Tegas Meretas Sejarah Keraguan

Swara Kita Manado

Jumat, 06 Juli 2007

TANYAKAN pada dirimu, apakah hanya karena keraguan sehingga pertanyaan muncul? Atau, ada sesuatu yang terbenam dalam lumpur misteri yang butuh dijawab dengan segera?

Pertanyakan deretan pertanyaan yang merasuk hari ini, tonggak peradaban meramu kekeliruan yang terus terjadi dan menjadi benang kusut kebodohan. Dan ini terus dipertahankan dalam benak sejarah manusia.

Sejarah dalam lembar kepentingan, adalah juga kontinum keraguan ketika yang merasa menjadi penting membubuhkan segala kepentingannya ada di sana.

Cobalah mengingat-ingat lagi apa yang pernah kau tera sebelumnya, mengurut kembali peristiwa dalam rekaman memori di otak kita. Lalu, bimbang datang begitu mudah dan secepat lupa ia hilang dalam putaran masa. Sadar sesadar-sadarnya, bukan karena lupa, juga bukan bimbang yang datang dalam takut, karena kita semena-mena menjadi lebih penting dari orang lain.

Kata berkata-kata, sejarah punya padanan yang tak sepadan. Sesuatu yang garang mengundang perang, menuduh yang tak berperan sebagai jalang. Ia adalah kata-kata yang mencakup banyak hal dan sering melupakan yang halal, menuliskan peran, tapi tak mencatatkan suami simpanan dan istri piaraan.

Kata berkata soal data, jatah, sita, noktah yang jadi rata menyejajarkan tanda baca dengan keraguan. Ujungnya pertanyaan masih menyisa.

Jose Saramago, penulis ‘Blindness’ menuliskan chaos ketika tanda-tanda dibutakan oleh peran yang mendua. Titon Rahmawan coba menanggapi dalam resensi “Ketika Kebutaan Massal Menyebabkan Chaos”.

Apa yang terjadi, bila seketika, tanpa ada sebuah pertanda terlebih dahulu tiba-tiba seseorang menjadi buta dan ternyata kebutaan itu kemudian menular dengan sangat cepat, dari satu orang ke orang yang lain. Dan dalam waktu sekejap, seluruh kota telah terinfeksi oleh penyakit kebutaan massal itu.

Orang-orang menjadi panik, institusi-institusi dan fasilitas umum diserbu dan di seluruh negeri terjadi chaos, sehingga memaksa pemerintah untuk segera turun tangan dengan melakukan sejumlah tindakan keras. Yaitu dengan membuat tempat karantina-karantina yang jauh dari pemahaman manusiawi, demi mencegah penyebaran penyakit yang seketika menjadi momok di seluruh negeri yang semuanya sengaja dibuat tak bernama.

Orang-orang buta dadakan itu kemudian diambil dari segala penjuru dan selanjutnya di kurung dalam sebuah rumah sakit jiwa yang dialihfungsikan menjadi tempat karantina, dengan penjagaan yang super ketat oleh sejumlah besar tentara bersenjata. Di dalam karantina itulah terjadi sebuah proses pembusukan yang sangat mengerikan, di mana orang-orang buta itu perlahan tapi pasti kehilangan seluruh norma-norma kehidupan dan bahkan hakekat kemanusiaanya.

Kebutaan massal yang menyebabkan Chaos inilah yang menjadi tema sentral dalam karya peraih nobel kesusastraan tahun 1998 Jose Saramago yang berjudul Blindness ini. Sebuah gambaran chaotik dari sebuah tatanan masyarakat yang terlanjur sakit.

Perlahan namun pasti, orang-orang buta di dalam karantina itu kehilangan seluruh jati diri, dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri mereka. Karena mereka akan melakukan apa pun hanya demi untuk bertahan hidup.

Mungkinkah negeri kita seperti itu? Atau, peran kita yang sengaja dibutakan oleh peradaban yang mengulum sistem kebutaan. Kuku menancap garang, perang belum usai, ledak bom, gonjang-ganjing perpecahan dan bencana yang menangkup sejumlah tanda zaman akan berujung pada kehancuran. Tubuh tersayat dan koyak, tangis bagi yang mati bukan ajal, teriak yang mengumandangkan dendam, air mata darah, negeri yang jadi percuma dan usang.

Gugat Yonathan Rahardjo dalam “Sebuah Lingkaran dalam Terang Bulan”. Ia memberi penilaian yang kentara dan telanjang pada nasib bangsa kita di bingkai sejarah.

“Kulit legam menorehkan sisa derita. Tubuh bungkuk berbalut tulang. Gigi hitam berlubang dan ompong, mewarnai tawa, senyum, dalam kegetiran dan pancaran mata yang masih menyiratkan setitik harapan, -Kapan aku dinyatakan penguasa bahwa aku adalah warga terhormat. Bertahun mereka mendapati ternyata saat dalam penghidupan kini pun masih menjumpai benteng-benteng, tembok-tembok kukuh, berpenjaga lars sepatu dan laras senapan. Hanya aroma rokok dan udara yang seolah-olah segar yang menyapu masa lalu makin tak terlupakan. Aroma harum minyak wangi impor bahkan minyak wangi palsu yang menjamur di mana-mana, menenggelamkan bau-bau anyir darah yang terus mendelewer dan mengalir dalam gorong-gorong mengering hitam menjadi tato tak bernyawa.”

Kita lalu bertanya, tentang kemarin, tentang rentang waktu yang bikin rindu pulang. Kita kembali di kubangan yang sama lalu membenam dalam kenangan. Sejarah semestinya tegas meretas batas baik dan buruk.

Redaksi

Tidak ada komentar: