana - INez – RiyADI. Kalau group band mungkin akan dinamai MAINADI, main-main di wilayah nadi, tentu saja nadi puisi.



Seperti judul bukunya, sekilas membaca puisi-puisi dalam S3DH ini, kita seakan terbawa dalam ruang sunyi. Ya ruang sunyi, karena “Ruang Lengang” sudah menjadi antologi puisi Epri Tsaqib. Bahkan “Tiga Kali Kesunyian”, kata penyair TS Pinang yang didaulat sebagai penyunting.



Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan, sebuah judul yang menggigil. Di dalamnya tentu saja ada banyak puisi yang menggigit. Itu kesimpulan speed reading saya. Semoga kesimpulan itu tak jauh berbeda dari close reading nya Ilenk Rembulan nanti.



Ya, membaca judulnya saja saya sudah bisa merasakan suasana gigil. Pasti ada perjalanan panjang dan kisah tersendiri bagi ketiga penyair tersebut hingga bias mencapai judul tersebut. Tentu saja tak elok, kalau mereka (mentang-mentang bertiga) memberi judul “Sepasang Sepatu Bertiga Dalam Hujan”. Jadi kalau pas acara Reboan #5 nanti ada kuisnya, Kang Budhi sebagai MC tetap harus mengajukan pertanyaan, “Sebenarnya sepasang sepatu milik siapa yang dibiarkan sendiri dalam hujan?”



Tapi yang terpenting, saya sudah mendapat bukunya dan tanda tangan dari Pakcik Ahmad. Tinggal memburu tanda tangan dari Inez Dikara dan Dedy T. Riyadi. Segores pesan dari Pakcik Ahmad terbaca, “Setyo, nulis itu ibadah.” Sebuah pesan yang penuh makna. Pesan yang harus diterjemahkan secara utuh, sebab kalau terpenggal-penggal bisa menjadi “Nulis itu iba dah!”



Setelah sesi tanda tangan dan foto-foto. Obrolan dilanjutkan pada seputar acara Reboan. Ada berbagai hal yang harus dievaluasi agar ke depan acara Reboan menjadi semakin baik. Bagaimanapun juga tak ada sebuah perhelatan yang sempurna.



Bagi yang belum mengetahui apa itu Pasar Malam silakan klik aja http://reboan.blogspot.com. Bila Anda ingin tampil untuk baca puisi, launching buku, dan kegiatan sastra lainnya, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi Pasar Malam. Percayalah: Banyak jalan menuju sastra.



Kekupu Radja, 9 Agustus 2008

Setiyo Bardono

SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN

yang pasti ada 3 corak berbeda dalam buku 3 penyair ini. tidak adil membandingkan 1 penyair dengan penyair lainnya meski dalam buku sama sebab setiap penyair adalah pribadi yang unik sebagai manusia. makaaku masih berusaha keras untuk menghayati masing2 penyair yang ketika tidak kebetulan aku kenal. dan mereka temanku. ada peperangan subyektivitas di sini, maka aku masih mencoba mencari posisi yang pas buatku untuk menuliskan yang terbaik sebagai pemberian seorang teman kepada kawan, dalam arti seimbang. positif dan negatifnya secara seimbang.

Tanya Tukang Cuci

Suara Karya, Sabtu, 26 Juli 2008

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=205462


Tanya Tukang Cuci
Cerpen: Yonathan Rahardjo

Sabtu, 26 Juli 2008
Setiap pagi kami berjalan beriring ke rumah tuan yang mempekerjakan kami. Di situ sudah tersedia pakaian kering, yang kami jemur kemarin hari. Akulah yang bertugas menyetrika pakaian mereka, sedangkan ibuku menuju tempat tuan yang lain, untuk mencuci pakaian keluarga tuan itu. Baru setelah itu ibu pun ke tempat aku masih menyetrika, untuk mencuci pakaian tuan dan anak-anaknya, serta milik anak-anak kos yang mempercayakan pakaian mereka.

Tempat aku menyetrika pakaian adalah teras kamar satu anak kos, yang tidak menyerahkan pakaiannya untuk kami cuci dan kami setrika sejak adiknya menumpang kos. Ia mengalihkan uang cuciannya untuk membayar tumpangan bagi adiknya. Hampir tiap hari, kini, anak kos ini mencuci pakaiannya sendiri. Namun, tidak pernah kulihat ia menyetrika, sehingga apabila kuamati pakaiannya memang tidak licin tersetrika, namun tetap dipakainya pergi bekerja.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

NURDIANA: "JELITA SENANDUNG HIDUP"

oleh: Dian Su

Peluncuran Kumpulan Puisi Nurdiana JELITA SENANDUNG HIDUP berlangsung di Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, Jakarta, dengan moderatornya Yonathan Rahardjo dan pembahas Putu Oka Sukanta dan Bonnie Triyana. Berikut ini adalah bahasan Putu Oka Sukanta:

MEMBACA TEKS DAN EFEKNYA.

Saya ingin mengucapkan selamat kepada Bung Suar Suroso atas terbitnya buku ini. Saya belum pernah membaca buku-buku lain yang sudah diterbitkan oleh politisi ini, baik bahasan politik apalagi buku puisinya. Secara pribadi saya belum kenal dengan Bung Suar Suroso.

Karena saya diminta membahas bukunya, maka kenal apa tidak kenal menjadi hal yang kedua. Dari buku yang ditulisnya, pembaca mestinya bisa mengenal apa yang ada di dalam kepala dan hati penulisnya.

Saya selalu menyambut usaha setiap orang untuk menulis dan menerbitkan bukunya, sebab buku yang baik dapat memperluas wawasan berpikir. Sedangkan buku yang buruk (menurut saya) tidak bedanya dengan mengunyah permen karet yang sudah kehabisan gulanya.

Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan untuk membahas sebuah buku. Di antaranya adalah pendekatan sejarah, pendekatan politik, pendekatan estetika maupun pendekatan pasar.

Saya melakukan pendekatan dari keinginan penulis yang disampaikan pada kata pengantarnya. Pertanyaannya apakah keinginan tersebut sampai apa tidak. Dapat dirasakan atau tidak oleh pembaca bukunya.

Dari Kata Pengantar yang ditulis “Jelita Senandung Hidup” bahwa buku ini sebagai nyanyian rohani, dendang sayang, kumandang harapan yang ditujukan kepada Ibunda, tanah air tercinta dan rakyat. Senandung hidup adalah perasaan-perasaan tersiksa dipisah dengan orang-orang yang dicintainya. Rasa tersiksa yang disebabkan oleh ORBA yang membunuh orang-orang di kampung dan mencabut paspor yang di luar negeri, kehilangan kewarganegaraan. Jadi kelayaban di pengasingan.

Silakan merasa-rasakan apakah keinginan tersebut bisa terwakili oleh teks di dalam buku itu.

Nurdiana atau Bung Suar Suroso yang lahir di Padang, melalui kumpulan puisinya menunjukkan adanya pengaruh bentuk sastra tradisional Padang yang kental. Mungkin itu alasan Asahan Aidit dalam kata pengantarnya mengatakan buku ini terdiri dari “irama puisi lama, pengaruh Pujangga Baru”

Kita tidak bisa mengatakan buku ini baik atau buruk tanpa menyepakati terlebih dahulu tolok ukur yang akan digunakan untuk mengukurnya. Oleh karena itu, kita menerima apa adanya, kalau senang dan bergairah membacanya silakan terus membacanya, tetapi kalau membosankan dan tidak mendapatkan sesuatu yang dicari dari padanya, silakan ditinggalkan.

Seni mempunyai beberapa dampak : berdampak hiburan, pendidikan, informasi, pengasah rasa dan pikiran, dan sebagainya.

Seniman sebagai seorang intelektual berkewajiban mengungkapkan hal-hal substansial di belakang fenomena yang dirasakan dan dilihat secara kasat mata. Kalau seni yang hanya mengungkapkan apa yang sudah ada dan diketahui secara umum, maka fungsi seni itu menjadi sekadar pengungkapan ulang yang biasa-biasa saja, boleh jadi sangat klise sifatnya.

Dengan sikap saya seperti ini, saya merasakan dan menemukan banyak pengulangan-pengulangan klise bahkan jargon-jargon masa lalu dalam buku ini.

Terasa kurangnya kemampuan imajiner untuk mengungkapkan perasaan pengarang dan kejelitaan obyek di pihak lain. Saya berpendapat bahwa puisi bukan penggalan-penggalan kata dari sebuah kalimat panjang. Puisi adalah santan dari sebutir kelapa, dari segumpal kehidupan.

Baca puisi Serba Ber-anti-poda (hal. 25)



Tak ada putih tanpa hitam,

tak ada terang tanpa kelam,

tak ada cinta tanpa benci,

tak ada hidup tanpa mati.



Tak ada manis tanpa pahit,

tak ada sehat tanpa sakit,

tak ada badai tanpa tenang,

tak ada damai tanpa perang.



Tak ada senang tanpa susah,

tak ada benar tanpa salah,

tak ada menang tanpa kalah,

tak ada bebas tanpa batas.



Sastra, apakah itu sastra revolusioner, progressif atau sebaliknya membutuhkan kemampuan pengungkapan, antara lain dengan metafora-metafora. Sebab seni itu tidak langsung menyentuh otak, melainkan dari hati ke otak. Dari emosi ke rasio. Oleh karena itu metafora, perumpamaan-perumpamaan, irama dan makna kata menjadi hal penting untuk mendukung isi yang bernas.

Lekra pernah mendorong para seniman untuk memahami apa yang disebut Dua Tinggi. Tinggi mutu ideologi (pikiran, cara pandang, sikap hidup) dan tinggi artistik. Estetika memang tidak selalu universal, saya lebih cendrung mengatakan estetika itu kontekstual.

Saya kira semua seniman paham akan hal ini. Bentuk dan isi, menyatu, dukung mendukung sehingga yang menyentuh hati kita bukan lagi bentuk ekspresi, dan juga hanya isi (misi yang dikandung), tetapi telah tak terpisahkan antara isi dan bentuk. Contoh yang paling dekat adalah Juice buah atau juice sayur.

Lekra juga pernah memperkenalkan kepada senimannya sebuah semboyan : Bentuk lama isi baru. Apakah Jelita Senandung Hidup, menggunakan pendekatan seperti bentuk lama is baru? Boleh dibilang ya, tetapi penggarapannya belum matang. Masih memerlukan pengendapan sampai pada menemukan ungkapan-ungkapan, simbul-simbul baru, metaphor-metafor yang lebih merangsang daya bayang untuk mewakili misi yang mau disampaikan.

Saya ingat dengan puisi Bung Agam Wispi almarhum:



Pita merah dan matahari,

cinta berdarah sampai mati.



Tetapi saya juga ingat dengan seloka sewaktu di sekolah rakyat:



Gendang gendut kecapi

Kenyang perut senang hati.



Saya tutup uraian saya dengan membaca puisi lagi dari kumpulan ini:



Malam di Pengasingan (hal.39).



Menengadah tampak rembulan,

menekur ingat kampung halaman,

terbayang setan bertakhta s’rakah,

membina zaman jahiliyah.



Tanah Airku hal 57,



Untaian Zamrud Khatulistiwa,

pualam kemilau menghias bumi,

bermawar-melati semerbak wangi,

menghias sanggul Ibu Pertiwi.



Bagaikan gadis menghampar badan,

panjang membentang Bukit Barisan,

Singgalang Merapi dan Papandayan,

Menjulang tinggi menggapai awan.



Indah mempesona juita sayang,

sepanjang masa beriklim nyaman,

tiada salju menggigit tulang,

tiada terik memanggang badan



Tanahnya subur alamnya kaya,

rakyatnya giat membanting tulang,

pemudanya perkasa membela Nusa,

berani maju tangkas berjuang.



Aneka suku hidup bersama,

ber-Bhinneka Tunggal Ika,

serba beragam satu jua,

bagai pelangi indah jelita.



Tapi kini …..



Di negeri kaya seindah ini,

semenjak Orba pegang kuasa,

sengsara hidup rakyat jelata,

di Neraka Buatan dan Zaman Edan..





Mao Zedong, hal.68



Belasungkawa Buat Kawan Aidit,

Pejuang Komunisme Internasional. *)

(menurut irama: Bu Suan Zi **) )



Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang,

Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang***),

Sayang wajah girang tak berwaktu panjang,

Malahan gugur menjelang musim semi datang.



Yang akan gugur, gugurlah pasti,

Gerangan haruskah itu mengesalkan hati ?

Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri,

Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi



Untuk penerbitnya: tinta tidak rata sehingga ada furuf-huruf yang hampir tak terbaca.***



Jakarta 29 Mei 2008

Putu Oka Sukanta..





Keterangan:



*) Terjemahan Nurdiana. Dari buku Mao Zedong Shi Ci Quan Ji, Kumpulan Lengkap Sajak-Sajak Mao Zedong, terbitan Cheng Du Chu Ban She, Desember 1995, halaman 310.

**) Di antara sajak-sajak Luo Binwang (640-684?), penyair dinasti Tang, terdapat sajak berjudul Bu Suan Zi. Semenjak itu, sajak bentuk ini, yaitu yang dengan irama dan susunan jumlah aksara 5, 5, 7, 5; 5, 5, 7, 5, disebut berirama Bu Suan Zi.

***) Penyair menggambarkan mekarnya Bunga Mei, Meratia Praecox. Bunga ini, yang berwarna merah muda atau kuning, selalu mekar di puncak musim salju, dalam keadaan pohonnya tak berdaun karena seluruhnya gugur di musim rontok, menjelang musim dingin. Dalam keadaan belum adanya bunga yang mekar, mekarnya Bunga Mei mendahului bunga-bunga lainnya juga menjadi pertanda akan datangnya musim semi.



*****

GURIT KACA RASA

sing dak sawang sangarepku iki
dudu awakmu
dudu tangga teparo
dudu simbah-simbahku

pancen ora bagus
apamaneh ayu
pawongan ing ngarepku
kang digaris pinggire
kanthi nglega
mbedakna antaraning gebyok
lan barang kinclong
yen kasaput surya

sing dak sawang mung
ala-ku dhewe
sajroning mripat ireng iku
luwih jero, luwih katon
ana samudera
kang ginaris
luwih amba

nanging mripatku
tibake ana wates
payawange
tan bisa nembus
luwih jero

aku tetep lila
nyawang pawongan
sing uga
lagi nyawang aku iku
awakku dhewe
apa anane.


Yonathan Rahardjo, Ragunan, 29 Desember 2003
Damar Jati Edisi 65, Mei 2008

PELUNCURAN BUKU NURDIANA

oleh: Djoko Sri Moeljono


Sejam yang lalu aku masih duduk ditengah hadirin di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di TIM, menyimak acara peluncuran buku Nurdiana.

Pulang kantor lebih awal, sampai di TIM sebelum acara dimulai dan sempat menikmati kudapan yang disediakan panitia. Ada singkong rebus, kedelai dan kacang tanah, serta penganan serba singkong : tiwul, gesret, ongol-ongol dsb.

Dalam undangan dari Svet & Uchi via sms disebut bahwa acara dimulai jam 16.30 tetapi baru benar-benar berjalan setelah jam 16.00 lewat dan dimulai dengan pembacaan salah satu puisi yang diterjemahkan kedalam bahasa Jawa, kemudian disusul pembacaan beberapa puisi lainnya. Dan istimewanya, ada beberapa puisi yang bisa dibawakan dengan lagu tertentu dan sore tadi salah satunya dinyanyikan dengan nada lagu Sunda "Pileuleuyan", dinyanyikan oleh beberapa ibu-ibu, diantaranya aku lihat ada ibu Tuti Sumartoyo.

Pengunjung yang hadir sekitar 50 orang termasuk panitia penyelenggara, ruangan dihiasi dengan spandoek bertuliskan judul buku dan nama-nama moderator Yonathan Raharjo yang muda dan bersemangat, pembahas Bonnie Triyana yang sejarawan muda dan banyak menulis tentang G-30-S serta sastrawan Putu Oka Sukanta yang sudah menulis banyak buku (dikalangan kawan kawan dikenal sebagai pak POS, singkatan namanya).

Setelah pembacaan beberapa puisi, acara resmi dimulai dengan penyerahan
buku Jelita Senandung Hidup kepada Koesalah Soebagyo Toer satu eksem
plar dan satu lagi untuk Pusat Dokumen Sastra HB Jassin, yang diterima oleh drs Endo Senggono.

Pembahasan buku dimulai oleh Bonnie Triyana, yang sebagai sejarawan muda dan energik mengulas banyak aspek isi buku dari sudut sejarah.

Kemudian dilanjutkan oleh pak POS yang mengulas dari segi sastra,yang bagiku kurang bisa difahami, maklum aku hanya penikmat buku dan tidak tahu teori sastra atau kritik sastra. POS menyinggung pula 2 tinggi : tinggi ideologi dan tinggi estetika. Pak POS juga menyerahkan kepada para pembaca, apakah tujuan penulis bisa difahami oleh pembaca atau tidak, bisa mencapai sasaran atau tidak. Tetapi paling tidak, sebuah buku pasti punya misi.

Pak POS tidak lupa pula menyinggung bahwa penulis buku adalah seorang yang lahir di Sumatera Barat, karena itu puisi-puisinya sangat kental dan tidak jauh dari "gaya Padang". Sayang sekali penerbit kurang memperhatikan tipografinya yang dibeberapa halaman tampak ketebalan tinta cetaknya tidak sama, dibeberapa halaman jelas terbaca, dihalaman lain ada yang tintanya tipis dan kurang hitam.

Para hadirin terdiri dari beragam generasi : yang muda dan energik, yang setengah baya dan bisa memahami konteks tulisan dan generasi tua pendahulu yang mengalami sendiri betapa tragisnya Peristiwa G-30-S 1965. Acara semakin terasa hangat saat yang hadir mengomentari komentar pembahas, hadirin minta waktu nimbrung bicara.

Kebetulan sekali,sekitar sepuluh hari sebelum peluncuran aku sempat ke toko buku Ultimus di jl. Lengkong Besar 127 Bandung dan sekaligus membeli dua buku kumpulan puisi "Mawar Merah" Chalik Hamid dan "Jelita Senandung Hidup" Nurdiana, yang pertama setebal 158 halaman dan yang kedua 182 hal. Memasuki toko buku Ultimus, dipintu masuk terpampang tulisan menarik : "Jangan beli buku Ultimus kalau anda tidak punya nyali".

Kedua buku nyaris sama isinya, yaitu : kerinduan akan tanah air, rasa terasing tidak bisa pulang, cercaan kepada rezim fasis Soeharto yang memporak-poran dakan kehidupan ribuan bahkan ratusan ribu korban beserta keluarganya.

Puisi-puisi yang mereka tulis merupakan catatan sejarah, sepenggal masa yg paling hitam dalam sejarah bangsa Indonesia, dan tidak ketinggalan ungkapan rasa terima kasih kepada bangsa dan negara asing dimana mereka pernah mendapat perlindungan dan pengayoman.

Mereka adalah warga Indonesia yang tidak pernah lekang cintanya kepada tanah air dan buku yang mereka tulis adalah serpihan-serpihan kehidupan, bukan saja kehidupan pribadi masing-masing tetapi juga kehidupan bangsa.

Semoga tulisan pendek ini bisa menjadi obat rindu bagi penulis buku-buku tsb



Djoko Sri Moeljono


Titip terima kasih untuk Svet dan Uchi yang mengirim sms,
tanpa itu aku tidak tahu ada acara di PDS HB Jassin.

Lelaki Bermata Sungai


Cerpen: Yonathan Rahardjo

Yang mengangkat telepon adalah ayahnya, dengan kaki selutut terendam air di dalam rumah. Berita yang ia dengar membuatnya pilu, ayah dan ibunya yang sedang sakit mengungsi akibat rumah terkena musibah banjir. Mereka ditampung di rumah ibadat terdekat, namun ayahnya kini sendiri di dalam rumah, menyelamatkan barang-barang.

Sore pada hari itu juga, ia menuju kota kelahirannya dengan menumpang kereta api yang harus memutar lewat jalur selatan Pulau Jawa, karena jalur utara putus terendam banjir. Sepanjang perjalanan kereta panjang gabungan Gumarang-Sembrani, ia duduk di lantai kereta, mojok di pintu dekat sambungan gerbong, karena memang ia mendapat karcis tanpa tempat duduk lantaran kebanyakan penumpang.

Saat perjalanan, hujan mendera kereta, air hujan menerobos pintu tempatnya mojok, mengalir membanjiri lantai dan membasahi koran alasnya duduk. Ia pindah dari satu lantai ke lantai lain di dalam kereta.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

HUBUNGAN ABADI

Majalah HIDUP Edisi 16, 20 April 2008

Cerpen: Yonathan Rahardjo

Bila banjir begini, air yang menggenang kampung ini selalu mengingatkanku pada kampung halamanku tempat aku dibesarkan. Air yang menggenang sama-sama berwarna kecoklatan, sama-sama mampu menghanyutkan, dan sama-sama mampu menjadi cermin bagi kami yang berdiri diam dan memandang bayangan wajah pada permukaannya.

Wajah yang muncul pada pantulan permukaan air, wajahku sendiri, sebab memang aku yang memandang permukaan air di bawahku. Terkadang berlatar belakang langit biru, kadang berlatar langit-langit rumah. Wajahku di situ begitu tenang, lalu bergerak-gerak tertiup angin dan bergelombang karena kakiku melangkah menyibaknya. Atau ketika dalam tenang permukaan air, anakku melempar kertas kapal-kapalan atau kulit kacang.. merobek wajah tenangku di permukaan air menggenang.

Dalam banjir kali ini, kembali kuamati wajahku di permukaan air tenangnya. Seperti apa wajahku di situ kali ini?

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

Puisi untuk BUMI

Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) No. 08/I/2006

1. EDITORIAL

Selamat berjumpa para Sahabat Telapak,

Perayaan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2006 telah lewat. Ada sekitar 22 events perayaan Hari Bumi di berbagai kota yang didokumentasikan oleh Djuni Pristiyanto. Dari sekian banyak events tersebut, ada tiga laporan pandangan mata dari Sumatera Selatan (FORUM 11 untuk Hari Bumi), Makassar (PPLH Puntondo) dan Bandung (Jaringan Hari Bumi Bandung) yang disajikan dalam buletin ini. Minimal, menurut Oeban - seorang pegiat SHK dari Kalimantan Tengah, "Selamat HARI BUMI (salut bagi yang memperingatinya)-- dengan selemah-lemahnya IMAN (bagi yang beriman) silahkan berdoa aja, dan semoga BUMI kita yang lagi sakit sedikit terobati dengan DOA". Selain itu disertakan pula puisi untuk BUMI yang diciptakan oleh Yonathan Rahardjo dan Sylvie.

Di bagian SURAT SAHABAT, Wira menceritakan bila dia dan kelompok seninya akan berangkat ke Jerman untuk melakukan pementasan kesenian dengan judul "Bersih itu Indah". Berjuang demi BUMI dan lingkungan tidak harus berteriak-teriak keras mengkritik kiri kanan atau pun melakukan aksi-aksi yang heroik. Berjuang melalui kesenian pun ternyata bisa dan (mungkin) lebih efektif, dari pada demontrasi jalanan. Melalui kesenian, kepekaan dan kesadaran lingkungan dapat dibangkitkan dengan halus serta langsung mengenai pada sasaran, yaitu hati nurani. Selamat untuk kawan Wira dan kelompok seninya. Dan semoga sukses.

Awal bulan April 2006 ini Telapak menerbitkan press release yang berjudul "Konsumen Eropa dan Amerika Ditipu untuk Membeli Kayu Curian dari Hutan Papua". Press release ini dapat ditemui lengkap di bagian KABAR DARI TELAPAK. Dalam relese ini terdapat Laporan Telapak dan EIA yang berjudul "Behind the Veneer". Ringkasan eksekutif "Behind the Veneer" dapat ditemui di bagian LITERATUR. Tentu saja, laporan tersebut dapat didonwload dari website Telapak dengan cuma-cuma.

Akhir kata, "Perlihatkan keperdulian, perlindungan dan rasa hormat Anda pada lingkungan, kendati kita jauh dari rumah. Sebarluaskan pesan-pesan mengenai lingkungan kepada teman-teman dan kerabat dan saudara-saudara Anda. Ini merupakan suatu usaha kecil yang sangat berarti bagi pelestarian lingkungan." Itulan sebagian kecil hal-hal yang dapat kita kerjakan, "EVERYDAY WAYS YOU CAN HELP CLEAN UP THE EARTH... WE ALL CAN".

Selamat menikmati dan memakai KauS,
Redaksi Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS)
Email: kaus@telapak.org

---------------------------------------------------------------
Redaksi Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS)
Penanggungjawab: Rita Mustikasari
Tim Redaksi: Rainny Natalia, Rita Mustikasari, Djuni Pristiyanto.
Email: kaus@telapak.org

Isi Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) boleh dikutip, digandakan, dijiplak, dan di-copy dengan menyebutkan sumbernya. Isi Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) tidak mesti sesuai dengan kebijakan Perkumpulan Telapak dan Perkumpulan Telapak tidak bertanggungjawab atas segala isi dari Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) ini.

Sekilas Sastra Media Maya

-Pena Kelana edisi Esai, Maret 2008-

Setelah teknologi internet merambah dunia pada tahun 1995, dibarengi tersedianya beberapa fasilitas email dan komunitas grup gratis dari Yahoo, perusahaan jasa internet global terbesar, maka makin maraklah mailing list (milis) bermunculan mulai dari grup ekonomi, politik sampai dunia sastra. Grup sastra lebih banyak diminati anggota dengan latar belakang multi disiplin ketimbang grup lainnya. Sebab umumnya tulisan yang di-posting baik dalam bentuk puisi, cerpen, esai atau komentar biasa, tidaklah harus melulu mengenai sastra seperti yang digeluti di kampus sastra. Pendeknya setiap anggota bisa menulis (mem-posting) karyanya dengan tema bebas tanpa perlu melalui saringan seorang redaksi seperti halnya media cetak. Sekali klik tanda panah di kotak ‘send’, tulisan pun langsung terpajang gagah di halaman milis.

Dari sekian komunitas milis sastra yang bermunculan sejak tahun 1999 sampai sekarang, hanya beberapa yang cukup ramai antara lain milis penyair@yahoogroups.com, bungamatahari@yahoogroups.com (buma), sastra-pembebasan@yahoogroups.com (SP) dan apresiasi-sastra@yahoogroups.com (Apsas). Umumnya keempat milis memiliki member berjumlah diatas seribu dengan posting-an rata-rata di atas 500-an perbulan sejak berdirinya hingga tahun ini. Menarik untuk disimak, ternyata tiga di antara milis besar tersebut ada semacam ‘pertalian darah’. Penyair sebagai milis yang tertua, secara tidak langsung ‘mengilhami’ lahirnya SP pada akhir tahun 2003, sebab owner/moderator (pengelola)-nya adalah mantan pengurus milis Penyair. Begitu juga dengan milis Apsas yang didirikan pada 5 Januari 2005, para pengurusnya adalah eks-moderator SP. Entah kebetulan atau karena kepiawaian pengelolanya, bila dilihat banyaknya jumlah posting-an, ternyata dua milis baru tersebut, dua tahun belakangan ini lebih marak dari pendahulunya, karena diatas 1000 rata-ratanya.

Fenomena aktivitas sastra di dunia maya (internet) yang sebetulnya tidak terlalu dikenal dibandingkan dengan media cetak bagi masyarakat luas, ternyata mampu menyita perhatian instansi/lembaga kesenian yang mana kali ini diakui oleh TUK (Teater Utan Kayu) yang bisa dikatakan sebagai wakil dari komunitas sastra ‘nyata’ (darat). Lembaga tersebut pada hari ini, Selasa 11 Maret 2008, mengundang aktivis dan pengelola milis sastra untuk berbagi pandangannya mengenai sastra dunia maya. Mungkin tepatnya para sastrawan ‘darat’ ingin bertanya, ‘sastra’ jenis apa yang kalian usung atau apa saja yang bisa diperoleh dengan bersastra-maya?

Acara diskusi ini bisa lebih semarak, bila menghadirkan pembicara yang telah diakui ‘matang’, ‘jadi’ dan ‘besar’ karena hasil tempaan beraktivitas di dunia maya. Setidaknya seorang sastrawan, penyair, cerpenis, esais atau novelis yang telah mengakui sendiri telah dilahirkan oleh sastra dunia maya. Memang tidak banyak nama yang bisa disodorkan. Tetapi bila TUK berani memanggil nama seperti Saut Situmorang, Nanang Suryadi, TS Pinang (ketiganya aktivis lama Penyair), Heri Latief (aktivis lama Penyair dan owner SP), Sigit Susanto (salah satu owner APSAS) atau Yonathan Raharjo (aktivis segala milis sastra yang seorang dokter hewan, pemenang harapan Lomba Novel DKJ 2007) tentunya segala macam pertanyaan sastrawan ‘darat’ akan lebih lengkap lagi terjawab dengan tidak mengecilkan arti para pembicara yang telah dijadwalkan untuk hadir. ***(peekay, 110308)

Sastra Indonesia 2007: Menggali Mutiara di Antara Politik Estetika

Sinar Harapan, 4 Januari 2007

Oleh
Sihar Ramses Simatupang

Jakarta - Di tengah politik perkubuan sastra, baik yang menyentuh persoalan intrinsik maupun ekstrinsik dari teks sastra atau bahkan mengarah pada kelompok atau sastrawan tertentu, kegemilangan sebuah karya akan terlihat dengan sendirinya.

Lonceng sastra terus digemakan oleh kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan novel atau bahkan sebuah esai di lembaran kertas di media cetak maupun bentangan flat dari monitor CPU lewat sebuah situs maupun milis.
Beberapa novel yang lahir mengusung kemegahan kisah dan kenikmatan bahasa itu terus menggemakan suara dari sekumpulan ingar karya sastra yang dicap bernuansa seks atau tidak, peduli sosial atau tidak, berlindung dalam kerajaan komunitas sastra atau tidak.
“Kita kembali pada karya sastra saja,” ujar Yonathan Rahardjo, salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Karyanya adalah salah satu di antara pilihan juri yang mencengangkan publik sastra karena realisme hampir nampak dalam karya para pemenang ini.
Seakan kebangkitan realisme, demikianlah novel-novel itu membawa muatan berat dari zaman yang letih mengangkut sejarah. Kendati tak bisa diingkari, perdebatan tiap kubu baik Goenawan Mohamad dan Saut Situmorang atau antara Taufik Ismail dengan Hudan Hidayat, seperti menyadarkan tentang sebuah kotak pandora sastra yang kemudian mencengangkan (baca: mencemaskan) khalayak awam yang tak pernah sadar adanya politik dan ideologisasi di kesusastraan Indonesia. Selain itu, publik akhirnya menangkap sebuah pertengkaran estetika yang semakin kental.
“Penulis sekarang janganlah lepas dari sejarah sosial masyarakatnya. Bukan hanya dengan eksperimen dan permainan bahasa,” kira-kira begitulah tafsir lugas dari ungkapan Katrin Bandel, beberapa tahun silam di Pusat Dokumentasi HB Yasin, Jakarta, yang ternyata menjadi salah satu tonggak penting dalam sikap berkarya pada satu sisi kubu.
Lantas dimanakan peran estetika bahasa? Ketika kita membaca keagungan karya Leo Tolstoy yang indah namun tetap peduli sosial, pun Gabriella Garcia Marquez, pun narasi sosial yang tetap utuh pada John Steinbeck, kendati dia membuat permainan bahasa yang eksperimental.
“Banyak pengarang sekarang yang mengkhianati narasi, dan menjadi metafora seperti busa bir, berbuih namun lenyap tertelan angin malam, tak membawa ingatan pada pembaca seusai membaca. Bagaimana memuat estetika, sekaligus mengangkut narasi, sekaligus eksperimental, itulah masalahnya.
Kita seperti digiring, padahal pembaca tak akan bisa dibodohi mana karya yang baik,” ujar seorang sastrawan.
Di saat seperti itulah, karya terus berjuang merebut simpati pembacanya. Kita mencoba menengok beberapa karya yang juga muncul belakangan, tanpa kubu dan “tanpa nama besar”.

Nama Baru
Di luar gaung sastra DKJ, ada beberapa novel yang kemudian mulai diperbincangkan. Qaris Tajudin, misalnya, dalam novel Larasati, berhasil meramu backtracking yang unik, namun berkelindan sehingga tetap menjaga kestabilan pembacaan. Alur waktu yang dipertemukan di akhir novel sangat mengundang penasaran pembacanya. Gaya tuturan “aku” yang berpindah-pindah pada dua tokoh dan ditutup dengan “dia”-an di akhir novelnya.
Dengan efektivitas bahasa dan peristiwa, Qaris mengisahkan “seorang lelaki pecinta tanpa tempat berlabuh” menjelman “lelaki yang merasuk ke labirin kehidupan petualang bahkan terorisme”.
Fasih berkelana dari bumi Indonesia, Tunisia, mafioso Italia, Afghanistan hingga terdampar di sebuah kelompok nomaden suku Kuchi yang tegas dan bersahaja. Novel yang mengenyangkan nurani kita bahwa substansi kehidupan kembali kepada cinta, penghormatan sesama manusia dan kepada Tuhan.
Andrea Hirata, nama baru dalam jagat sastra kita lewat karya Laskar Pelangi-nya, menyadarkan kembali bahwa masih ada harapan pada pengarang dan teks sastra Indonesia terkemudian. Membuat tegangan identitas budaya Melayu dan dunia di dalam teks secara apik.
Energi yang kerap disuguhkan buat pembaca dari karya Hirata adalah kejenakaan yang halus juga cerdas dan pemaparan yang lancar juga jernih. Dari kisah unik seperti mengganti nama di saat seorang anak sakit sebagaimana kelaziman Timur hingga kisah tragis putra Indonesia yang mendapat beasiswa namun terjebak di antara sekarat dingin salju kota kecil Brugge di pinggiran Belgia.
Buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi ini nyatanya mampu menjadi teks tunggal dan otonom, kisahnya tetap menyuap kepuasan imaji bagi pembacanya.
Di kepenyairan ada nama yang tetap konsisten dan tetap mengusung obsesi – meminjam pendapat pengarang Budi Dharma – dan ideologi – meminjam pendapat Pramoedya Ananta Toer. Ada penyair Acep Zamzam Noer, Isbedi Stiawan ZS, Sony Farid Maulana, yang tetap setia menjaga konsistensinya.
“Di tengah pergeseran sejarah sastra, di tengah perkubuan atau politik sastra apa pun, kesetiaan dan keyakinan pada karya yang menjadi karakter kita itu penting. Itu yang tetap saya pertahankan ketika berkarya sejak dulu hingga kini,” papar Yanusa Nugroho, sastrawan yang kerap mengangkut muatan narasi pewayangan di novelnya, kepada SH, dalam sebuah perjalanan di antara Tol Jakarta-Ciawi.

Rilis Buku Puisi Dino F Umahuk

Republika, Minggu, 17 Februari 2008
Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Penyair Dino F Umahuk akan merilis buku kumpulan puisi terbarunya, Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut, pada Rabu, 27 Februari 2008, pukul 19.00 WIB, di Warung Wapres (Wapres) Bulungan. Acara akan diisi diskusi dengan pembicara Kurnia Effendi, pembacaan puisi oleh Yonathan Raharjo, Irine Gayatri, dan Jorgy, serta pentas musik bersama Volloand Humonggio (aktor film Sang Dewi) dan Araditya Mahessa. ( )



UNDANGAN TERBUKA LAUNCHING BUKU: ‘DINO UMAHUK, METAFORA BIRAHI LAUT’

birahilaut.multiply.com

Dino F.Umahuk, penyair yang telah malang melintang di ranah sastra, akhirnya melahirkan buku kumpulan karyanya yang berjudul ‘Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut’.

Untuk itu, kami mengundang teman-teman pecinta sastra untuk hadir dalam acara peluncuran buku tsb. yang akan diadakan pada :

Hari/tanggal : Rabu/ 27 Februari 2008
Pukul : 19.00 – 22.00 WIB
Tempat : Warung Wapres, Bulungan
(samping SMA Negeri 6)
Jakarta Selatan

Acara : 1. Diskusi dengan Pembicara Kurnia Effendi
dan Moderator Irine Gayatri

2. Pembacaan puisi dan melukis oleh Yonathan Raharjo, Irine Gayatri,
Jorgy dan para penyair lainnya.

3. Musik bersama Volloand Humonggio (aktor film Sang Dewi) dan
Araditya Mahessa

Bagi 20 pengunjung pertama akan mendapatkan buku ‘Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut’, begitu juga yang tampil spontan (tinggal mendaftar ke Panitia saat tiba).

Acara ini diharapkan mampu menjadi ajang kumpul bagi para pecinta sastra untuk bersama menikmati satu lagi terbitnya buku kumpulan puisi dari penyair Dino Umahuk.

Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.


Johannes Sugianto
Panitia


SEKILAS TENTANG DINO F UMAHUK


"Maka Dino sekarang bukan lagi pemuda dengan jins dekil dan kertas lusuh yang malu-malu mengantar naskah puisi ke Kantor Redaksi Suara Maluku. Beberapa tahun ini, dia lebih rajin berselancar di cybersastra, memperkenalkan diri kepada dunia bahwa dari Ambon yang hancur lebur, telah tumbuh seorang penyair".

Demikian komentar Rudi Fofid, Wartawan Harian Suara Maluku di Ambon dalam kata pengantarnya di Buku Puisi "Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut" yang akan diluncurkan 27 Februari 2008 di Jakarta. Dalam pengantar ini, secara gamblang dituturkan tentang sosok Dino yang dengan malu-malu mengirimkan puisinya pertama kali ke media itu Tahun 1994, yang lalu tumbuh menjadi demonstran, jurnalis, aktivis LSM dan penyair.

Sedangkan budayawan, Ikranegara menyebutkan “Puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi (hati nurani?) dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri, baik itu kejadian sosial/politik maupun yang terjadi atas diri pribadi. Kerangka yang dipakai dalam mempersepsi atau merenungi hal-hal itu bukanlah kerangka analisis intelektual, melainkan rasa kemanusiaan itu tadi.


Sebanyak 127 puisi, dari 500 yang tercipta dari tahun 2000 hingga 2007, akhirnya menjadi sebuah buku. Sedangkan puisi-puisi yang tercipta sebelum tahun 2000 telah hangus terbakar ketika terjadi kerusuhan di Ambon, 19 Januari 1999.

"Buku ini menampilan 127 puisi saya dari 500 puisi yang tercipta dari tahun 2000 hingga 2007, Ini adalah buah perjalanan dari lika-liku dan luka hidup", kata Dino F.Umahuk suatu ketika saat ditanya apa makna dari peluncuran buku ini. Bagaimana dengan puisi yang tercipta sebelum tahun 2000?. “Habis, hangus terbakar ketika terjadi kerusuhan di Ambon, 19 Januari 1999,” ujarnya dengan nada getir.

Sejak menekuni puisi, di tengah kesibukannya kuliah dan bekerja di berbagai lembaga, termasuk menjadi wartawan, Dino makin tak terpisahkan dari kata-kata. Ketika masih mahasiswa ia pernah menjadi Juara I Lomba Cipta Puisi antar Perguruan Tinggi se Maluku dan Irian Jaya tahun 1997 dan mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) III di Denpasar Bali pada 1994. Puisi-puisinya juga bertebaran dimana-mana, dari milis sastra semasa cybersastra.net hingga media cetak dan buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya.

Beberapa puisi laki-laki yang dilahirkan di Desa Capapulu, Maluku Utara pada 1 Oktober 1974 ini dimuat dalam Cyberpuitika - antologi puisi digital (2002), Dian Sastro For President #3 ( 2004), Nubut Labirin Luka - antologi puisi untuk Munir (2005), Empati Yogya - antologi puisi (2006) dan Yogya 5,9 Skala Richter - antologi puisi (2006).

Saat ini selain menekuni kesibukannya sehari-hari sebagai Program Officer Peace Building di Bappenas untuk Reintegrasi dan Perdamaian Aceh, ia juga mengurus situs fordisastra.com sebagai redaktur bersama Nanang Suryadi dan Hasan Aspahani.

Anak kampung yang mengaku berwajah laut ini pernah malang melintang di sejumlah LSM terkemuka seperti KontraS, Imparsial dan Tifa Foundation. Ia juga sempat memproduseri sekaligus menyutradarai dua buah film dokumenter masing masing ‘Surat Dari Cibubur’ dan ‘Impunity Potret HAM Yang Terpasung’ di tahun 2001.

Puisi-puisinya selain bertebaran di berbagai milis sastra, juga ditaburkannya di blog pribadinya http://www.birahilaut.multiply.com yang dihiasi berbagai ilustrasi foto, termasuk anaknya yang baru lahir. (Yo)

kacang bali

walau kami seolah terdiam,
dan bisu di mata kalian.
angin masih berbisik,
kami masih cuma terbisik,
tapi tetap menari,
dan membisu dalam tari.

kita kan menari!
kita kan menari!
tak ada beban dan kejahatan yang bisa menahan kaki hati kita untuk selalu menari.
esok masih milik kita,
hari ini masih punya kita,
kemarin masih hak kita,
meski dengan tarian itu semua menjadi milik bersama. bersemilah,
bersemilah,
bersemilah!

tarian hati
dengan darah
:membutir bulat
kidung sembah

depok-jakarta, 2003-2007
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

kembang goyang

bergetar yang patut
bergerak yang akan
bergerak yang mesti
berirama mengikuti
irama-irama hati
ada sesuatu yang dicari
akankah tumpah
hanya karna
satu telikung mata
jatuh ke dada
jatuh ke perut
jatuh ke kelamin
pergerakan jadi sia
pergulatan jadi lepas
persemaian menumpu
menjerit dan mendelik
dan terkapar
tidur dalam puas
ada yang lepas
ada yang bebas
dalam sejurus nyali
ada pula yang kandas
tinggal pilih butuh apa
:tidur atau nyala

jakarta, 2004
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

jus buah

tumpah air merah
tertumpah dari buah jantungku
tumpah menggenangi
tanah tumpah darahku

tertumpahlah
darah merahku

kau kata
darah siapa yang lebih merah?
darah siapa lebih tertumpah?

ngomong enak saja!
belum kau rasakan kulit terluka
belum kau rasakan
sirnanya
nyawa

belajar dari hal sama

kami tetap suka
meski ditumpah
diperas
diputar
dan dilumat

kami tetap suka

agar kau menjadi segar
agar kau menjelma sentosa

jakarta, 2005-2007
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

kacang campur

kacang garam
kacang kuning
kacang hijau
kacang tak kulit
kacang tepung
meregu kuning
udang kuning
meregu merah
udang merah
cabe
garam
gula
perisa
minyak sawit
dalam satu plastik kemas

memangnya bangsaku tidak bisa
bikin?
kalau bisa,
mengapa harus impor dari
negeri tetangga?

dasar pemalas!

cimanggis, 2007
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

kerak telor

semua masa laluku telah mengerak
semua perbuatanku telah berbuahkan teriak
api gemeretak menjilat-jilat
ku tak mampu lagi sekedar kata apalagi teriak

bahkan digoyang pun aku diam
bahkan dibalik pun aku lekat
pada seluruh alat penghukuman
tanpa mampu melawan

hanya kepasrahan yang hiburkan
ia tak akan diam

dalam sekejap pun
aku akan dipulihkan
dan terhidang
dalam persembahan terbaik
dari semua yang kupunya
dari semua yang kumiliki
tak ada kata tidak kini
milikku hanyalah untuknya

sesungguhnya aku ini miliknya
hanya ia yang mampu
lepaskanku
dari kerak neraka panas ini

ragunan, 2007
Yonathan Rahardjo/ Batam Pos, 17 Februari 2008

CERMIN PENINGGALAN

Majalah Majemuk Februari 2008

Cerpen Yonathan Rahardjo

Perempuan berwajah kerut kendur dimakan umur, duduk menyilang tangan, bertumpu di atas paha berbalut kain batik panjang tergerai sampai lantai yang tercabik, menatap langit kosong melalui pintu rumah langsung menghadap jalan gang kampung.

‘Aku perempuan, mendesah panjang dalam duduk setengah membungkuk tanpa memiliki tegaknya rangka tubuh, ingin menenggak angin melawan fisik yang makin digerogoti waktu.’

Satu daun melayang dari ranting pohon jambu biji yang termangu di depan rumah tempat ia duduk termangu.

Ikuti selengkapnya pada buku karya Yonathan Rahardjo yang akan diterbitkan.

Mengering Basah, Antologi Puisi Setiyo Bardono

www.tinggalklik.com

Akhirnya buku Antologi Puisi Setiyo Bardono, Mengering Basah, sudah dalam tahap akhir penyelesaian. ArusKata Press, penerbit On-Demand yang menerbitkan buku tersebut, akan mulai mengirimkan buku2 hasil produksi perdananya ini mulai 2 minggu dari sekarang. Untuk edisi perdana, cetakan akan dibatasi hanya 100 eksemplar dulu, oleh karena itu silahkan pre-order mulai dari sekarang agar tidak kehabisan.

Beberapa endorsement dari rekan-rekan penyair bisa dibaca dibawah ini:

Puisi memang sering dibenturkan pada keharusan untuk mendedahkan makna. Puisi sering dianggap sia-sia bila dia dicap gagal memberikan makna. Saya kira bagian terpenting dari menyair adalah menyadari bahwa puisi itu permainan. "Permainan makna," kata Sapardi Djoko Damono. Mungkin kita boleh ganti sebutannya dengan permainan yang bermakna. Bukan makna yang dipermainkan. Dan inilah permainan Setiyo. Yang resah mencari itu adalah puisi. Puisi yang tahu kemana menuju. Puisi yang bertanya. Puisi yang tidak takut pada jalan berliku, toh dia sudah mendapat jawab bahwa dia adalah jiwa merdeka yang bisa menetapkan sendiri jalan ke cahaya, ke pencerahan itu. Sajak "PENCARIAN PUISI" ini memperjelas sikap penyair itu: /Mengeluh puisi di pencarian makna / "Haruskah kutempuh jalan terjal berliku untuk merengkuh cahaya-Mu?"// Bergema makna di keraguan puisi / "Engkau jiwa merdeka yang bisa menetapkan sendiri jalan menuju sejati-Ku."//

Hasan Aspahani, pemilik blog Sejuta Puisi (http://www.sejuta-puisi.blogspot.com)

Setiyo Bardono adalah Sekardus Bom Waktu* (salah satu judul sajaknya) yang siap meledak. Dengan ketekunannya mempelajari unsur-unsur puitika dan mengaplikasikannya, dia siap menghentakkan pembaca dalam setiap sajak-sajaknya. Kosakata yang dimilikinya amat dekat dengan keseharian kita sebagai masyarakat perkotaan, namun kepandaiannya meracik sajak tetap akan membuat pembaca terhenyak.

Dedy Tri Riyadi, www.toko-sepatu.blogspot.com

"Membaca puisi-puisi ini, yang ditulis dalam rentang waktu 1996 hingga 2007, saya menemukan keberagaman tema yang diangkat Setiyo Bardono. Dari tema cinta yang umum, kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, hingga tema politik. Juga dalam gaya penulisannya yang variatif, dan menawarkan sesuatu yang baru bagi para pembacanya. Saya suka dengan puisi-puisi yang menawarkan tata wajah (tipografi) yang berbeda dan tidak lazim. Salut untuk Setiyo Bardono yang mencoba bermain dengan kata dan bunyi dalam eksplorasinya."

Urip Herdiman Kambali, penyair.

Setiyo Bardono telah melahirkan karya-karya. Itu yang paling penting. Dengan membaca sajak-sajaknya, Anda akan merasakan pergulatannya dalam melahirkan dengan memandang lingkungan dan manusia-manusia di dekatnya, seraya menyadari bahwa penciptaan adalah sebuah kekuatan.

Yonathan Rahardjo, Penerima Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta untuk Novel "Lanang"

LAUNCHING & DISKUSI BUKU PUISI “SUKMA SILAM” Budhi Setyawan

oleh Budhi Setyawan
Acara launching dan diskusi buku SUKMA SILAM tanggal 1 Desemeber 2007, berjalan mulus dan baik. Pemaparan Mbak Medy Loekito dan Mas Endo Senggono, serta kritik dan masukan dari para penyair/sastrawan yang telah dikenal masyarakat seperti: Binhad Nurrohmat, Urip Herdiman Kambali, Bung Martin Aleida, Slamet Rahardjo Rais; membuat diskusi berlangsung menarik, hidup dan dinamis. (sebenarnya banyak sekali penyair lain, tetapi hanya beberapa yang memberikan komentar. Mungkin karena waktu yang terbatas, atau memang terlalu asyiknya menikmati acara tersebut) Apalagi didukung oleh sang moderator Mas Yonathan Rahardjo yang cukup piawai dalam membangun atmosfir acara ini hingga menjadi sangat menggairahkan. Kemudian juga pembacaan puisi yang ‘catchy’ oleh Danielle, juga semngat pembacaan puisi oleh Mas Dharmadi, Mas Pudwiyanto, Mas Endang Supriyadi; semua membuncah dalam aroma sinergi menggurat gelora sastra. Ada hadirin yang sangat ’surprised’ bagi saya yaitu Mr. Mihaly Illes (Duta Besar Hongaria), Bpk Hery Soetanto (Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan) dan Mas Beben (Komunitas Jazz Kemayoran). Terima kasih untuk semuanya, yang telah hadir, memberikan dukungan, dorongan dan doa. Mari kita teriakkan dan kobarkan: MAJULAH SASTRA INDONESIA!

Endorcement Turquoise

Judul Turquoise : Kisah Sang Singa Perkasa Dari Kohina
No. ISBN 978-979-1394-02-4
Penulis Titon Rahmawan
Penerbit Escaeva
Tanggal terbit November - 2007
Jumlah Halaman -
Berat Buku -
Jenis Cover Soft Cover
Dimensi(L x P) -
Kategori Fantasi
Bonus -
Text Bahasa Indonesia
Masukkan ke Daftar Keinginan
Rekomendasikan buku ini


SINOPSIS BUKU
"Sebuah riwayat, sedahsyat apa pun, akan tinggal membeku tertimbun gurun waktu, kecuali, seseorangg mengangkatnya kembali dengan cara pandang yang cemerlang. Titon Rahmawan telah menulis secara serius, sehingga terasa betapa kemegahan kisah dan kepahlawanan selalu mencuri perhatian kita untuk menyimak dengan kekaguman tersendiri. Turquoise telah memperlihatkan kelebatan cahaya masa lalu, hadir melalui kata-kata yang anggun dan mudah dipahami. Kita, diam-diam, telah memiliki pengarang setara Tariq Ali."
- Kurnia Effendi, cerpenis dan peneliti LPKP

"Karena cinta, persahabatan jadi sirna. Karena cinta harta, cinta jadi binasa. Karena kalap cinta, rasio tidak bicara. Sang penulis, Titon Rahmawan menuliskannya dengan gaya bertutur yang memainkan perasaan dan hati. Beberapa adegan menampakkan kejutan, secara runtut perlu dibaca dengan cermat untuk mendapatkan efek penggambaran suasana dan peristiwa."
- Yonathan Rahardjo, penulis novel 'Lanang'
Penyabet Juara Harapan 2 Lomba Novel DKJ 2006

"Novel berlatar budaya Arab ini menceritakan senandung kesetiaan di persimpangan jalan. Antara jalan Tuhan dan manusia."
- Sigit Susanto, novelis dan penulis catatan perjalanan 'Menyusuri Lorong-Lorong Dunia'

"Turquoise: novel puitis dengan unsur suspense yang semakin menguat dan latar cerita yang berhasil membangun rasa kepedihan."
- Manaek Sinaga. Pemimpin Umum majalah sastra Imajio

"Dengan alur yang tak bersolek, novel ini membuktikan penulisnya adalah juru cerita yang piawai membangun kisah."
- Donny Anggoro, eseis dan cerpenis

"Sebuah kisah yang sangat menakjubkan, yang dengan cerdas meramu intersitas dramatis, petualangan mistis, ketegangan psikologis, kearifan masa lampau, dan gaya tutur yang bertabur puisi menjadi sebuah donggeng dengan latar yang demikian eksotis dan saraf fantasi."
- Ratna Dwi Yulianti, pemerhati sastra

"Lewat Turquoise, Titon Rahmawan berhasil memadukan eksotisme ala Kisah Seribu Satu Malam, kesyahduan sastra sufistik, dan kepiluan gaya Shakespeare-an Tragedy. Salah satu novel yang amat mengasyikkan!"
-Iwan Sulistiawan, dosen & penulis pemula

Turquoise: Pukauan Prosa Laga

wawanekoyulianto.multiply.com, 25 Desember 2007

Resensi Oleh: Wawan Eko Yulianto

Category: Books
Genre: Literature & Fiction
Author: Titon Rahmawan

DI TENGAH-TENGAH sebagian besar prosa Indonesia yang memilih latar Indonesia sendiri, baik masa lalu atau kini, novel Turquoise menjadi sesuatu yang unik: dia berlatarkan kehidupan di negeri bernuansa Arab-Afrika. Jika sebelumnya kita hanya mengenal kisah kepahlawanan dalam bentuk cerita-cerita silat yang sulit ditemui pada prosa Indonesia hari ini, maka Turquoise adalah sebuah penyegaran dan alternatif baru bagi kita: berkisah kepahlawanan dan cinta, berlatarkan kehidupan di masa lalu, di sebuah negeri yang deskripsinya tak jauh-jauh dari Arab atau Turki, pedang dan kuda muncul di berbagai bagian buku, adegan tarung pedang digelar di beberapa bagian. Dua hal ini, setting Arab-Afrika dan persilatan, mungkin akan mengingatkan kita kepada Negeri Senja Seno Gumira Ajidarma. Namun, terlepas dari dua hal itu, kedua novel ini jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Berikut akan digambarkan sejumlah kekhasan Turquoise yang mungkin juga akan bisa menunjukkan perbedaan novel ini dengan Negeri Senja, dengan novel-novel silat yang dulu pernah ada, dan dengan novel-novel Indonesia hari ini.

Dikisahkan, seorang pemuda terlahir dan tinggal bersama orang tuanya sebagai pelayan di rumah besar milik saudagar kaya raya Youssef. Pemuda ini, Husayn namanya, tumbuh menjadi seorang perjaka yang tampan dan mempesona di mata Safira, putri tuan Youssef. Pada akhir masa remajanya, Qadrii, sepupu Safira, anak kepala kampung yang terhormat, juga sahabat Husayn, meminang Safira. Namun Safira yang telanjur menyukai dan mengikat janji dengan Husayn dengan serta-merta menolaknya. Bahkan, kepada ayahnya, Safira memproklamasikan cintanya kepada Husayn, si anak pelayan. Murka, dan kehilangan muka, membuat tuan Youssef mengusir Husayn beserta keluarganya. Safira pun menjadi sasaran kemarahan. Sebuah "wahyu" membimbing Safira menjadi seorang mistikus tabib yang menyerahkan hidupnya di jalan Tuhan. Husayn pun menemukan jalan takdirnya, menjadi penjaga gerbang kota, dan kemudian menjadi tentara pembela kota dari para penyamun padang pasir.

Dengan latar belakang seperti ini, kisah pun berkembang: Safira menemui ajal dan Husayn, yang telah terputus kabar dari Safira, bertumbuh menjadi "Singa Padang Pasir".

Ada beberapa hal yang harus disampaikan tentang Turquoise, yakni:

(1) Turquoise menegaskan kembali bahwa kisah romansa dan kepahlawanan adalah sebuah kombinasi yang selalu pas. Pasti kita ingat kisah romansa Aragorn dan Arwen dalam trilogi Lord of the Ring: seorang pangeran terbuang dan seorang putri raja nan Liv Tyler. Atau kisah William Wallace dan istri yang baru semalam dinikahinya dalam Braveheart. Atau kisah Maximus dan instri serta anaknya dalam Gladiator. Betapa kita selalu tergetar saat mendapati "pahlawan" kita adalah juga seorang manusia yang bisa lembut hatinya, dan bahkan tampak rapuh, di hadapan asmara. Dalam Turquoise, kita yang di awal cerita disodori adegan action antara Husayn sang singa melawan serigala-serigala "peliharaan" sang penyihir hitam keturunan iblis (?), Maqtuf Kharkani. Dan ketika kita dapati Husayn ternyata pernah begitu rapuh saat menghadapi pergolakan cinta, kita pun akan berempati dengan pahlawan kita ini.

(2) Turquoise menunjukkan sebuah vitalitas menulis yang luar biasa. Titon Rahmawan, seorang penulis yang di kalangan sasta cyber telah dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan esais sejak awal 2000-an, menampilkan kejelian dalam menyusun kisah yang berlatar sebuah kota dan sekaligus dia "buatkan" elemen-elemen pembentuknya. Lihatlah, pertama-tama, bagaimana dia memberi wujud fisik kotanya dengan penyajian peta yang membantu kita membayangkan posisi geografis Negeri Allah dan Makarresh serta penggambaran arsitektur kota yang langsung mengingatkan kita pada negeri-negeri Arab atau Turki. Lebih mendalam, dia beberkan penggolongan kelas sosial yang antara lain terdiri dari kaum Rahibi dan Rabani. Kemudian, yang tak bisa lepas, ditampakkan pula betapa Islam telah begitu terinternalisasi dalam kehidupan warga kota, terutama pada diri "pahlawan" kita, meskipun ada juga yang beragama lain seperti misalnya keluarga Safira. Titon juga bisa dengan sama terampilnya menggambarkan adegan action (lihatlah pertarungan Husayn melawan serigala, melawan Zoreth sang penyamun dari oase Turim, melawan si sahir Maftuq Kharkani, dsj.), adegan romansa (lihatlah saat-saat ketika Husayn dan Safira saling memproklamirkan cinta di tepi danau Kalkausar), dan juga adegan persedihan (lihatlah bagaimana Husayn dihumbalangkan lara hati atas pengusiran tuan Youssef, juga nikmati bagaimana Safira yang hancur hatinya sampai tiba pada kesimpulan akan menempuh hidup di jalan Tuhan. Kesabaran Titon untuk mengajak kita larut dalam detik-demi-detik dalam kisah (baik itu saat-saat laga maupun saat-saat hati bicara) adalah sesuatu yang membuat kita patut menghargai Turquoise lebih dari sebuah kisah kepahlawanan biasa.

(3) Turquoise memiliki tabiat yang unik terhadap bahasa. Sebagai sebuah novel yang tidak berlatar di Indonesia, Turquoise benar-benar memperlakukan bahasa Indonesia hanya sebagai pengantar. Meskipun dihantarkan dengan halus, dan pada beberapa bagian bahkan terdengar berpuisi, tampak sekali bahwa sepertinya penulis berpandangan bahwa bahasa Indonesia seolah tidak bisa dengan mudah mengakomodasi makna dari sejumlah hal yang ada di Makarresh. Tampak bertebaran kata-kata bercetak miring di sekujur buku. Ada kalanya, memang, kata-kata itu tercetak miring, hadir dalam bahasa Negeri Allah (Arab?), karena bahasa Indonesia tidak cukup mewakilinya. Yang seperti ini bisa kita lihat pada nama-nama tanaman, semisal al kastanaa, arbutus, lauz, al-misymisy, dsb. Namun, pada banyak bagian lain, seperti misalnya ketika nama-nama binatang harus disinggung, tampak bahwa penulis seolah-olah ingin memberikan nuansa Makarresh (Arab?) kepada pembaca. Nama-nama binatang yang dalam bahasa Indonesia sebenarnya ada, malah disebutkan nama Makarreshnya: alih-alih onta, Turquoise menyebutnya Jamalu, alih-alih serigala, di sini disebut ibnu alwaa. Yang terakhir ini sepertinya agak ambivalen. Di satu sisi memang kita dibawa lebih dekat ke Arab dengan nuansa yang Arab; namun, di lain pihak, tentulah penikmatan kita akan terganggu jika harus mereka-reka (atau melihat catatan kaki) dulu ketika kita dipertemukan dengan kata alkamar dan kaukab serta qahwah dan syaaya, yang sebenanya hanyalah ingin mengatakan planet dan bintang serta kopi dan teh.

Sebagai kisah kepahlawanan sekaligus romansa, Turquoise telah berhasil memberikan keasyikan membaca sekaligus pencerahan. Kita dibikin kerasan dengan teka-teki dan pengharapan akan bagaimana akhir kisah Husayn ini, adegan laganya juga mengasyikkan dan–pada diri saya–berhasil membuat harap-harap cemas dan memberikan kepuasan saat laga benar-benar telah rampung. Kita pun juga diajak merenungi arti persahabatan yang sirna karena cinta, cinta yang musnah karena ketamakan, dan rasio yang kalah oleh amarah (tentang ini Yonathan Rahardjo menyinggungnya pada endorser di sampul belakang Turquoise). Dan satu keasyikan yang hanya ditemui pada buku ini dan buku-buku sejenisnya adalah kita akan diajak merasakan kehidupan di sebuah negara Arab atau bagian benua Afrika pada masa lalu, dengan sejumlah aspek hidupnya: perekonomian, kehidupan sosial, dan arsitekturnya.

Jika kita adalah jenis orang yang selalu tertarik akan hubungan antara cerita dengan latar sosial kita, maka kita pun akan dipaksa mengiyakan bahwa di sini, nilai-nilai universal direnungkan kembali melalui permasalah-permasalahan yang mungkin dihadapi seorang manusia di tempatnya hidup. Dan betapa cinta yang menghanguskan persahabatan, ketamakanan yang memakan cinta, atau rasio yang terhapus oleh emosi, sebenarnya adalah tema yang diulang-ulang dalam sejarah manusia. Sekarang pun, jika kita sempatkan membaca secara lengkap kasus-kasus kriminal atau pembunuhan yang ada di halaman-halaman koran atau di berita kriminal televisi, besar kemungkinannya kita akan temukan modus operandi berikut ini: cemburu, perebutan warisan, terbakar kemarahan, tersulut emosi, dsb. Dan itu pulalah yang menggerakkan kejadian-kejadian penting dalam Turquoise.