Proses Kreatif Taslim Ali: RAMUAN PENDIDIKAN, ZAMAN, TEMAN DAN KEPEDULIAN

oleh Yonathan Rahardjo
(versi asli, dimuat di Kaki Langit HORISON, setelah diedit Redaksi)


Dalam berkarya, pendidikan Mahmud Taslim Ali di Fakultas Kesusateraan Universitas Indonesia yang didirikan pada tahun 1940, membuat M Taslim Ali mempunyai daya magnet yang teramat kuat, prinsip mendasar dalam pergulatan di bidang sastra khususnya puisi. Taslim Ali paham betul tentang suatu anatomi dan sifat sajak yang kemudian hari ditulisnya dalam menyusun Puisi Dunia, “Mengenai corak sajak-sajak yang dimuat dalam kedua jilid ini: Yang diutamakan ialah sajak-sajak lirik, termasuk dalamnya nukilan-nukilan dari sandiwara-sandiwara Shakespeare dan Calderon yang mengandung anasir lirik, dan berkenaan dengan macam: Dari berbagai-bagai aliran kesusasteraan dan pelbagai lapangan keharuan.”

Penguasaan tentang ilmu sastra itu membentuk puisi Taslim Ali pada Pujangga Baru VIII/1-2 Juli-Agustus 1940 memenuhi kriteria sajak lirik itu yaitu pada Sajak Angklung. Demikian pula puisinya pada Pujangga baru VIII/ 9 Maret 1941 yang berjudul Kepada Murai dan tentu saja karyanya yang menjadi perbincangan Kepada Angin Raja Kelana. Di sini terasa nyawa sastra masa Pujangga Baru itu ikut mewarnai, tapi itu baru permulaan, dan tak lama sesudah itu ia sudah masuk masa perang. Jepang menduduki Indoonesia pada tahun 1942. Fakultas dan Universitas di mana Taslim Ali kuliah ditutup dan di kemudian hari ia tak sempat menyelesaikannya. Masa pendudukan Jepang dan masa sesudah perang, membentuknya punya nyawa baru lagi dalam bersastra. Angkatan 45, begitu disebut angkatan sesudah Pujangga Baru ini.

Menurut kritikus sastra yang sudah berkecimpung langsung pada masa itu, HB Jassin dalam Gema Tanah Air (1948), pendalaman dari hasil-hasil angkatan sesudah perang berbeda dengan masa Pujangga Baru yang berbeda dengan masa Balai Pustaka. perbedaan itu karena melihat dan mengingat umur pengarang dan penyair yang rata-rata di bawah 30 tahun, kesungguhan ada. Perhatian kepada politik terbayang pada sajak-sajak dan cerita-cerita yang berkelirkan pandangan politis, baik di masa Jepang maupun sesudahnya. Itulah pula yang menjadi angkasa pada masa Taslim Ali membuat karya-karyanya dan mempengaruhi proses kreatifnya. Tampak pada puisinya yang berjudul Retetan Harus yang tertulis dibuat di Yogyakarta 26 Juni 1948 dan dimuat di Mimbar Indonesia, tempat Taslim Ali menunjukkan hasil proses kreatifnya sesudah masa Jepang.

Sebelumnya, pada 24 Mei 1948 HB Jassin yang di kemudian hari mendapat julukan Paus Sastra Indonesia, mengirim surat kepada sebagai pimpinan Balai Pustaka saat itu yaitu Tengku Pamuntjak yang mengatakan “Dia (Taslim Ali) adalah satu tenaga yang baik untuk mengusahakan cita-cita kita bersama.” Maka mulailah Taslim Ali bekerja di Balai Pustaka. Kesempatan untuk berenang di samudera sastra pun terbuka seluas-luasnya.

Pada tahun 1950-an, Balai Pustaka dipenuhi oleh banyak pengarang. Ruangan Balai Pustaka yang besar dan luas itu, tanpa kamar per kamar, tapi penuh meja per meja, dan mereka yang bekerja di situ pada umumnya adalah sebagai redaktur Balai Pustaka, baik majalah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka maupun sebagai buku tersendiri. Antara meja per meja saling berdekatan, dengan demikian antara sesama pekerja di ruangan itu menjadi terbuka secara umum. Pengarang-pengarang itu antara lain Pramoedya Ananta Toer, Anas Makruf, Amal Hamzah, M.Balfas, Achdiat K Mihardja, Utuy Tatang Sontany, dan Taslim Ali yang semuanya sudah punya nama secara nasional serta masih banyak lagi yang semuanya adalah para sastrawan, penyair dan pekerja budaya lainnya.

Para pekerja seni budaya itu, sebagian besar memang bekerja di Balai Pustaka. Tetapi ada juga yang hanya sebagai pekerja honorer, atau bahkan hanya datang-datang saja saling mau bertemu. Kebanyakan mereka, kini sudah lama meninggal. Dan menurut catatan HB Jassin, Taslim Ali bekerja di Balai Pustaka sejak 1948 hingga pensiun pada tahun 1971; masa yang panjang untuk sebuah pengabdian, betapa banyak buku yang telah lahir dengan turun tangannya.

Rekomendasi HB Jassin kepada Tengku Pamuntjak agar M Taslim Ali bisa bekerja di Balai Pustaka nyatalah benar sesuai visinya. Menurut catatan PDS HB Jassin, konsistensi keaktifan Taslim itu tampak di antaranya pada perhatian keduanya (HB Jassin dan Taslim Ali) terhadap penciptaan perbukuan dan kesusastraan. Pada 1959 HB Jassin bersurat kepada Taslim Ali bahwa ia mengembalikan buku Elements of Critical Theory karangan Wayne Shumaker yang ia pinjam. Tiga buku yang lain ia pinjam lagi. HB Jassin juga menulis kepada Taslim Ali bahwa di dalam karangannya (HB Jassin) untuk “Pustaka dan Budaja” satu pembicaraan “Ajip Rosidi Tunas Harapan” harap dirobahkan pada bagian mengenai di tengah keluarga empat kali ia menyebut “bekas ayah” harap Taslim mencoret perkataan “bekas”.

Perhatian angkatan sesudah perang pun lebih intensif tertuju ke luar negeri. Dan itulah yang dilakukan Taslim Ali. Bahkan dia lah yang menterjemahkan dan menyusun puisi-puisi penyair luar negeri dan berlabel dunia dalam bukunya dengan judul Puisi Dunia I (1952) dan Puisi II (1953). Suatu pekerjaan besar yang dilakukan Taslim Ali dengan memanfaatkan waktu seluas-luasnya dalam bekerja sebagai Redaktur Balai Pustaka sejak 1948. Ia pun menggunakan bahasa Indonesia yang sama untuk menterjemahkan sejumlah besar sajak dari berbagai negeri dan zaman. Karena sebagian besar penerjemahan dilakukan oleh Taslim Ali, mau tidak mau sajak-sajak yang berasal dari bangsa, bahasa, dan zaman yang berbeda-beda itu harus tunduk pada gaya bahasa yang dikuasainya sebagai penerjemah.

Puisi dunia yang menjulang mencakar langit dan mempengaruhi peradaban dunia yang maju pesat, siapa yang bisa membaca dan menikmatinya dalam bahasa Indonesia kalau tidak ada yang menterjemahkannya? Dengan kumpulan puisi-puisi karya penyair-penyair besar dengan bahasa-bahasa dari berbagai negara di dunia yang disusun oleh M Taslim Ali, maka bangsa Indonesia yang hanya bisa berbahasa Indonesia bisa mengenal karya-karya mereka.

Dalam menyusun buku terbitan Balai Pustaka itu, Taslim Ali dibantu Anas Ma’ruf, Bahrum Rangkuti, Asrul Sani, Siti Nuraini dan Utuy T Sontani yang ikut menterjemahkan beberapa puisi dan ia sendirilah yang paling banyak menterjemahkan sebelum akhirnya menyusun buku ini. Buku Puisi Dunia Jilid I saja berisi puisi para penyair dari negara-negara Slavia dan Latin yang diterjemahkan dari bahasa asli dan atau melalui terjemahan bahasa lain sehingga menjadi begitu dekat dengan kaum Indonesia lantaran terjemahan-terjemahan mereka. Lalu Buku Puisi Dunia Jilid II tentang Jiwa Germania. Belum lagi Jilid III yang memuat karya penyair Asia-Afrika yang hilang dan belum sempat dicetak.

Dengan pergaulannya dengan berbagai sastrawan budayawan Indonesia, lebih-lebih yang karya-karyanya ia edit sebagai redaktur Balai Pustaka, maupun ia terbitkan bersama seperti dikisahkan riwayat hidupnya, ditambah dengan mengetahui nama-nama penyair Dunia yang Diterjemahkan Taslim Ali dalam Puisi Dunia, dapat diketahui dengan siapakah dan dari apakah sebenarnya Taslim Ali yang sangat berperan dalam proses kreatif Taslim Ali. Bacaan! Diolah dengan keunikannya sendiri, maka lahirlah sosok karya seni Taslim Ali.

Mengenai tehnik terjemahan sehingga Buku Puisi Dunia dipercaya secara kuat, kata taslim Ali: “Yang dicita-citakan senantiasa sedekat mungkin pada teks dengan berpegang pada ekonomi kata dalam menurutkan irama dan membulatkan persanjakan, sehingga jiwa syair dan penyair tetap terpelihara. Tetapi dalarn prakteknya, kerap juga terpaksa lari kepada kompromis, memberi dan mengambil berkenaan dengan kesulitan-kesulitan yang harus diatasi. Yang dilakukan, membaca sajak-sajak yang akan diterjemahkan itu berulang-ulang, mencoba menangkap suasana sajak dan jiwa penyair, sudah itu menghidupkan suatu gambaran dengan alat-alat yang dijangkau dari seluruh perbendaharaan kata-kata Indonesia yang ada pada saya.”
Menurutnya, keterangan secara pendek tentang mendekati teks orisinil dari sajak-sajak asing itu. Sekalipun hanya sekian, saya kira memadahi buat sementara waktu, karena berpanjang panjang tentang soal-soal detail, bakal membawa kepada rentetan pengupasan bersifat kering, lebih pada tempatnja dilakukan oleh yang berpendirian akademis, akan meliputi perbandingan tekanan kata dan kalimat, soal-soal irama dan persanjakan, penghargaan bunyi dan nilai warna kata-kata, berbagai-bagai cara ucapan, dan sebagainya, antara bahasa yang diterjemahkan dan bahasa terjemahan.”
Adapun, menurut Taslim Ali sendiri, latar belakang kondisi dunia sastra saat pembuatan karya monumental Buku Puisi Dunia itu, memang saat itu lapangan esai dan puisi barat merupakan getaran jiwa yang belum lagi mendapat perhatian pandang sebelah mata, dianaktirikan sejadi-jadinya. Berbeda dengan begitu banyak terjemahan karya asing tentang karya sandiwara oleh sastrawan-sastrawan Indonesia. Hal ini akibat sebelumnya pada jaman penjajahan Belanda pengajaran sastra lebih mengutamakan perhatian pada golongan semak belukar dari rimba kesusasteraan mereka, sehingga amat sedikit bersisa kesempatan untuk perkenalan dengan raksasa-raksasa kesusteraan dunia yang menjulang mencakar langit. Ditambah sikap bersastra, dan kesulitan perangkat teknis penunjang serta kondisi ekonomi yang tentu berbeda dengan kemajuan di masa kini.

Namun ketika jaman sudah berubah di mana karya esai dan perpuisian barat sudah mulai dan mudah didapat untuk dilahap oleh sastrawan Indonesia seiring kemajuan teknologi, rupanya karya monumental Taslim Ali tetap bertahta di hati penyair yang sadar wawasan sehingga menjadi daya dorong untuk memilih hidup berkarya bagi penyair generasi ke sekian sesudah Taslim Ali tadi. ***

Tidak ada komentar: