Kembang Kertas

oleh Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan 24-1-2006


Jakarta – Tidak penting novelis itu lelaki atau perempuan, yang terpenting adalah karyanya. Demikianlah dilontarkan A Badri AQT di antara para peserta forum diskusi rutin dua mingguan Meja Budaya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, Jakarta (20/1) mengangkat kumpulan cerpen Kurniasih berjudul “Kembang Kertas”.

Buku terbitan Jalasutra setebal 200 halaman berisi 13 cerpen dalam diskusi itu menghadirkan pembicara Yonathan Rahardjo dan moderator Donny Anggoro. Salah satu tema yang diangkat memang soal keunikan pilihan bahasa Kurniasih. Dengan mengganti beberapa kiasan terhadap peristiwa, analogi, dari aspek bahasa karya Kurniasih punya fenomena dan keunikan tersendiri.

Kurniasih, penulis yang kini juga bekerja sebagai editor, menceritakan proses kreatifnya dimulai sejak kuliah saat ia mengagumi karya antara lain Franz Kafka, Virginia Wolf, dan Leo Tolstoy.

Yonathan Rahardjo mengatakan bahwa metafora yang dibangun Kurniasih pada beberapa cerpennya berbaur dengan tarikan realitas, menggumam dan melamun dalam objek yang warna-warni, antara objek pelaku, penyerta maupun penderita, dari narasi ke narasi.

Namun, seperti yang diungkapkan peserta lainnya, Nurudin Ashyadie, dia memang mendapatkan karakter dalam karya Kurniasih ini – terutama pada cerpennya “Menari” – tak jauh berbeda dengan pilihan penulis Virginia Woolf terutama pada The Waves.

Walaupun Kurniasih tak pernah membaca novel The Waves (1931) bagi Nurudin, kata-kata kunci Virginia berhasil menghadirkan suasana ketiadaan, sedangkan pada karya Kurniasih tidak. Seperti lontarannya terhadap Kurniasih, Nurudin juga mempertanyakan gaya penulisan penulis sekarang yang kadang memakai metafora bukan untuk menjelaskan lewat tubuh dan instansi lain, namun justru lebih terkesan sebagai “sebuah pengasingan”.

Gaya dan Gender

Menurut Kurniasih, respons yang umum dari pembaca karyanya sejak awal disosialisasikan dianggap rumit. Bagi Kurniasih, visi personal dari karyanya adalah sejauh mana dia mengekspresikan realitas melalui karya yang dia tulis. “Bagaimana menangkap peristiwa yang berseliweran di hadapan kita,” paparnya.

Pengarang ini kemudian mengatakan bahwa untuk menghadirkan bahasa ungkap terhadap realitas ini, dia menampilkan eksplorasi dan gaya bercerita. Eksplorasi monolog interiornya pun kerap dia ciptakan sekali pun secara konvensional peristiwanya jadi sedikit. “Peristiwa yang sedikit misalnya ‘Menara’ yang mengisahkan tentang waktu yang semu, ‘Sang Pelaut’, tentang kehilangan. Sedangkan agak konvensional dalam cerpen yaitu ‘Pasal Kasih’ dan ‘Mata-mati’,” paparnya.

Donny Anggoro mengungkapkan, daya persuasi adalah bagian penting selain diksi – pengucapan yang khas dan kisah yang telah dibangun. Daya persuasi ini sangat mendukung suasana imajinasi si pembaca ketika menikmati karya sastra yang disajikan khususnya pada novel atau cerpen. Di luar teknik penceritaan, Kurniasih juga mengaku tertarik soal gender.

Wacana soal perempuan terutama soal kungkungan, penjara mitologi terhadap kaum perempuan menurutnya sangat menarik. Dalam buku ini, selain ada ulasan Bambang Sugiharto yang mendedah wacana eksistensialisme, Aquarini Priatna Prabasmoro memang mengulas juga pola ungkapan bahasa Kurniasih dan kaitannya dengan gender. *

Tidak ada komentar: