Gerakan “Komunitas Sastra” Harus Diimbangi Konsep dan Wacana

http://sinarharapan.co.id/berita/0809/27/bud01.html

Gerakan “Komunitas Sastra”
Harus Diimbangi Konsep dan Wacana



Oleh
Sihar Ramses Simatupang

Depok - ”Mana mungkin mengenang Chairil Anwar di tempat yang ber-AC, jauh dari kenyataan seorang Chairil sendiri. Chairil berada di gelanggang, itu juga yang menjadi latar dari Surat Kepercayaan Gelanggang,” ujar seorang penyair Irman Syah, si pembaca puisi dan peniup saluang yang kerap mangkal di Komunitas Planet Senen (KoPS), di pertengahan tahun 2008 ini.
Kita jangan fokus pada data bernas yang diucapkan ”si” Irmansyah. Tapi pendapat Irmansyah adalah gemuruh lain dari dinamika suara komunitas yang beringsut tegar di tengah dinamika komunitas sastra lain yang ”menasional” dan ”menginternasional”. Komunitas ini bergerak tanpa dukungan kekuatan raksasa citraan, media bahkan dana yang memadai.
Tak harus berlatar tempat di ”marginal perkotaan namun bersejarah” seperti Komunitas Planet Senen, beberapa komunitas sastra yang ada mulai dari Komunitas Sastra Gapus di Surabaya, Komunitas Sastra di Bali, hingga komunitas sastra di Lampung, mempunyai fenomena yang sama dengan Komunitas Planet Senen.
Komunitas Planet Senen, dengan penggiatnya Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu, Widodo Arumdono dan Giyanto Subagio, mungkin masih berkait dengan mainstream sejarah sastra termasuk nama sastrawan yang pernah bertandang ke tempat itu mulai dari Gerson Poyk hingga Chairil Anwar. Namun, problem utama di antara karya-karya komunitas berdasarkan wilayah ini adalah soal kualitas yang semestinya juga dikupas satu per satu. Selain suasana kritik, keberadaan pengamat, juga fasilitas bacaan yang diharapkan memperkuat karya baik dari sisi intrinsik maupun ekstrinsik. Teks dan tema dari masing-masing teks pengkaryanya harus diuji.

Proses
Dalam soal wacana, pemikiran ataupun estetika karya, kita mencatat fenomena Persada Studi Klub di Yogyakarta yang diasuh Umbu Landu Paranggi dengan anggotanya sastrawan ternama seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi dan RS Rudhatan. Tentang komunitas ini, seorang anggotanya Korie Layun Rampan, pernah mengatakan bahwa salah satu energi solidnya komunitas ini adalah untuk merespons fenomena media massa yang "jakartasentris".
Keberadaannya kemudian menghasilkan efek yang lebih dari itu. ”Persada Studi Klub diimbangi dengan konsep dan wacana, sehingga setiap sastrawan di dalam kelompok ini juga melakukan olah pikir,” ujar Korie, dalam percakapan dengan SH di tengah Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) 1 di Kudus, 19-21 Januari 2008 lalu.
Juga fenomena kegairahan Sanggar Minum Kopi pada tahun 1990-an dengan penggeraknya Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana, K Landras Syalendra, GM Sukawidana, Warih Wisatsana didukung Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira. Atau komunitas Meja Budaya yang dimotori oleh Martin Aleida, Sides Sudyarto DS, dengan aktivisnya, sebut saja Donny Anggoro dan A Badri AQT.
Di luar kualitas teks, fenomena jaringan, media televisi, koran, cetak-buku hingga festival kerap tak mampu menjangkau karya-karya mereka baik berupa buku ataupun cerpen mereka yang dimuat di media massa daerah. Tak ada kurator yang setia di dalam sastra! Kini, komunitas itu harus tertantang mengetahui fenomena sastra dunia, pandangan akademisi sastra dunia baik lewat internet, situs atase kebudayaan asing, situs akademi yang berisikan jurusan sastra Indonesia hingga situs atau email pribadi milik seorang pengamat dan cendekiawan yang sedang mengoleksi karya-karya sastra Indonesia baik yang klasik hingga yang kontemporer.
Kita bisa membaca perkembangan komunitas di Jawa Timur, dalam hal ini Surabaya, yang oleh S Yoga yang dilansir di Harian Umum Kompas. S Yoga, mencatat fenomena dan dinamika para sastrawan di Komunitas Sastra Gapus (mulanya akronim dari ”Gardu Puisi” sebagai komunitas di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga) yang para penyairnya (lintas generasi) antara lain Panji K Hadi, Pamudji SL, W Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, Deny Tri Aryanti, Dheny Jatmiko, Ahmad Faishal, dan Puput Amiranti N.
Suatu hal yang kemudian mengemuka dalam kekhasan, seperti Imam Mutahrom yang dalam cerpen-cerpen sarat dengan metafor dan ungkapan simbolis yang khas, mengolah kata ”kita” sebagai orang pertama dalam pengisahan, Mashuri lewat karyanya Hubbu terpilih sebagai pemenang 1 Sayembara Novel DKJ 2006, terpilih antara lain menurut sastrawan Ahmad Tohari karena ceritanya yang utuh dan padu sekali pun alur melompat-lompat. Tiap sastrawan di dalam komunitas ini pun pada akhirnya mengambil jalan sendiri, di tengah pergesekan konsep yang awalnya bisa jadi sejalan.
Kendati, di dalam puisi, S Yoga membeberkan fenomena puisi gelap di komunitas ini (yang pada awal dan di kemudian hari semakin memiliki banyak varian, red), S Yoga lalu menyebutkan bahwa tiap penyair memilih jalan sendiri karena demokratisasi dan menghargai perbedaan, lebih ditegakkan daripada mazhab ataupun ideologi.
Beberapa komunitas yang selama ini ngendon di balik keyboard komputer dan kursi warnet pun malah keluar dari dunia cyber-global dan terbatas ruang dan waktu itu. Setelah asyik berkomunikasi antarbenua, mereka malah turun gunung di dalam Acara Sastra & Musik REBOAN di sebuah tempat yang khas dan punya sejarah: Warung Apresiasi Bulungan. Warung yang di dekatnya konon pernah berdiri Kelompok Poci Bulungan-nya Arswendo Atmowiloto bersama Radhar Panca Dahana dan Yoyik Lembayung.
Semoga saja, penggagasnya, Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam) dengan nama sastrawan antara lain Johanes Sugianto, Budhi Setyawan, Yonathan Rahardjo, Zai Lawang Langit, Setiyo Bardono, Sahlul Fuad, Ilenk Dian Asrinda yang telah menggelar kegiatan rutin keenamkalinya pada 17 September 2008 lalu, dapat semakin tepat dalam langkah dan konsepnya.
Tak sekadar membumi setelah asyik bermain di antara kerlip monitor komputer, tak cuma mengulang sejarah komunitas para pendekar sastra lama yang notabene pernah bergelut di tempat itu. Sastra Indonesia lahir di mana-mana, tentu sejalan dengan konsep dan estetika teks. n

'Cermin Hati' di Sastra Reboan #6

'Cermin Hati' di Sastra Reboan #6

“Ada sesuatu yang beda dalam acara ini. Sastra, yang bagi saya terasa berat dan serius, kok bisa dinikmati dengan enak ya. Ini setiap minggu ya,” kata seorang lelaki setengah baya saat menikmati tampilan Cakranada, band dengan nuansa etnik di Sastra Reboan #6, Rabu kemairn (17/09) di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan, Jakarta Selatan. Teman di sampingnya, yang jadi panitia hanya tersenyum sebelum menjelaskan, acara ini sebulan sekali. Khusus untuk Bulan Puasa diajukan ke tanggal 17 dari semestinya tanggal 24.

Sastra Reboan, yang tak terasa sudah memasuki edisi ke 6, malam itu memang terasa beda. Mengambil tema “Cermin Hati”, acara mengalir dengan riak dan rima yang menghanyutkan sekitar 100 pengunjung. Apalagi semua pengisi mampu menyanyikan tampilannya yang terbaik. Semua membaur, menunjukkan cermin hati diri dalam berbagai isi puisi. Tak peduli dia penyair ternama atau baru mencoba merangkai kata-kata.

“Sebelumnya sempat terpikir Paguyuban Sastra Reboa Malam (Pasar Malam), apakah akan dilaksanakan Reboan karena bulan September ini bersamaan dengan bulan Ramadhan atau bulan puasa bagi kaum Muslim. Namun akhirnya dilaksanakan dengan menampilkan karya yang bernuansa spiritualitas atau sufistik-religius. Hakikatnya ada semangat berinstropeksi diri, dan diharapkan akan merembes pada suatu sikap yang terus menggali mata air kreativitas agar mampu menghasilkan karya yang mencerahkan bagi kehidupan”, ujar Wakil Ketua Pasar Malam, Yonathan Raharjo ketika diwawancara Jak TV.

Acara Reboan # 6 dimulai relatif agak malam,dari semula dijadwalkan pukul 20.00 WIB, namun agak sedikit tertunda karena sholat tarawih belum usai dan lain hal, akhirnya dimulai pukul 20.30-an. Budhi Setyawan sebagai presenter naik ke panggung sendirian. Kemudian tanpa diiringi alat musik, dia menyanyikan penggalan lagu Munajat Cinta-nya The Rock dan ketika sampai refrain: “……. Tuhan kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati……..” tiba-tiba muncullah seorang perempuan cantik berjilbab. Dan perempuan yang akrab dipanggil Tiwie yang berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas di Jakarta itu jadi presenter pendamping pada malam itu.

Tampil pertama malam itu adalah Cakranada Band, sebuah grup yang tampil begitu padu dan sangat impresif membawakan 2 buah lagu. Grup band ini menggabungkan unsur etnik seperti kendang sunda, perkussi, juga gamelan dengan unsur band pada umumnya seperti gitar, keyboard, drum dan bass. Penampilannya sangat memukau para pengunjung, yang kebanyakan suka seni dan sangat mungkin seperti mendapatkan oase baru bahwa ada alternatif musik yang berbeda dengan band-band pop umumnya. Setelah itu tampil Savitri Restu Putri, seorang pegawai Pengadilan Pajak Depkeu yang juara pada lomba baca puisi di kantornya membacakan puisi karyanya berjudul Rinduku. Pembacaan puisinya cukup jelas artikulasinya dan menyentuh perasaan. Disusul penampilan Weni Suryandari seorang guru SMP yang rajin menulis puisi, cerpen, novel/novelet membacakan puisinya berjudul Tuah Bunda. Puisinya bertutur tentang kerinduannya kepada ibundanya yang telah meninggakannya dan ada kegamangan dalam menjalani kehidupan, dia merasa lelah berjalan sendirian. Memang sosok seorang ibu hampir pasti sangat berpengaruh bagi anak-aaknya.

Pembaca puisi berikutnya adalah Aditya Kusuma Rachman, yang juga pegawai Pengadilan Pajak dimana dia juara lomba baca puisi membacakan puisi karyanya berjudul Hanyalah Debu. Berisi tentang jerit anak manusia yang merasa dirinya adalah debu yang tak berdaya, yang hanya dengan bantuan-Nya bisa hadir sebagai khalifah di muka bumi ini. Disusul Dharmadi, penyair senior asal Purwokerto yang mebacakan puisi berjudul Mencari Kosong yang diambil dari buku kumpulan puisinya ke-4 yaitu Jejak Sajak. Penyair ini akrab menggeluti puisi dengan pencitraan imajis-simbolik. Puisi-puisinya yang kebanyakan puisi pendek terasa mengalir lambat, namun sedemikian teliti dan telaten merayapi relung sukma para pembaca dan penyuka puisinya. Disambung naik ke pentas Rita Sahara, penyair yang bermukim di Cimanggis ini beberapa puisinya masuk dalam Antologi Penyair Depok “Gong Bolong”. Dia membacakan sebuah puisi pendek berjudul Terapung Senyap. Setelah itu tampil Cakranada band untuk kedua kalinya dengan membawakan beberapa lagu, selain lagu ciptaan sendiri juga sebuah lagu bernuansa religius karya Oddie Aam berjudul Kusadari. Ternyata band ini juga ikut mengisi di acara Reboan # 5 pada bulan Agustus 2008.

Kemudian tampil Utami Diah Kusumawati, seorang editor sebuah perusahaan percetakan membacakan puisi karyanya “Liar Ilalang”. Setelah dia seharusnya tampil Endang Supriadi, penyair yang aktif menulis puisi sejak tahun 80-an, namun tidak bisa hadir karena sakit. Yang berikutnya membaca puisi adalah Ulil dari Komunitas Bunga Matahari. Dia membacakan 2 buah puisi sambil duduk di kursi, namun demikian tetap bisa tampil dengan baik. Setelah itu tampil Gemala, penyanyi yang tergabung dalam grup band Kerispatih itu, membawakan sebuah lagu diringi oleh dua orang gitaris dalam nuansa unplugged. Meski minimalis, namun tetap menerbitkan semburat kesegaran dalam lagu yang dinyanyikannya.

Di sela-sela penampilan penyair dan pemusik, Budhi sang presenter sempat melantunkan tembang mocopat berjudul Ngelmu Iku. Tembang yang diciptakan oleh KGPAA Mangkunegoro IV itu mempunyai makna yang dalam, yang secara singkat bisa diartikan bahwa setiap ilmu atau pengetahuan dapat diperoleh dengan adanya niat dan kesungguhan, dan apabila telah didapatkan pun juga harus diamalkan agar memberikan manfaat kepada banyak orang. Juga sebuah lagu dari grup GIGI berjudul Malam Lailatul Qadar: “....inilah malam seribu bulan.....”, yang mengingatkan tentang adanya malam Lailatul Qodar yang nilai kemuliaannya lebih dari seribu bulan. Sedangkan Tiwie sempat melantunkan dengan lirih penggalan lagu Sajadah Panjang-nya Bimbo. “ada sajadah panjang terbentang, hamba ruku’ dan sujud......”

Pembaca puisi berikutnya adalah Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair yang terkenal dengan puisi religinya berjudul Sembahyang Rumputan membacakan 3 buah puisi. Salah satu puisinya berjudul Tuhan, Aku Berlindung PadaMu. Puisinya berisi tentang keteguhan seorang manusia yang tetap berharap dan berlidung kepada Tuhan yang sejatinya tuhan, meski banyak bermunculan atribut atau kilau dunia yang dianggap sebagai tuhan bagi sebagian manusia yang hidup di era kekinian. Disusul Rukmi Wisnu Wardani, penyair yang juga sarjana arsitektur ini tampil sangat memikat dan penghayatan yang mantap, 2 buah puisi dibawakannya tanpa teks. Sepertinya telah membaur menyaur dalam keseharian penyair ini. “Surat Untuk Ibu” bertutur tentang keluhuran dan ketulusan seorang ibu, sedang kegelisahannya sebagai manusia dalam menyikapi ketuhanan dan pencarian diri dituangkan dalam “Satu”.

Akhirnya reboan edisi 6 ditutup dengan penampilan kolaborasi 5 penyair Pasar Malam yaitu Yonathan Rahardjo, Setiyo Bardono, Johannes Sugianto, Budhi Setyawan dan Sahlul Fuad. Dalam kondisi lampu dimatikan, naiklah 5 orang itu, lalu duduk bersila berderet dari kiri panggung ke kanan. Setelah lampu panggung dinyalakan, maka berkumandanglah suara Yonathan Rahardjo yang bertindak sebagai pengatur laku dan gerak, dan kemudian satu persatu penyair membacakan sebuah puisi bernuansa spiritualitas-sufistik. Pembaca pertama adalah Budhi Setyawan, disusul Johanes Sugianto, Sahlul Fuad, Setiyo Bardono dan terakhir Yonathan Rahardjo. Yonathan Rahardjo bergerak menidurkan para penyair dari duduknya dan kemudian dia mengambil posisi tidur di tengah-tengah. Setelah berlangsung sejenak dan dalam balutan nuansa yang magis, Yonathan bangkit dan turun dari panggung disusul para penyair lainnya.

Sungguh acara malam itu sangat meriah dan ada nuansa yang lain dari Reboan sebelumnya. Apalagi di antara hadirin yang datang nampak Mr Mihaly Illes yang menjabat sebagai Duta Besar Hungaria untuk Indonesia. Dia sangat suka dengan sastra Indonesia dan sangat sering menekuni membaca cerpen yang ada di koran edisi Minggu. Selain dia juga hadir Endo Senggono Kepala Perpustakaan PDS HB Jassin TIM, penyair Imam Ma’arif, Irmansyah, Anya Rompas, para penggiat sastra dari Universitas Atmajaya dan dari Universitas Bung Karno/Kapas Merah, pejabat Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan dan juga tidak ketinggalan penyanyi berambut gimbal Mbah Surip. Acara malam itu juga sempat diliput sebuah televisi swasta Jak-TV.

Dan pada pukul 22.30-an acara resmi berakhir, dan para hadirin beranjak dari tempat duduknya dalam nuansa seperti terpuaskan dengan acara malam itu, dan beberapa pengunjung malah menanyakan kapan acara Reboan bulan Oktober akan dilaksanakan. (bud/ines)

Manunggaling Kawulo-Gusti

OASE BUDAYA, Jurnal Nasional
Jakarta | Minggu, 14 Sep 2008

by : Theresia Purbandini

Abdul Hadi WM pernah melahirkan kumpulan puisi yang begitu pekat diwarnai pemikiran tasawuf Islam. Kumpulan puisi tersebut, Meditasi, memenangkan hadiah buku puisi terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1978. Lalu, bukunya yang juga banyak mendapat perhatian, Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh, melukiskan kecenderungan pemikiran sufistiknya.

Menurut penyair Yonathan Rahardjo, gaya sufistik ini juga disosialisasikan oleh Abdul Hadi WM yang mengembangkan pengaruhnya pada tradisi penulisan puisi 1970-1980an. Ia bersama Kuntowijoyo dengan sastra profetik dan sastra transenden, Emha Ainun Nadjib dengan estetika kaffah, Danarto dengan cerpen-cerpen Islam kejawen, Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG dengan estetika Jawa, serta Wisran Hadi dengan estetika Minang, Taufiq Ismail dengan sajak-sajak sosial-religiusnya -- sama-sama mengembangkan estetika sastra yang kemudian dikenal sebagai sastra sufistik.

Pendapat Yonathan ini didukung oleh penyair Akhmad Sekhu, yang menyebutkan gerakan tersebut sebagai arus utama dari gerakan "kembali ke akar". Kembali ke sumber. Di antaranya: menjadikan nilai-nilai Islam dan sufisme sebagai sumber ide dalam bersastra. “Jadi puisi sufistik di Indonesia tidak lahir begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh sastra klasik Timur Tengah. Sebuah tempat yang disebut-sebut juga sebagai awal atau cikal-bakal peradaban dunia,“ kata Akhmad.

Begotulah mata rantai yang panjang dari tradisi sastra sufistik pun bisa ditarik dari Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, Al-Hallaj, yang di Indonesia mata rantai pun sudah mentradisi sejak Hamzah Fansyuri dengan Syair Perahu, lalu Amir Hamzah dengan sajak-sajak romantik-religiusnya. Barulah pada 1970-an, Abdul Hadi WM menghidupkannya kembali.

Estetika Timur

Sosok penting Abdul Hadi WM dianggap Yonathan tak hanya popularitas kepenyairannya, tapi juga dibekali paradigma sastra sufistik yang dikembangkannya. “Jelas sebetulnya dialah yang menyebarkan konsep ini, selain sebagai seniman dia juga ilmuwan sastra,” kata Yonathan.

Sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporer, melalui puitika sufistik yang dikembangkan AbdulHadi WM. “Abdul Hadi WM ikut menafasi kebudayaan kita dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami, yang ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual. Pemikiran sufistik dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat yang hedonis dan sekular,“ kata Yonathan lagi.

Dalam salah satu puisinya, Tuhan Kita Begitu Dekat, diakui Yonathan, Abdul Hadi rupanya dengan tandas menuliskan tentang kemanunggalan atau menyatunya dirinya dengan Tuhan, seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Dengan puisi itu Abdul Hadi ikut mengkristalkan konsep kemanunggalan makhluk dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistica atau wahdatul wujud.

Abdul Hadi menyediakan diri sebagai nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Hal ini tampak sebagai komitmen Abdul Hadi dalam bersastra, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).

Disisi lain, Akhmad Sekhu juga menambahkan bahwa puisi Abdul Hadi menyiratkan makna yang dalam di balik kesederhanaan kata-katanya. Sebuah karya yang populis, dikaryakan dengan totalitas melalui sumber-sumber agama dengan menyiratkan ayat-ayat agamanya serta bersentuhan dengan alam, karena alam merupakan ayat yang tercipta dari Tuhan. Yang tersirat dan yang tercipta disandingkan di dalam karya-karyanya yang bersifat pribadi, langsung menuju sang Penciptanya.

Mempengaruhi penyair 1980-an

Selanjutnya, gerakan sastra sufistik yang didukung oleh Abdul Hadi WM ini ternyata cukup "mempengaruhi" beberapa penyair 1980-an. Di antaranya sebutlah Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Soni Farid Maulana, dll.

“Mereka dianggap memilih puitika sufistik sebagai landasan kreatifnya, dengan intensitas penulisan puisi yang juga bertema sufistik itu. Tapi, jelas di sini bisa terjadi politik sastra. Kecuali dengan jujur dan mau mempelajari begitu banyak karya lain yang bermunculan, kita akan menemukan karya puisi sufistik sejati,” ungkap Yonathan.

Yonathan mengingatkan, “dalam berkarya, tidak usahlah terbebani tema maupun kaidah yang akan membelenggu. Pelajari semua, namun dalam mencipta biarlah muncul secara alami. Sufistik adalah hubungan dengan Tuhan, jujurlah dengan hubungan itu dan jujurlah dalam menulis. Tak peduli apa pun label yang bakal disandang, sebab yang penting semua karya sebetulnya adalah menuju karya sufistik, meski bukan sufistik gaya Abdul Hadi WM.”

Sementara, perkembangan tema sufistik di kalangan penyair sekarang menurut Akhmad Sekhu, masih tetap ada. Tentu dalam rangka untuk mengenal dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Di tengah gelombang kehidupan hedonis yang serba materialistis ini, wajar tetap ada penyair yang agamis. “Hal ini patut kita syukuri, karena ada yang masih berpegang teguh pada norma agama. Ini berkaitan dengan keyakinan. Fenomena ini sungguh dahsyat.” Theresia Purbandini

Puisi-puisi sufistik Abdul Hadi WM

Wawancara dengan Dini Wartawan Jurnal Nasional


1.Apa sebenarnya definisi puisi sufistik itu? melihat dari segi pesannya atau mengaitkan dengan latar belakangnya dengan makna Sufi?

Menjawab dengan kesadaran saya sendiri, bahwa munculnya definisi puisi sufistik bagi karya-karya penyair, hanyalah labelisasi yang diberikan oleh pengamat untuk memudahkan penggolongan puisi berdasar tema. Jelas bagi saya puisi sufistik adalah puisi yang bertema tentang sufi, tasawuf, kesucian, keTuhanan. Sementara bagi saya sebetulnya soal KeTuhanan tidaklah semata-mata berkaitan dengan hal yang 'seolah-olah' suci seperti langsung tentang Nafas Tuhan, jiwa yang dekat dengan tuhan, tentang pengembaraan hati, pencarian kesucian Tuhan, dosa dan tidak dll.

Bagi saya, Tuhan adalah sesuatu yang nyata dalam hidupsaya, bahkan dalam menjawab pertanyaan ini pun saya melakukannya untuk Tuhan. Puisi-puisi sosial dan lain-lain, bukankah itu juga untuk kemuliaan Tuhan? Bukankah puisi-puisi dengan Tuhan yang nyata dan terefleksikan secara praktis boleh dibilang juga puisi sufistik? Mengapa kok tidak disebut puisi sufistik? Tapi disebut sebagai puisi sosial, puisi perjuangan dan lain-lain?

Ternyata kita memang menghadapi begitu banyak orang yang berbeda-beda,dan untuk memberikan suatu pendapat kolektif, mau takmau kita moderat, dan mencoba menerima dan mengerti batasan-batasan umum, yang sialannya kita terbentur lagi oleh norma bersama yang seolah kebenaran umum, dengan pendapat ahli bahasa, pengamat dan lain-lain, apalagi paus sastra atau para peng-indoktrin dunia sastra, ada yang disebut dengan nama puisi sufistik.

Sebetulnya bagi saya itu penyempitan darimakna tasawuf, kesucian dan keTuhanan itu sendiri. Tuhan tidak sebatas itu, tidak sebatas dalam makna puisi sufi itu, dalam segala puisi, mestinya kita mengenal Tuhan; maka semua puisi adalah puisi sufistik. Sedangkan yang kita kenal dengan puisi sufistik sekarang hanyalah pemaknaan supersempit;yang mau takmau kita mencoba memahami keadaan yang berkembang dengan pendapat orang di jagad sastra yang sudah ada; agar kita mempunyai pendapat yang kuat mengakar dan membangun keyakinan kita sendiri.


2. Sebenarnya puisi Sufi di Indonesia itu lahir begitu saja atau ada pengaruh dari negara lain?

Di sini kita terikat pada batasan-batasan, setidaknya kita memaknai pengetahuan umum itu. Kalau makna puisi sufi mengacu pada tasawuf adalah puisi yang bertemakan tentang tasawuf, maka puisi sufi yang dikenal selalu dihubung-hubungkan dengan tasafuw muslim yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad. tasawuf atau sufisme sendiri sering dimaknakan bermacam-macam arti, asalnya dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa, ada yang bilang dari sha wa fa. Ada yang berkata berasal dari shafa yang berarti kesucian, ada pula yang brucap darikata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang terpilih.

Kalau melulu dari pemaknaan itu, ya mau tak mau lahirnya puisi sufistik yang terpengaruh mata rantai panjang tradisi sastra sufistik kalangan para penyair sufi Persia Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, Al-Hallaj; yang kemudian di Indonesia, mata rantai tradisi sastra sufinya dari Hamzah Fansyuri dengan Syair Perahu, lalu Amir Hamzah dengan sajak romantik-religius, lalu tahun 1970-an dengan sajaksufi Abdul Hadi WM.

Puisi sufistik bersifat esoterik, universal dan dapat melampaui batas-batas agama; maka kita mengenal penyair reformasi Hindu Rabindanath Tagore dan penyair Kristen Khalil Gibran. Guna mendalami puitika sufistik, seseorang tak harus menjalani tarikat sufi atau ikut mazhab sufi tertentu untuk melahirkan karya sufistik. Kesufian ditentukan cara berpikir tentang kehidupan di dunia dalam olah batin dan sistem nilai dalam penguasaan jiwa guna dituangkan dalam karya sastra.

Bukankah sebelum adanya agama-agama samawi di Indonesia kita sudah mengenal tentang Ketuhanan, tasawuf, Ketuhanan dalam berbagai wujud? Mengapa tidak ada pelabelan semacam yang sudah kita kenal? Ini PR kita bukan? Betapa sesungguhnya karya-karya Negarakeragama karya Empu Prapanca di Majapahit pada 1350-1389 yang mengenal Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa pun sebuah telaah pikir Ketuhanan yang dahsyat yang tidak pernah kita kelompokkan karya ini dalam sastra sufistik bukan?

Mengapa ada pelabelan puisi sufistik seperti sekarang? Itulah hasil kerjaan para kritikus dan pengamat sastra yang kita berhak untuk tidak semata-mata mengikuti pensejarahan yang kita ketahui banyak sekali penggelapan seperti yang terjadi terhadap hilangnya sastra kiri karya sastrawan Lekra dalam sejarah sastra Indonesia.


3. Kalau di dunia, tokoh puisi Sufi itu siapa ya? Apa karyanya yang menonjol?

Sekalilagi ini hanyalah pengetahuan umum, bahwasanya kita menjadi kenal mereka, sementara banyak yang hilang dari perbincangan dan peredaran karena banyak faktor
penyair sufi Persia Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, Al-Hallaj, Rabindanath Tagore yang sangat menonjol terutama pada karya-karya puisinya; dan penyair Kristen Khalil GibranE dengan karyanya Lagu Gelombang, Pasir dan Buih, Sang Pralambang, Sayap-Sayap Patah, Taman Sang Nabi.


4. Bagaimana menentukan puisi ini jenis sufi atau tidak?

sudah terjawab di nomor 1


5. Bagi mereka, mengapa Abdul Hadi WM disebut penyair sufi?

Sekali lagi ini pengetahuan para pengamat itu: Bersama para penyair yang menumbuhkan estetika Timur pada 1970 an seperti Kuntowijoyo dengan konsep sastra profetik dan sastra transenden, Emha Ainun Nadjib dengan konsep estetika kaffah, Danarto dengan cerpen-cerpen Islam kejawen, Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG dengan estetika Jawa, serta Wisran Hadi dengan estetika Minang, dan Taufiq Ismaildengan sajak-sajak sosial-religiusnya; Abdul Hadi WM dianggap mengembangkan dan memasyarakatkan puitika sufistik!

Dalam salah satu puisinya, Abdul Hadi rupanya dengan tandas menuliskan tentang kemanunggalan atau menyatunya dirinya dengan Tuhannya seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Dengan puisi itu Abdul Hadi ikut meluruskan dan mengkristalkan konsep kemanunggalan mahluk dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-Gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistika atau wahdatul wujud. Abdul Hadi menyediakan diri menjadi nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Hal ini tampak sebagai komitmen Abdul Hadi dalam bersastra, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).



6. Karya apa dari Abdul Hadi WM yang paling menonjol karakter sufinya?

Sosok penting Abdul Hadi WM bukan sekadar popularitas kepenyairannya, tapi juga paradigma paradigma sastra sufistik yang dikembangkannya. Jelas sebetulnya dialah yang menyebarkan konsep ini,selain sebagai seniman dia juga ilmuwan dan politikusi sastra. Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan AbdulHadi WM menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya. TampakAbdul Hadi WM ikut menafasi kebudayaan kita dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami, ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler.


7. Menurut mereka, mengapa pada 1980-an puisi-puisi sufistik begitu berkembang? Adakah peristiwa yang melatarbelakanginya?

Saat itu Abdul Hadi menjadi redaktur rubrik satra Dialog Harian Berita Buana. saat itu pulajaya Majalah Sastra Horison dan rubrik-rubrik sastra surat kabar Jakarta lain yang menjadi semacam kiblat perkembangan sastra Indonesia. Saat itu Abdul Hadi WM mengembangkan pengaruhnya pada tradisi penulisan puisi pada 1970-1980an. Agaknya menurut saya kecenderungan 1970-an dengan puisi sufistik adalah setelah tragedi pembantaian jutaan rakyat Indonesia yang tidak berdosa pasca 30 September 1965 dimulai pembantaian besar-besaran tahun 1967,lalu keharusan setiap orang harus mempunyai agama dan dilabeldi KTP-nya, mendorong orang cenderung bersifat religius, kalau tidak akan dicap komunis dan 'dibantai'. Masa 1970-1980 an stigma PKI pada jutaan rakyat Indonesia masih merajalela; sementara pada saat bersamaan keran budaya barat akibat PKI kalah dibuka seluas-luasnya sehingga semua budaya Amerika dan kawan-kawan yang liberal mencengkeram ibu pertiwi; inilah saat paling subur perlawanan rohani baiknaturalmaupun rekayasa di mana orang mulai bersifat religius itu, muncul puisi2 keagamaan, tasawuf, kesucian, agama, Ketuhanan itu;


8. Menurut mereka, apakah jenis puisi sufi bisa bersifat abadi? Maksudnya tetap kontekstual dari masa ke masa tidak?

Ya. Apapun karya sastra yang baik akan abadi.

9. Apa pengaruh gaya Abdul Hadi ke penyair muda sekarang ini ? Kalau ada, merujuk ke gaya penulisan, tema, atau pesan?

Banyak penyair dari generasi 1980-an yang juga menulis puisi senafas dengan sufistiknya AbdulHadi WM. Sebutlah nama yang sering didoktrinasikan oleh kelompoknya Horisin seperti Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Nor, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, dan Soni Farid Maulana. Mereka dianggap memilih puitika sufistik sebagai landasan kreatifnya, dengan intensitas penulisan puisi yang terus berthema sufistik itu. Namun jelas di sini juga ada politik sastra sendiri, kecuali dengan jujur dan mau mempelajari begitu banyak karya lain yang bermunculan kita akan menemukan sejatinya karya puisi sufistik tidak sebatas pada para penyair yang disebut. Katakanlah bagi saya, karya-karya penyair yang disebut para pengamat dalam barisan karya Sufistik seperti Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, Ari MP Tamba, almarhum Maroeli Simbolon, Sihar Ramses Simatupang, maupun Maulana Ahmad yang baru menelurkan bukunya Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan bersama Dedy Tri Riyadidan Inez Dikara.

10. kelebihan dan kekurangan dalam membuat puisi sufistik itu sendiri?

Kelebihannya, orang (baik pencipta puisi maupun pembacanya) mendapat makna bagaimana nilai-nilai berhubungan dengan Tuhan secara muka dengan muka

Kekurangannya, hubungan dengan Tuhan seolah-olah hanya masalah yang terasakan dalam penyembahan, kesucian, kedirian, padahaljelas bagi saya semua masalah apapun itu selalu terkait dengan Tuhan, tanpa kita membicarakannya dengan kata yang tersurat sekalipun


11. Termasuk Sufi yang bagaiman karya-karya Abdul Hadi yang tersirat melalui karyanya?

Bagi saya karya-karya Abdul Hadi merupakan karya sufi yang langsung mengupas hubungan antara Tuhan dengan manusia, alias sufi tembak langsung yang cenderung menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-bentuk spiritualitas agama.


12. Ksulitan dalam membuat tema yang artistik dan tematik ini apa sajakah kendalanya?

Secara estetika perlu pemahaman esetik yang luas dan latihan. Secara tematik perlu dan keluasan berpikir dan olah batin.


13. Apakah ada pakem tertentu dalam membuat karya bertema sufistik?

Bagi saya, jujurlah berkarya,tidak usah terbebani oleh tema maupun kaidah yang akan membelenggu. Pelajari semua, namun dalam mencipta biarlah muncul secara alami. Kalau pun ada para politikus sastra memetakan, biarlah semua hal toh akan muncul dengan kedirian sendirinya. Sufistik adalah hubungan dengan Tuhan, jujurlah dengan hubungan itu dan jujurlah dalam menulis, yang pasti puisi atau karya sastra kita itu akan berjiwa dan punya Roh; tak peduli apapun label yang bakal disandang, sebab yang penting semua karya sebetulnya adalah sufistik; meski bukan sufistik tembak langsung ala Abdul Hadi WM.


14. Bagaimana perkembangan tema sufi sendiri dikalangan penyair muda, bagaimana tanggapan mereka?

Sangat bagus sesuai dengan progresifitas kekinian masing-masing


15. Apakah karya sufistik bisa dibilang melebihi keindahan karya sastra lainnya?

Sama saja,sesuai dengan jawaban no 13.

Sepasang Sepatu Tersiram Kuah Rawon

oleh
Setyo Bardono

Sepasang Sepatu Tersiram Kuah Rawon



(Foto-foto bisa dilihat di: http://setiakata.multiply.com/photos/album/32/Sepasang_Sepatu_dan_Kuah_Rawon)



“Rawon sudah menunggu.” Sederet pesan menggetarkan handphone tua, memaksa langkah untuk segera bergegas. Rasa malas di hari Sabtu seketika sirna. Hari ini, bala kurawa Pasar Malam (Paguyuban Sastra Rabu Malam) akan berkumpul untuk membicarakan evaluasi acara Reboan #4 dan membahas pelaksanaan Reboan #5, tanggal 27 Agustus 2008 nanti. Pabrik_t yang berumah di Pamulang kebetulan bersedia menjadi tuan rumah. Rawon sudah menunggu.



Sepanjang perjalanan Depok – Pamulang pikiran saya sudah dipenuhi kuah rawon. Tuan rumah yang dijuluki Pakcik Ahmad sebagai “Sunan Godhong Pisang” ini pasti tak sembarangan memilih menu rawon. Ada apa di balik rawon?



Ketika menatap kembali pesan pendek itu, tiba-tiba mata nakal saya berbicara. Kata “RAWON” kalau dibaca terbalik menjadi “NOWAR” yang bila dipenggal menjadi “NO WAR”. Ah, ternyata ada pesan damai dibalik kuah rawon. Sebuah pilihan menu yang tepat di bulan kemerdekaan ini. Menu sing oRA aWON (bhs Jawa: Menu yang tidak Jelek). Semoga saya tidak saya salah membaca rawon.



Ternyata bala kurawa sudah sampai duluan di Pamulang. Yohannes Sugianto, Budhi Setyawan, Pakcik Ahmad, Nash, Ilenk Rembulan dan tentu saja pabrik_t sebagai tuan rumah. Suasana terlihat seperti Family Gathering, karena Om Yo dan Kang Budhi membawa serta keluarganya. Saya sendiri datang bersama istri muda.



Setelah sesi kuliner dengan menu utama rawon selesai ditandaskan, kami ngobrol-ngobrol santai di teras rumah. Suasana menjadi semakin sumringah ketika Pakcik Ahmad mengeluarkan buku puisi terbarunya: Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan (S3DH). Entahlah apakah ini bisa disebut sebagai soft launching atau tidak, yang jelas ada sesi tanda tangan buku dan foto bareng penyair.



Buku S3DH ini merupakan kumpulan sajak dari tiga penyair Maulana Ahmad – Inez Dikara – Dedy T. Riyadi. Di buku ini Pakcik Ahmad, sesuai saran Yonathan Rahardjo memang memakai nama asli pemberian orangtuanya yaitu Maulana Ahmad. Mungkin trio penyair ini bisa disebut sebagai MAulana - INez – RiyADI. Kalau group band mungkin akan dinamai MAINADI, main-main di wilayah nadi, tentu saja nadi puisi.



Seperti judul bukunya, sekilas membaca puisi-puisi dalam S3DH ini, kita seakan terbawa dalam ruang sunyi. Ya ruang sunyi, karena “Ruang Lengang” sudah menjadi antologi puisi Epri Tsaqib. Bahkan “Tiga Kali Kesunyian”, kata penyair TS Pinang yang didaulat sebagai penyunting.



Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan, sebuah judul yang menggigil. Di dalamnya tentu saja ada banyak puisi yang menggigit. Itu kesimpulan speed reading saya. Semoga kesimpulan itu tak jauh berbeda dari close reading nya Ilenk Rembulan nanti.



Ya, membaca judulnya saja saya sudah bisa merasakan suasana gigil. Pasti ada perjalanan panjang dan kisah tersendiri bagi ketiga penyair tersebut hingga bias mencapai judul tersebut. Tentu saja tak elok, kalau mereka (mentang-mentang bertiga) memberi judul “Sepasang Sepatu Bertiga Dalam Hujan”. Jadi kalau pas acara Reboan #5 nanti ada kuisnya, Kang Budhi sebagai MC tetap harus mengajukan pertanyaan, “Sebenarnya sepasang sepatu milik siapa yang dibiarkan sendiri dalam hujan?”



Tapi yang terpenting, saya sudah mendapat bukunya dan tanda tangan dari Pakcik Ahmad. Tinggal memburu tanda tangan dari Inez Dikara dan Dedy T. Riyadi. Segores pesan dari Pakcik Ahmad terbaca, “Setyo, nulis itu ibadah.” Sebuah pesan yang penuh makna. Pesan yang harus diterjemahkan secara utuh, sebab kalau terpenggal-penggal bisa menjadi “Nulis itu iba dah!”



Setelah sesi tanda tangan dan foto-foto. Obrolan dilanjutkan pada seputar acara Reboan. Ada berbagai hal yang harus dievaluasi agar ke depan acara Reboan menjadi semakin baik. Bagaimanapun juga tak ada sebuah perhelatan yang sempurna.



Bagi yang belum mengetahui apa itu Pasar Malam silakan klik aja http://reboan.blogspot.com. Bila Anda ingin tampil untuk baca puisi, launching buku, dan kegiatan sastra lainnya, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi Pasar Malam. Percayalah: Banyak jalan menuju sastra.



Kekupu Radja, 9 Agustus 2008

Setiyo Bardono

SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN

yang pasti ada 3 corak berbeda dalam buku 3 penyair ini. tidak adil membandingkan 1 penyair dengan penyair lainnya meski dalam buku sama sebab setiap penyair adalah pribadi yang unik sebagai manusia. makaaku masih berusaha keras untuk menghayati masing2 penyair yang ketika tidak kebetulan aku kenal. dan mereka temanku. ada peperangan subyektivitas di sini, maka aku masih mencoba mencari posisi yang pas buatku untuk menuliskan yang terbaik sebagai pemberian seorang teman kepada kawan, dalam arti seimbang. positif dan negatifnya secara seimbang.