RIWAYAT TASLIM ALI, RIWAYAT PUISI DUNIA, DUNIAKAN SASTRA LAPIS GENERASI

oleh Yonathan Rahardjo
(versi asli, dimuat di Kaki Langit, HORISON, setelah diedit Redaksi)


Jalan menuju sejarah yang membuatnya menjadi perbincangan karena karya-karyanya, bagi Mahmud Taslim Ali sendiri dimulai dari kelahirannya di muka bumi pada 16 Juni 1916 di Painan Sumatera Barat. Masuk jadi mahasiswa Literaire Faculteit (Fakultas Kesusasteraan) Universitas Indonesia yang didirikan pada tahun 1940 di Jakarta dan terhenti oleh masuknya Jepang permulaan tahun 1942. Pernah bekerja di Radio Militer Jakarta bagian redaksi, menyalin dan memberi komentar berita-berita dan membuat beberapa sandiwara radio. M Taslim Ali mulai menyair dalam Pujangga Baru yang memuat syair-syairnya pada 1940. Kemudian mulai menyair lagi dalam Mimbar Indonesia yang memuat puisi-puisinya pada tahun 1948 dan pada tahun 1948 inilah Taslim Ali mulai menjadi Redaktur Balai Pustaka hingga pensiun pada tahun 1971.

Selama itu Taslim Ali menjadi penerjemah yang produktif. Di antara terjemahannya adalah Rubbayat (cetakan pertama 1949), karya Omar Kayyam), puisi Dunia I (cetakan pertama 1952, memenangkan Hadiah Sastra BMKN (badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) pada 1952 untuk karya terjemahan terbaik). Puisi Dunia II (terjemahan kumpulan puisi tahun 1953), dan lain-lain. Tulisannya dimuat Pujangga Baru, Mimbar Indonesia, Gema Suasana, Horison, dan lain-lain. Puisi-puisinya dipilih untuk Gema Tanah Air (antologi prosa dan puisi tahun 1948- editor HB Jassin), Pujangga Baru; Prosa dan Puisi (antologi prosa dan puisi tahun 1963, editor HB Jassin). Bersama HB Jassin dan Corry Layun Rampan, Taslim Ali menterjemahkan kumpulan cerita Kisah-kisah dari Rumania (1964) yang judul aslinya Nouvelles Roumaines. Ia pun pernah menjadi redaktur majalah Pustaka dan Budaya (1959-1964). Yang terkahir tercatat memuat karyanya adalah Tonggak I (kumpulan puisi tahun 1987; editor Linus Suryadi AG).

Tentang keaktifan Taslim Ali berkarya pada tahun 1950-an itu Pengamat Sastra Maman S Mahayana mengungkap banyak sastrawan termasuk ke dalam golongan sastrawan pra kemerdekaan, masih terus berkarya pada dasawarsa tahun 1950-an itu. Beberapa di antaranya, Anas Ma'roef, Rustandi Karta Kusumah, Buyung Saleh, MS Azhar, Hr. Bendaharo, Rosihan Anwar, Bahrum Rangkuti, Saleh Sastrawinata, Bakri Siregar, Taslim Ali, Usmar Ismail, Suwarsih Djojopuspito, Armijn Pane, dan sederetan nama lainnya.

Seorang pengarang Indonesia yang kini bermukim di Perancis, Sobron Aidit, pernah mengungkap, pertama kali datang pada 1951 di Balai Pustaka ia merasa sangat bebas memasuki ruangan kantor yang tak bersekat: “Di sana aku bisa ketemu banyak para sastrawan, ngobrol, tanya banyak soal, belajar pengalaman mereka yang sudah punya nama secara nasional. Mereka yang kusebutkan tadi adalah "abang angkatanku", artinya sudah lebih tua, baik umur maupun pengalaman dan kekaryaan, hasil ciptaan.”

“Dan aku menggunakan kesempatan buat berkenalan, belajar dan mendekatkan diri dengan mereka,” kata Sobron, “Coba seperti Taslim Ali yang kelihatannya seakan begok, tampaknya tidak pintar atau kelihatannya malah kampungan. Tetapi dia punya sabetan terjemahannya, sampai kini belum ada lagi yang mengikuti jejaknya. Dia menterjemahkan Tiga Jilid Puisi Dunia! Dari semua sastrawan dunia, baik Barat maupun Timur, dari Eropa-Amerika Serikat dan Latin-Asia-Afrika, menyeluruh. Taslim Ali kalau berjalanpun agak miring dan seakan-akan oleng seperti perahu berat sebelah! Tetapi dia punya otak, luar biasa!”

Ihwal kekagumannya terhadap sosok Taslim Ali, Sobron Aidit bahkan bercerita dalam suatu peristiwa yang mengagumkan tentang Taslim Ali. Ia mengaku sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Bahwa di antara teror-teror orang dengan membawa pistol dan meletakkan di meja Balai Pustaka terhadap beberapa pengarang Balai Pustaka itu, ia mengaku pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. “Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Apa yang bisa didapatkan dari dia (Taslim Ali)?” tanya Sobron menyiratkan kedalaman penyelaman Taslim Ali dalam dunia sastra lebih dari yang lain termasuk gaya hidupnya sehari-hari.

Kesaksian Achdiat Karta Mihardja, pengarang novel Atheis, Taslim Ali adalah orang yang tidak peduli panas atau hujan lebih suka jalan kaki berkilo-kilometer daripada naik becak yang dianggapnya menurunkan martabat manusia menjadi kuda. Pertengahan tahun 60-an, setelah Achdiat bekerja di Australia, ada orang yang ingin beli cetakan paling baru dari buku Atheis (yang pertama kali diterbitkan tahun 1949). Stok di gudang Balai Pustaka habis. Sudah lama tak dicetak padahal digemari masyarakat. Kecewa. Kebetulan penerbit Dian Rakyat milik Takdir Alisyahbana ingin sekali menerbitkannya. Achdiat langsung mengirim surat kepada pimpinan Balai Pustaka, setengah mengancam akan menarik hak penerbitannya dari Balai Pustaka, penyair mistikus Taslim Ali yang menjawab, “Buku ini merupakan buku ‘prestige’ bagai penerbit Balai Pustaka dan akan segera dicetak ulang. Buku prestige! Bukan main. Achdiat terhibur. Hal itu kembali menunjukkan sosok Taslim Ali memang sangat peduli kepada orang lain dan karya-karyanya. Terlebih bila karya itu bermutu.

Karya-karya dan sosok Taslim Ali begitu mengilhami banyak sastrawan. Selain Achdiat Karta Mihardja yang tergolong seangkatan dengannya, lalu Sobron Aidit yang tergolong adik angkatannya, Taslim Ali juga mengilhami sastrawan yang jauh lebih muda. Sebutlah pengaruhnya pada Ray Rizal penulis produktif dan karyanya diperbincangkan, yang punya empat nama samaran ini (Chandra Humana, Zetra, Ray Fernandez dan terakhir Ray Rizal) terlahir dengan nama asli Djufrizal bin Zulkifli di Singkarak, Sumatera Barat 7 Februari 1955. Pengarang pengagum Taslim Ali ini pada 7 Januari 1997 keburu meninggal seperti tertidur ketika menumpang sebuah taksi di mana sopir taksi yang membawanya mengira Ray ketiduran dalam perjalanan. Semasa hidupnya pernah mengungkapkan sebenarnya semenjak awal ia didesak ayahnya untuk menjadi polisi (bapak Ray seorang polisi). Tekadnya memilih profesi penulis semakin bulat oleh sebab ia mengakrabi dengan baik buku-buku karya STA (Sutan Takdir Alisyahbana), Hamka dan Taslim Ali.

Teladan perpuisian dunia dari Taslim Ali itu belum termasuk Buku Puisi Dunia Jilid III yang menurut rencananya memuat terjemahan sajak-sajak dari Asia-Afrika. Menurut Taslim Ali itu sudah selesai, terdiri dari 300 buah sajak, hasil kerjanya bertahun-tahun. Tapi naskah yang hanya satu kopi itu, entah bagaimana, hilang antara kantor redaksi dan percetakan Balai Pustaka. Dan hasil dari keteladannya, dunia pun mengakuinya. Bertempat di Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, pada 21 Agustus 1979 Taslim Ali memperoleh penghargaan berupa uang atas jasa-jasanya sebagai penulis dan penerjemah karya-karya Belanda. Hadiah tersebut berasal dari royalti para penulis Belanda yang karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs Hazil Tanzil dan dibukukan dengan judul ‘Kisah Belanda Sepanjang Zaman’ yang disumbangkan kepada Taslim Ali secara sukarela, dengan perantaraan Counsellor untuk Urusan Pers dan Kebudayaan Drs WH Simonsz.

Maka pada 21 Agustus 1980 bersama 24 seniman tua lainnya, Taslim Ali yang saat itu berusia 64 tahun menerima penghargaan dari pemerintah. Saat itu, Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo memberikan kepada Taslim Ali dan para seniman sepuh itu piagam dan hadiah masing-masing uang sebesar Rp 25.000, dengan penandasan, “Kehidupan dan penghidupan di Jakarta harus dengan prestasi, dan ini sesuai dengan hasil karya nyata dari para seniman dan budayawan kita. Dan ternyata, para seniman kita telah memberikan prestasi yang cukup besar.” Di antara para seniman itu, ada Taslim Ali yang pada daftar pengarang yang dikumpulkan Paus Sastra Indonesia HB Jassin pada tahun 1948 menulis pengalaman atau pekerjaannya adalah mengarang dengan kegemaran: kesusasteraan. Taslim Ali telah membuktikan dan dicontoh berlapis generasi.

Jasa Taslim Ali pada dunia sastra Indonesia itu lah yang selalu terkenang di setiap benak dan sanubari masyarakat secara umum dan kaum sastra Indonesia, begitu menyebut puisi dunia pastilah mereka menyebut nama Taslim Ali. Sebaliknya kalau menyebut nama Taslim Ali, maka puisi dunia-lah yang terucap. Puisi Dunia Jilid I dan II yang terbit pertama kali tahun 1952 dan sampai kini masih beredar dengan terbitan terakhir tahun 1994 dengan nomor SK/SE 023/C/Kep/R/94 oleh penerbit yang sama, Balai Pustaka. Puisi semua sastrawan dunia, baik Barat maupun Timur, dari Eropa - Amerika Serikat dan Latin - Asia - Afrika, menyeluruh.

Maka sebetulnya kayalah perbendarahan puisi Taslim Ali sekaligus manusia di tanah nusantara ini. Makin banyaklah perbandingan pola dan corak puisi, menjadi sangat besar artinya dalam mengasah proses penciptaan generasi-generasi sesudahnya, menjadi penting artinya dalam mengejar orisinalitas suatu karya, dengan pencapaian estetika yang bukan meniru dan pengulangan karya-karya yang dibuat para penyair dunia dari tahun-tahun kuno sampai tahun sebelum tahun 1940-an-1952 saat buku diterbitkan pertama kali itu; tapi tetap bisa menjadikannya sebagai bahan studi. Setidaknya kalaupun sampai kini kondisi wacana perupuisian masih belum beranjak, mengingatkan kembali supaya penyair Indonesia ingat, bukan cuma di sastra Indonesia kita hidup dan berarti untuk hidup, namun masih ada sastra dunia yang butuh diberi hati bahkan untuk berkarya pada tingkat dunia, seperti diingatkan oleh M Taslim Ali yang sadar dunia lapis generasi.***

Tidak ada komentar: