Puisi untuk BUMI

Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) No. 08/I/2006

1. EDITORIAL

Selamat berjumpa para Sahabat Telapak,

Perayaan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2006 telah lewat. Ada sekitar 22 events perayaan Hari Bumi di berbagai kota yang didokumentasikan oleh Djuni Pristiyanto. Dari sekian banyak events tersebut, ada tiga laporan pandangan mata dari Sumatera Selatan (FORUM 11 untuk Hari Bumi), Makassar (PPLH Puntondo) dan Bandung (Jaringan Hari Bumi Bandung) yang disajikan dalam buletin ini. Minimal, menurut Oeban - seorang pegiat SHK dari Kalimantan Tengah, "Selamat HARI BUMI (salut bagi yang memperingatinya)-- dengan selemah-lemahnya IMAN (bagi yang beriman) silahkan berdoa aja, dan semoga BUMI kita yang lagi sakit sedikit terobati dengan DOA". Selain itu disertakan pula puisi untuk BUMI yang diciptakan oleh Yonathan Rahardjo dan Sylvie.

Di bagian SURAT SAHABAT, Wira menceritakan bila dia dan kelompok seninya akan berangkat ke Jerman untuk melakukan pementasan kesenian dengan judul "Bersih itu Indah". Berjuang demi BUMI dan lingkungan tidak harus berteriak-teriak keras mengkritik kiri kanan atau pun melakukan aksi-aksi yang heroik. Berjuang melalui kesenian pun ternyata bisa dan (mungkin) lebih efektif, dari pada demontrasi jalanan. Melalui kesenian, kepekaan dan kesadaran lingkungan dapat dibangkitkan dengan halus serta langsung mengenai pada sasaran, yaitu hati nurani. Selamat untuk kawan Wira dan kelompok seninya. Dan semoga sukses.

Awal bulan April 2006 ini Telapak menerbitkan press release yang berjudul "Konsumen Eropa dan Amerika Ditipu untuk Membeli Kayu Curian dari Hutan Papua". Press release ini dapat ditemui lengkap di bagian KABAR DARI TELAPAK. Dalam relese ini terdapat Laporan Telapak dan EIA yang berjudul "Behind the Veneer". Ringkasan eksekutif "Behind the Veneer" dapat ditemui di bagian LITERATUR. Tentu saja, laporan tersebut dapat didonwload dari website Telapak dengan cuma-cuma.

Akhir kata, "Perlihatkan keperdulian, perlindungan dan rasa hormat Anda pada lingkungan, kendati kita jauh dari rumah. Sebarluaskan pesan-pesan mengenai lingkungan kepada teman-teman dan kerabat dan saudara-saudara Anda. Ini merupakan suatu usaha kecil yang sangat berarti bagi pelestarian lingkungan." Itulan sebagian kecil hal-hal yang dapat kita kerjakan, "EVERYDAY WAYS YOU CAN HELP CLEAN UP THE EARTH... WE ALL CAN".

Selamat menikmati dan memakai KauS,
Redaksi Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS)
Email: kaus@telapak.org

---------------------------------------------------------------
Redaksi Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS)
Penanggungjawab: Rita Mustikasari
Tim Redaksi: Rainny Natalia, Rita Mustikasari, Djuni Pristiyanto.
Email: kaus@telapak.org

Isi Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) boleh dikutip, digandakan, dijiplak, dan di-copy dengan menyebutkan sumbernya. Isi Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) tidak mesti sesuai dengan kebijakan Perkumpulan Telapak dan Perkumpulan Telapak tidak bertanggungjawab atas segala isi dari Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) ini.

Sekilas Sastra Media Maya

-Pena Kelana edisi Esai, Maret 2008-

Setelah teknologi internet merambah dunia pada tahun 1995, dibarengi tersedianya beberapa fasilitas email dan komunitas grup gratis dari Yahoo, perusahaan jasa internet global terbesar, maka makin maraklah mailing list (milis) bermunculan mulai dari grup ekonomi, politik sampai dunia sastra. Grup sastra lebih banyak diminati anggota dengan latar belakang multi disiplin ketimbang grup lainnya. Sebab umumnya tulisan yang di-posting baik dalam bentuk puisi, cerpen, esai atau komentar biasa, tidaklah harus melulu mengenai sastra seperti yang digeluti di kampus sastra. Pendeknya setiap anggota bisa menulis (mem-posting) karyanya dengan tema bebas tanpa perlu melalui saringan seorang redaksi seperti halnya media cetak. Sekali klik tanda panah di kotak ‘send’, tulisan pun langsung terpajang gagah di halaman milis.

Dari sekian komunitas milis sastra yang bermunculan sejak tahun 1999 sampai sekarang, hanya beberapa yang cukup ramai antara lain milis penyair@yahoogroups.com, bungamatahari@yahoogroups.com (buma), sastra-pembebasan@yahoogroups.com (SP) dan apresiasi-sastra@yahoogroups.com (Apsas). Umumnya keempat milis memiliki member berjumlah diatas seribu dengan posting-an rata-rata di atas 500-an perbulan sejak berdirinya hingga tahun ini. Menarik untuk disimak, ternyata tiga di antara milis besar tersebut ada semacam ‘pertalian darah’. Penyair sebagai milis yang tertua, secara tidak langsung ‘mengilhami’ lahirnya SP pada akhir tahun 2003, sebab owner/moderator (pengelola)-nya adalah mantan pengurus milis Penyair. Begitu juga dengan milis Apsas yang didirikan pada 5 Januari 2005, para pengurusnya adalah eks-moderator SP. Entah kebetulan atau karena kepiawaian pengelolanya, bila dilihat banyaknya jumlah posting-an, ternyata dua milis baru tersebut, dua tahun belakangan ini lebih marak dari pendahulunya, karena diatas 1000 rata-ratanya.

Fenomena aktivitas sastra di dunia maya (internet) yang sebetulnya tidak terlalu dikenal dibandingkan dengan media cetak bagi masyarakat luas, ternyata mampu menyita perhatian instansi/lembaga kesenian yang mana kali ini diakui oleh TUK (Teater Utan Kayu) yang bisa dikatakan sebagai wakil dari komunitas sastra ‘nyata’ (darat). Lembaga tersebut pada hari ini, Selasa 11 Maret 2008, mengundang aktivis dan pengelola milis sastra untuk berbagi pandangannya mengenai sastra dunia maya. Mungkin tepatnya para sastrawan ‘darat’ ingin bertanya, ‘sastra’ jenis apa yang kalian usung atau apa saja yang bisa diperoleh dengan bersastra-maya?

Acara diskusi ini bisa lebih semarak, bila menghadirkan pembicara yang telah diakui ‘matang’, ‘jadi’ dan ‘besar’ karena hasil tempaan beraktivitas di dunia maya. Setidaknya seorang sastrawan, penyair, cerpenis, esais atau novelis yang telah mengakui sendiri telah dilahirkan oleh sastra dunia maya. Memang tidak banyak nama yang bisa disodorkan. Tetapi bila TUK berani memanggil nama seperti Saut Situmorang, Nanang Suryadi, TS Pinang (ketiganya aktivis lama Penyair), Heri Latief (aktivis lama Penyair dan owner SP), Sigit Susanto (salah satu owner APSAS) atau Yonathan Raharjo (aktivis segala milis sastra yang seorang dokter hewan, pemenang harapan Lomba Novel DKJ 2007) tentunya segala macam pertanyaan sastrawan ‘darat’ akan lebih lengkap lagi terjawab dengan tidak mengecilkan arti para pembicara yang telah dijadwalkan untuk hadir. ***(peekay, 110308)

Sastra Indonesia 2007: Menggali Mutiara di Antara Politik Estetika

Sinar Harapan, 4 Januari 2007

Oleh
Sihar Ramses Simatupang

Jakarta - Di tengah politik perkubuan sastra, baik yang menyentuh persoalan intrinsik maupun ekstrinsik dari teks sastra atau bahkan mengarah pada kelompok atau sastrawan tertentu, kegemilangan sebuah karya akan terlihat dengan sendirinya.

Lonceng sastra terus digemakan oleh kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan novel atau bahkan sebuah esai di lembaran kertas di media cetak maupun bentangan flat dari monitor CPU lewat sebuah situs maupun milis.
Beberapa novel yang lahir mengusung kemegahan kisah dan kenikmatan bahasa itu terus menggemakan suara dari sekumpulan ingar karya sastra yang dicap bernuansa seks atau tidak, peduli sosial atau tidak, berlindung dalam kerajaan komunitas sastra atau tidak.
“Kita kembali pada karya sastra saja,” ujar Yonathan Rahardjo, salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Karyanya adalah salah satu di antara pilihan juri yang mencengangkan publik sastra karena realisme hampir nampak dalam karya para pemenang ini.
Seakan kebangkitan realisme, demikianlah novel-novel itu membawa muatan berat dari zaman yang letih mengangkut sejarah. Kendati tak bisa diingkari, perdebatan tiap kubu baik Goenawan Mohamad dan Saut Situmorang atau antara Taufik Ismail dengan Hudan Hidayat, seperti menyadarkan tentang sebuah kotak pandora sastra yang kemudian mencengangkan (baca: mencemaskan) khalayak awam yang tak pernah sadar adanya politik dan ideologisasi di kesusastraan Indonesia. Selain itu, publik akhirnya menangkap sebuah pertengkaran estetika yang semakin kental.
“Penulis sekarang janganlah lepas dari sejarah sosial masyarakatnya. Bukan hanya dengan eksperimen dan permainan bahasa,” kira-kira begitulah tafsir lugas dari ungkapan Katrin Bandel, beberapa tahun silam di Pusat Dokumentasi HB Yasin, Jakarta, yang ternyata menjadi salah satu tonggak penting dalam sikap berkarya pada satu sisi kubu.
Lantas dimanakan peran estetika bahasa? Ketika kita membaca keagungan karya Leo Tolstoy yang indah namun tetap peduli sosial, pun Gabriella Garcia Marquez, pun narasi sosial yang tetap utuh pada John Steinbeck, kendati dia membuat permainan bahasa yang eksperimental.
“Banyak pengarang sekarang yang mengkhianati narasi, dan menjadi metafora seperti busa bir, berbuih namun lenyap tertelan angin malam, tak membawa ingatan pada pembaca seusai membaca. Bagaimana memuat estetika, sekaligus mengangkut narasi, sekaligus eksperimental, itulah masalahnya.
Kita seperti digiring, padahal pembaca tak akan bisa dibodohi mana karya yang baik,” ujar seorang sastrawan.
Di saat seperti itulah, karya terus berjuang merebut simpati pembacanya. Kita mencoba menengok beberapa karya yang juga muncul belakangan, tanpa kubu dan “tanpa nama besar”.

Nama Baru
Di luar gaung sastra DKJ, ada beberapa novel yang kemudian mulai diperbincangkan. Qaris Tajudin, misalnya, dalam novel Larasati, berhasil meramu backtracking yang unik, namun berkelindan sehingga tetap menjaga kestabilan pembacaan. Alur waktu yang dipertemukan di akhir novel sangat mengundang penasaran pembacanya. Gaya tuturan “aku” yang berpindah-pindah pada dua tokoh dan ditutup dengan “dia”-an di akhir novelnya.
Dengan efektivitas bahasa dan peristiwa, Qaris mengisahkan “seorang lelaki pecinta tanpa tempat berlabuh” menjelman “lelaki yang merasuk ke labirin kehidupan petualang bahkan terorisme”.
Fasih berkelana dari bumi Indonesia, Tunisia, mafioso Italia, Afghanistan hingga terdampar di sebuah kelompok nomaden suku Kuchi yang tegas dan bersahaja. Novel yang mengenyangkan nurani kita bahwa substansi kehidupan kembali kepada cinta, penghormatan sesama manusia dan kepada Tuhan.
Andrea Hirata, nama baru dalam jagat sastra kita lewat karya Laskar Pelangi-nya, menyadarkan kembali bahwa masih ada harapan pada pengarang dan teks sastra Indonesia terkemudian. Membuat tegangan identitas budaya Melayu dan dunia di dalam teks secara apik.
Energi yang kerap disuguhkan buat pembaca dari karya Hirata adalah kejenakaan yang halus juga cerdas dan pemaparan yang lancar juga jernih. Dari kisah unik seperti mengganti nama di saat seorang anak sakit sebagaimana kelaziman Timur hingga kisah tragis putra Indonesia yang mendapat beasiswa namun terjebak di antara sekarat dingin salju kota kecil Brugge di pinggiran Belgia.
Buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi ini nyatanya mampu menjadi teks tunggal dan otonom, kisahnya tetap menyuap kepuasan imaji bagi pembacanya.
Di kepenyairan ada nama yang tetap konsisten dan tetap mengusung obsesi – meminjam pendapat pengarang Budi Dharma – dan ideologi – meminjam pendapat Pramoedya Ananta Toer. Ada penyair Acep Zamzam Noer, Isbedi Stiawan ZS, Sony Farid Maulana, yang tetap setia menjaga konsistensinya.
“Di tengah pergeseran sejarah sastra, di tengah perkubuan atau politik sastra apa pun, kesetiaan dan keyakinan pada karya yang menjadi karakter kita itu penting. Itu yang tetap saya pertahankan ketika berkarya sejak dulu hingga kini,” papar Yanusa Nugroho, sastrawan yang kerap mengangkut muatan narasi pewayangan di novelnya, kepada SH, dalam sebuah perjalanan di antara Tol Jakarta-Ciawi.