Senja yang Sihir Sastra

oleh Yonathan Rahardjo

(Review Pementasan Sastra Senja ‘Lima Sihir Sastra’ Dewan Kesenian Jakarta, di Ruang Kreativitas Terbuka Taman Ismail Marzuki Jumat 8 September 2006, dibuat atas permintaan Dewan Kesenian Jakarta)


Adalah suatu acara yang ditunggu-tunggu oleh dunia seni dan sastra di Jakarta, untuk tahu perbedaannya dengan Sastra Senja yang digelar sampai hitungan jari sebelah tangan oleh Dewan Kesenian Jakarta periode terdahulu.

Adalah harapan kalangan sastra di Jakarta untuk mengetahui kelebihan Sastra Senja olahan baru dengan Sastra Senja periode sebelumnya.

Adalah publikasi gencar dilakukan oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menyedot kedatangan penikmat sastra. Email-email di berbagai maillist, undangan cetak dikirim ke berbagai sastrawan, komunitas dan seniman, bahkan SMS pun dua kali dalam seminggu, terakhir pagi hari H agar si penerima SMS tidak lupa, ada acara sihir-sihiran kata-kata sore Jumat 8 September 2006 itu.

Senja belum datang. Sore yang hendak pergi masih berlagak.

Wajah-wajah dari berbagai komunitas bermunculan. Tidak perlu disebut satu per satu, begitu banyak. Lagi pula untuk menghindarkan pementingan tokoh-tokoh yang hadir dan yang sudah dikenal atau merasa terkenal.

Hadirin yang berminat pada acara sore itu memang datang dari lintas seni. Mereka lepaskan atribut wakil dunia teater, foto, sastra, tari, film, musik dan lain-lain.

Para hadirin rata-rata datang dari jauh, setidaknya tempat tinggalnya tidak di sekitar Cikini, datang dari berbagai sudut kota dengan kendaraan umum ataupun pribadi, bahkan dari Bandung, Aceh, terutama penampilnya yang diistimewakan Komite Sastra DKJ Periode ini.

Mereka telah melewati jalan dua setapak tembus dari halaman Taman Ismail Marzuki Jakarta. Melewati lampion merah di sisi jalan setapak, dalam setiap jengkal memunculkan lampion lain.

Yang... sayang... lampu neon-lampu neon itu masih sibuk dipasang dan didandani oleh para petugasnya untuk bersolek di jalan setapak-jalan setapak itu... padahal pengunjung sudah hadir. Pemandangan apa yang tercipta kalau begitu..? Persiapan apa yang telah dilakukan panitia? Betulkah akan selalu begitu tradisi keramaian di negeri ini?

Hadirin telah hadir... Mereka datang bukan kerena diiming-imingi bajigur segerobak, pisang rebus dan jajan pasar segerobak meski panitia mengundang dengan iming-iming dan membuktikan suguhan tradisional ini.

Dengan arah tubuh dan perhatian memusat pada satu arah, dengan sudut pandang panggung dari berbagai tempat, hadirin itu bisa bercengkerama pada berbagai posisi. Lebih ramai meski tak sampai berjejal, pertanda baik bahwa publikasi Lima Sihir Sastra lebih baik daripada Sastra Senja yang dulu.

Sayang, yang mereka kitari sebagai pusat perhatian tidak seperti dalam bayangan semula ketika mereka lahap informasi kebangkitan Sastra Senja.

Artistik panggung tidak seperti yang mereka harapkan.

Hanya ada satu lemari kuno, kursi antik, panggung kecil, latar kain hitam penuh noda. Lampu sorot masih membisu. Sedang cahaya hari masih berkuasa, mampu memperlihatkan berbagai kelemahan artistik.

Ah, mereka, hadirin, ternyata bukan datang untuk menikmati panggung yang tidak sempurna.

Mereka datang untuk memetik manfaat demi manfaat yang dirasakan ketika bertemu dengan manusia-manusia sastra dan seni baik yang mereka kenal ataupun tidak.

Ada silaturahmi, ada lobang terbuka untuk mengintip, ada lahan untuk membaca peta..

Tak heran DKJ dan penerbit lain membuka dasaran jualan buku...

Ada dukungan terhadap teman-teman terutama yang penampil...

Ah, para pembaca yang didaulat tampil rata-rata dari satu kubu. Maka dapat diraba para penonton yang hadir pada acara itu dibanding yang hadir pada acara-acara Sastra Senja era DKJ sebelumnya, sungguh jauh berbeda. Mereka sering ditemui pada satu komunitas tertentu.

Meski, tentu saja, tidak semua ini benar, karena penampil dari Bandung pun yang rasanya jauh dari komunitas itu pun diundang, dan penonton pun kelihatan, sekali lagi, dari banyak komunitas.

Hanya, terasa, yang dominan dari komunitas tertentu. Apalagi tiga orang tim Komite Sastra DKJ lebih dikenal dari atau setidaknya dekat dengan komunitas itu. Tak heran, seorang yang dianggap terkemuka dari antara para hadirin adalah panglima komunitas itu, pun, hadir dalam lingkaran ‘sihir’.

Pengeras suara mampu mengangkat suara pembaca acara, Ayu Utami, lebih mudah menggetarkan gendang telinga penonton pendengar.

Bukan hanya kaos singlet ketat dominan merah muda dan celana jins ketat anggota Komite Sastra itu yang malu-malu menyembunyikan bagian tubuh yang menggetarkan...

Yang mampu menarik mata penonton, juga audio jernih yang masih satu paket dengan tata lampu dan panggung besutan Yanto Le Honzo.

“Senja yang suram dan seram,” kata Ayu Utami.

Terang menjelang petang.

Inilah.. “Lampion Sastra..,” satu kata alternatif yang dingkapkan Zen Hae, Ketua Komite Sastra DKJ yang menyuguhkan sederet kisah sejarah kemunculan Sastra Senja yang pertama dimulai DKJ periode baru melanjutkan tradisi periode terdahulu...

Katanya, Sastra senja ini sudah diubah formatnya dari konsep Sastra Senja DKJ periode lalu.

Sekarang hanya baca-baca karya. Hal ini sudah didengungkan oleh Zen Hae di berbagai kesempatan di berbagai komunitas untuk promosi reformasi acara sastra DKJ yang lebih membumi, lebih menjawab kebutuhan.. bukankah acara bahas karya, bukan cuma baca karya, sudah banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas yang menjamur di kota ini?

Ya, berbagai komunitas sudah melakukan acara sastra yang sangat tipikal, peluncuran karya, baca sedikit karya, bahas karya, diskusi dan debat.

Dan Komite Sastra DKJ periode ini mencari celah lain, yang belum dilakukan komunitas yang sudah ada. Satu hal yang terluputkan oleh Komite Sastra periode sebelumnya, dengan acara sama dengan di berbagai komunitas sehingga sering disebut penjiplak, padahal mestinya peran Dewan bukanlah menyaingi.. tapi.. tapi... tapi....

Betulkah? Betulkah komitmen itu? Benak tanya berkecamuk. Apalagi Zen Hae juga mengatakan pada acara Sastra Senja sesekali juga akan ada peluncuran buku baru....

“Kami datang untuk melihat dan membuktikan perbedaan itu..”

“Kami datang untuk mendukung angin segar itu...”

“Kami datang untuk melihat teknik itu”

“Kami datang untuk merasakan ekspresi itu”

“Kami datang untuk menyaksikan orisinalitas itu...”

Teknik, ekspresi, dan orisinalitas... tiga tombak yang jadi satu dalam trisula... memang acap dipakai untuk mengukur suatu nilai karya seni....

Dan agaknya... Komite Sastra DKJ kali ini ingin mengemban amanah seni ini...

Betulkah.. betulkah... betulkah...?

Ketua Komite Sastra pun berkisah tentang kurasi untuk penulis berbakat yang belum dapat tempat...

Tapi, benarkah sudah cukup prestasi mereka?

Berbagai alasan kuratorial diutarakan dengan menyebut prestasi-prestasi lima penyihir kata sore beranjak ke senja itu. Tentang mereka, masing-masing dalam buku acara dipaparkan prestasi-prestasi yang menorehkan karya-karya mereka pada berbagai media, koran-koran yang dianggap berjasa mempublikasikan karya yang kemudian didewakan untuk suatu pengakuan.. meski.. meski.. secara kependekaran sastra.. masing-masing sangat miskin buku!

Bayangkan.. ke lima pendekar wanita itu masing-masing hanya punya setidaknya hanya satu buku! Halnya Vio baru menapak pada buku ke dua yang hendak diluncurkan tapi toh belum terbit..

Betulkah karya koran saja yang menjadi tolok ukur untuk suatu bakat?

Memang buku Linda dapat pengakuan prestasi tertentu.. namun untuk mengukur bakat yang layak ditampilkan, mengapa harus dipanggungkan, mengapa, mengapa tidak lebih dulu di-dadar dalam media-media sastra yang lebih sah dunianya dalam wujud tulis-menulis (yang tak sekedar sesekali di koran dan jurnal)?

Laksmi Pamuntjak, Josepha Violetta Simatupang, Linda Christanty, Avi basuki, Intan Paramaditha, yang kesemuanya perempuan, betul-betul membuat wajah-wajah para hadirin yang tampak jelas mereka adalah petarung-petarung sastra, menjadi pucat pasi, suara mereka bergetar, senyum dipaksakan.. Mengapa,.. mengapa.. harus mereka...? Mengapa bukan aku?... Apakah penyihir kata itu hanya para perempuan?... Apa kekuatan mereka sudah melebihi kekuatanku?...

Tidak salah ini?

Tanya demi tanya mengekspresikan nilai-nilai manusiawi para hadirin lelaki (dan juga wanita) yang merasa sudah berdarah-darah. Lebih berdarah-darah dalam berproses dan berkarya.. dari pada .. daripada... mereka.

Lalu, mereka para penampil itu dianggap berbakat namun tidak dapat tempat?

Bolehlah mereka disebut berbakat, meski belum teruji kesetiaannya dalam jumlah buku yang ditelurkan (kalau mau mengembalikan penilaian suatu kekuatan karya sastra dari buku serius sastra yang dihasilkan)... tapi.. betulkah pebakat ‘pemula’ itu betul-betul tidak dapat tempat?

“Kebohongan apa yang diungkap tentang Linda Christanty yang bukunya sudah diterbitkan penerbit KataKita dan mendapat hadiah Khatulistiwa Award dikatakan sebagai tidak dapat tempat?” benak tanya hadirin berkecamuk seperti badai yang menghantam tiang dan pohon menjatuhkan setiap barang berdiri tegak itu, rata dengan tanah.

Mereka, hadirin, hanya mendengar kata ‘tidak mendapat tempat’ bagi para penulis mutakhir itu...

Bahkan Ketua Komite Sastra sendiri mengungkapkan sederet data sebagai bukti kontradiksi. Ia katakan panggung mempertemukan penulis mutakhir..

Laksmi Pamuntjak yang ternyata buku cerpennya The Diary of R.S.: Musings on Art sudah diterbitkan penerbit tertentu.

Linda Christanty buku ceritanya Kuda Terbang Mario Pinto diterbitkan oleh Penerbit KataKita (2004).

Josepha Violetta Simatupang buku puisinya diterbitkan oleh penerbit di Bandung.

Avi Basuki buku cerpennya Tango diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2006).

Dan..

Intan Paramaditha bukunya Sihir Perempuan diterbitkan oleh Penerbit KataKita (2005).

“Apa itu bukan bukti mereka sudah punya tempat (untuk penilaian pebakat ‘pemula’ yang belum-belum sudah dianggap mutakhir)?”

Satu kebijaksanaan muncul di benak hadirin, “Coba jelaskan dulu maksud-maksud tempat bagi mereka, supaya kami dapat mengerti dan memahami tanpa rasa curiga...”

Dan rupanya dalam buku acara yang disediakan Zen Hae sudah menuliskan bahwa lewat panggung ini memberi tempat untuk para pesastra yang bermutu tetapi masih kurang mendapat kesempatan membacakan karya-karyanya di depan publik.

O... masalahnya hanya itu?!!.. sosialisasi karya yang dianggap ‘bermutu’ lewat pembacaan di depan publik...

Begitukah?

Begitukah cara memajukan dunia sastra? Agar karya dan penulisnya dikenal masyarakat??..

Ketika matahari masih menghibahkan cahayanya pada bumi sehingga pohon-pohon di sekitar arena masih kelihatan warna-warni batang, ranting dan dedaun yang berbeda-beda.

Ketika cahaya sore masih membuat panggung terlihat jelas bahannya dari kayu.

Ketika cahaya hari masih mampu menyuguhkan noda-noda layar hitam bekas, yang mestinya tak tertonjolkan untuk sebuah pemanggungan dengan pencahayaan yang begitu kaya.

Ketika Laksmi Pamuntjak memaksakan diri untuk maju dan berdiri dengan canggung di panggung.

Ketika perempuan muda bercat rambut kecoklatan dengan gelang karet mengikat rambutnya berkuncir kuda ini berseragam kaos ketat coklat dan celana jins yang juga ketat, kesemuanya memperlihatkan siluet lekuk tubuh bertonjolan elok pada tempat-tempatnya.

Ketika perempuan berbibir merah ini menceritakan ia harus mengatur waktu secara ketat setelah acara langsung mau terbang ke Kuala Lumpur.

Ketika perempuan berbahasa tubuh canggung ini memaksakan bercerita panjang lebar tentang cerpen yang ia buat dan akan dibacakan.

Ketika ia bercerita tentang lukisan selalu yang kita lihat dan ingat bukan sekedar lambang.

Bahwa dalam lukisan ada yang seperti puisi.

Bahwa pelukis Perancis abad 20, baginya menarik dan intim.

Bahwa ada warna-warni tidak stabil dalam lukisan.

Bahwa ada keintiman sang pelukis dan obyek.

Gadis penghamba sastra wangi ini tak menyadari.....

Terlalu lama ia makan waktu untuk sebuah pengantar.

Terlalu cerewet ia menguraikan latar kisah penciptaan sekaligus pengisahan ceritanya.

Uraiannya merusak imajinasi pembacaan.

Tiba saat pembacaan Cerpen Si Pelacur dan Si Kate, pembacaannya pun seperti baca koran. Datar. Tidak menggigit. Tak bisa menggugah apalagi menyedot emosi penonton.

Apa yang ditampilkan untuk tujuan menarik perhatian dan minat bersastra melalui sebuah pemanggungan pembacaan boleh dikata hanya ditunjang oleh penampilan fisik si perempuan pembaca yang berhiaskan sensualitas.

Sedangkan segi pembacaan, ....? Ah.. menggelisahkan.. untuk suatu pementasan karya seni!

Tak berlebihan bila menghadapi pemanggungan macam ini, penonton tak terlalu berselera, apalagi terusik perasaannya kecuali perasaan menikmati pertunjukan fisik.

Padahal pada sastra sudah tentu bukan ini yang dicari. Kalau acara pembacaan karya: serahkan pada pembaca profesional.

Bahwa thema yang digarap Laksmi Pamuntjak adalah thema perkelaminan, bisa dimaklumi, kuratorialnya tampaknya lebih berpihak pada thema-thema ini, bahkan ada rencana akhir tahun anjing ini akan mengudarakan lagi thema sastra erotis.

Thema usang yang menghadapkan sastra lendir dengan sastra-sastra lain yang relatif tak teridentifikasi dengan jelas benderanya kecuali yang frontal berhadapan yaitu sastra religius.

Apapun, memang isi karyanya cukup menggelitik, dan bisa dinikmati dengan pelototan mata pada huruf dan kata dalam buku. Namun bukan dengan mengikuti pembacaannya.

Tepuk tangan dipaksakan. Meski Laksmi Pamuntjak penulisnya (yang baik pada ukuran tertentu), ia bukan pembaca yang baik. Tak berjiwa.

Sungguh makan waktu, pengantar sekaligus pembacaan yang datar, berujung kecerahan baru ketika pembacaan ini berakhir, dan Ayu Utami selaku presenter pun mengundang pengisi acara berikutnya.

Sayang lagi... ada perubahan mendadak pertanda buruk kurangnya koordinasi antara pengisi acara, jembatan pengisian acara dan pembawa acara itu sendiri.

Violeta Simatupang belum datang. Linda Christanty yang sudah datang ditembak untuk menggantikan Violetta. Sah-sah saja. Apalagi kalau yang diusung suatu kelenturan pengisian acara. Apalagi kalau banyak permaafan yang akan diberikan untuk suatu presentasi acara yang bisa asal nyebut para pengisi acara.

Ralat... biasakah ralat dalam suatu acara? Kalau dianggap tidak menjadi masalah, ya boleh.. Asal tahu... bagaimana pun, acara yang terbaik adalah yang tertata secara sistematis dan rapi.. tak perlu ada ralat karena suatu pembatalan atau pembetulan.

Persis seperti Laksmi Pamuntjak yang memberi pengantar pembacaan cerpennya, Linda pun menceritakan tentang cerpennya. Bedanya, Linda tidak senyinyir Laksmi... sebuah upaya untuk menghormati pembacaan karya, bukan bercerita tentang karya.. yang untuk itu sudah ada agendanya sendiri di akhir acara, agenda bincang-bincang.

Datang jauh dari Aceh, di mana ia ber-LSM.. Linda tampak punya niat khusus memberikan yang terbaik ia punya untuk membaca karyanya sendiri.

Di sisi perempuan muda berambut hitam panjang yang sore-senja ber-blouse oranye dan bercelana jins ini, hal ini merupakan suatu penghargaan buatnya, sebab ia diundang khusus untuk itu...

Ia berdiri di panggung di depan pengeras suara, coba membacakan Cerpen Pohon Kersen dengan penjiwaan.

Dan penonton memang... memperhatikan.

Menjelang Maghrib lampu neon menyala. Perhatian penonton pecah.

Linda tetap berupaya dengan segenap kemampuan.. Intonasi, artikulasi, irama, tempo, ia usahakan memainkan..

Namun bagaimanapun, cara pembacaan bahkan oleh Linda ini tidak ada yang baru. Ciri yang tidak orisinal untuk sebuah pementasan muncul, setiap lembar kertas cerita yang sudah dibaca, ia jatuhkan lantai panggung.

Apapun, upaya Linda lumayan menarik perhatian dibanding Laksmi..

Meski sesungguhnya hanya yang mau berkonsentrasi yang bisa menangkap cerita. Untuk orang awam, belum tentu sanggup memaknai pembacaan itu. Untung rata-rata hadirin berprofesi sama sebagai orang sastra atau kesenian, sehingga dapat mempertahankan perhatian.

Sementara lampu neon utama masih menyala, lampu sorot panggung kurang berfungsi.

Godaan Maghrib terlewati.

Sambutan terhadap pembacaan Linda lebih tulus dan semarak. Komentar Ayu, “Mami (Linda) ternyata juga aktor.” Boleh juga...

Usai jeda Maghrib peserta pada pulang, tinggal enam puluh persen. Intan Paramaditha tidak hadir, diganti oleh Meyke Vierna dari Teater Tetas. Jawaban kegagalan pembacaan Laksmi Pamuntjak dan sastrawan pada umumnya. Serahkan pembaca profesional.

Neon mati. Gelap. Lampion merah nyala. Seram.

Setting panggung ketika malam gelap lebih berdaya sihir.

Pembacaan Cerpen Pemintal Kegelapan-nya Intan oleh teatrawan lebih menyihir.

Burung hitam terbang di ruang. Serangga di depan lampu sorot. Percik api korek dan rokok memijar malam gelap.

Suara diesel mengganggu kesunyian pembacaan perempuan rambut kuncir satu yang sore itu berpakaian sederhana, celana hitam selutut dan blouse putih bergaris-garis..

Gaya pembacaan Meyke, mimik, artikulasi dan intonasi suara menyedot pelototan mata penonton. Tepuk tangan sambutan terhadap Meyke lebih keras meski hadirin lebih sedikit. Sekali lagi, profesional pembaca panggung karya sastra lebih berhasil menghidupkan tulisan dalam imajinasi, dibanding pengarangnya sekalipun.

Violetta Simatupang yang mestinya mengisi acara jadual kedua itu, sudah datang.

Dibilang Ayu Utami selaku pembawa acara, Violetta tidak begitu dikenal dan lebih dikenal di dunia perhotelan..

Dikaitkan dengan Iwan Simatupang. Nama yang dianggap besar oleh pengamat sastra Indonesia, Violetta sang anak menolak, meski sebetulnya tak bisa sama sekali menolak, itulah takdir bahwa Iwan Simatupang adalah ayahnya.

Pembacaan puisi-puisi Vio yang diambil dari dua buku puisinya, dilakukan oleh dirinya sendiri.

Puisinya bersifat naratif, dengan kisah percakapan. Dengan satu unsur pemanggungan beda dengan kesederhanaan pakaian ketiga penampil terdahulu.. Pakaian perempuan Vio lebih modis, dengan geleng hitam melingkar di leher, mengingatkan pada satu hewan malam berkaki empat dan dikenal berekor...

Ah.. pantas judul buku puisinya Anak-anak Vampir... Meski, pakaian Vio dominan putih berbunga pastel..

Pembacaan Puisi :Kesaksian ekspresif dengan ucapan-ucapan berbeda tiap tokoh. Seperti pembacaan sandiwara radio.

Namun ritmenya sungguhlah terlalu cepat. Beberapa kejutan bom, sirine, tidak mampu menyihir penonton. Kalau Vio lebih memainkan di sini, lain jadinya. Meski puisi diakhiri dengan ‘bau arang’ yang lumayan membekaskan perhatian...

Pembacaan puisi kedua Sang Peramal disusul puisi ke tiga Gadis Tembikar tidak diikuti pergantian warna sorot panggung. Sayang.. sayang..

Namun Vio coba menarik perhatian dengan ganti posisi pembacaan. Ia duduk di kursi di panggung.

Puisi ke empat Namaku Norma, tetap dengan gaya suara beda tokoh-tokoh. Ada kejutan di akhir “puisi’nya.

Sambutan tepuk tangan penonton tampak ada sedikit sihir.

Ketika membaca gaya Koh-koh Cina, memancing tawa.

“Tidak ada yang bisa menyangkal Vio anak biologi dan non biologi Iwan Simatupang,” kata Ayu Utami. Ya, Vio termasuk pembaca yang baik, dan untuk pembacaan karya yang dilakukan oleh penulisnya sendiri... mestinya ada kurasi! Kalaupun Komite Sastra mengatakan sudah ada kurasi... perlu dievaluasi kekuatan kurasi itu sendiri!

Giliran Avi Basuki, pembacaan kembali oleh Meyke Vierna.. si pembaca profesional dari Teater Tetas.

Sayang kostum si pembaca ini masih sama dengan kostum waktu pembacaan karya Intan Paramaditha. Untuk sebuah pemanggungan yang membutuhkan penampilan, bukan sekedar materi dan cara baca, Meyke lupa...

Untuk sebuah kurasi pemanggungan meski hanya pembacaan karya sastra, panitia lupa atau perlu dipertegas...

Di manakah peran sutradara di sini? Hanyakah kurasi pada karya bukan hanya pada arahan laku di panggung?

Apa yang menjadi beda dan nilai lebih acara pembacaan karya sastra ini kalau, kalau, kalau.... masih begitu-begitu saja?

Ya, kostum pembaca karya perlu berubah, sedang Meyke kostumnya sama begitu.. Cuma kelebihannya cara pembacaannya lumayan juga dibanding pembaca datar.

Namun, sesungguhnya, pembacaan Meyke kali kedua sore ini kurang daya sengat seperti saat ia membaca cerpen Intan Paramaditha. Namun tetap lebih menyihir dibanding pembacaan Linda apalagi Laksmi Pamuntjak.

Malam telah jatuh...

Bagaimanapun... Sastra Senja memang menyihir dan mencekam.

Di sela-sela penonton, hantu jubah hitam berjalan-jalan seperti setan tak bertuan. Mengejutkan penonton. Terasakan sihirnya. Tak perlu masuk ke tengah acara, ia cuma berjalan-jalan di pinggir arena pembacaan.

Sementara penonton masih ada yang jongkok, bersila, duduk di tembok pendek, berdiri.

Namun, jangan harap ada suasana pasar malam di sini. Begitu kegelapan sudah menyelimuti lahan di sekitar arena baca, DKJ dan penerbit lain yang membuka dasaran jualan buku sudah gulung tikar...

Kalaulah ada pencahayaan yang mereka siapkan untuk dikerubungi para hadirin yang gila buku bacaan sastra...

Lampu-lampu neon merah tentu tak akan kedinginan sendiri...

Kalaupun ada pencahayaan, apakah hadirin itu juga akan mengerubungi mereka yang membuka dasaran di tanah kering mengarah ke panggung itu?

Bukankah hadirin itu sudah begitu banyak berkurang jumlahnya ketika acara menuju akhir..

Di manakah orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya penting itu berada ketika acara belum lagi tamat?

Mengapa tidak banyak yang mau bertahan sampai penghabisan?

Padahal malam baru seper enam jalan... dan kegelapan masih panjang dengan keindahan lampion merah menyala di kegalapan yang belum jauh dari purnama yang minggu itu bercengkerama dalam gerhana?

Apakah karena lokasi acara yang begitu menyudut di tempat sunyi, jauh dari keramaian jalan dan lalu lalang pengunjung Taman Ismail Marzuki yang setiap hari menjajah lahan-lahan parkir dengan mobil-mobil yang menyulap lahan kesenian menjadi lahan parkir?

Apakah karena tempat berhajat begitu menyelip seperti slilit di pojok belakang gedung besar, masuk ke dalamnya perlu menyusuri jalan berliku dikepung semak bernyamuk dan hitam?

Mengapa untuk menghadirkan senja dalam sastra dan sastra dalam senja perlu tempat tersembunyi?

Mencari ketenangankah?

Mencari persemediankah?

Mencari wangsitkah?

Mencari kesunyian agak setiap kata yang diucap dari pembacaan bisa tertangkap secara jelas makna tersurat dan tersirat-nya-kah?

Kalau untuk para empu yang suka bersemedi menjauhkan diri dari keramaian untuk mendekati Sang Maha Pencipta.. baiklah... bolehlah tempat seperti itu jadi pilihan utama..

Kalau untuk suatu ajang antar seniman yang suka berkonsentrasi menghayati dan memaknai setiap aksara terlontar dalam media-medianya... bolehlah tempat seperti itu yang dirindu...

Kalau untuk memadukan sihir sastra dan suasana senjakala... bolehlah tempat seperti ruang kreativitas terbuka dicoba...

Tapi.. kalau untuk suatu maksud menarik sebanyak-banyaknya masyarakat agar lebih gandrung kepada dunia sastra.. mesti dicari tempat pengganti.

Tapi kalau untuk suatu maksud membalik takdir dunia sastra yang sering berjalan sendiri dalam sepi dengan penikmat dan pelaku hanya dari kalangan yang sangat sempit.. diubah dalam keramaian yang mampu menyedot perhatian umat...

Barangkali sudah saatnya dunia satra lebih bergandeng mesra dengan kalangan tata kota agar dapat menemukan dan mencipta tempat yang tepat untuk acara-acara pemanggungan karya sastra.

Ada berbagai taman di berbagai petak ibukota yang asri dirindangi pepohonan tua berpermadanikan rumput-rumput hijau dengan merpati-merpati beterbangan kalau belum dibasmi karena flu burung.. dengan pengunjung yang tak jemu menikmati sore dan malam..

Meski untuk menembus keramaian masuk petak-petak ini para seniman dan penikmat seni akan lebih membutuhkan energi, belum lagi ada perjudian dalam menarik perhatian masyarakat pengunjung yang tak bisa tidak masih punya materai malas sastra sebagaimana umumnya masyarakat negeri beras ragu impor ini..

Ada taman-taman baru yang hendak dibangun Gubernur setelah mengusir penjaga sejarah sepak bola nasional dan konon akan menyulapnya jadi taman-taman kota.

Meski untuk menunggu waktu pelaksanaan kata-kata penguasa wilayah ini butuh bermusim durian..

Ada pojok-pojok di pusat perbelanjaan yang dapat difungsikan untuk menyedot perhatian manusia yang sok sibuk berjalan-jalan cuma sekedar melihat dan menyentuh barang belanjaan..

Meski untuk membelah keramaian dan mensterilkan diri dari hiruk pikuk para penghamba keramaian ini butuh energi super untuk mampu mencipta konsentrasi dalam gegap gempita dan ruwet hari..

Ada taman-taman di Taman Ismail Marzuki yang Pusat Kesenian Jakarta dengan lahan yang luas bila mobil-mobil diusir tak menjejak tanah itu... dan difungsikan sebagai lahan kreativitas yang tak bakal kekurangan pengunjung, yang begitu suka kencan menikmati makanan di warung-warung tenda yang tendanya sudah menyatu dalam tenda penganten besar, menghilangkan nilai artistik warung tenda di sebuah pusat kesenian.

Agaknya, yang terakhir ini alternatif terdekat dan paling masuk akal, sebab cap pusat kesenian bagaimanapun sudah melekat dan mengimajinasikan bahwa ada kegiatan-kegiatan kesenian di sini dan untuk menikmati kesenian ini tak perlu harus melesat masuk ke sudut terbelakang, namun cukuplah di garis perbatasan, yang tetap di pusat kesenian namun dekat dengan tempat-tempat masyarakat santai menikmati senja, dalam menghilangkan penat kerja, mencari dan mendapat sumber relaksasi, sambil menikmati hidangan pengisi kampung fisik, sekaligus menghirup roh penyemangat hidup penuh spirit... dalam sastra.. yang dibacakan.

Apakah tata kota untuk publik yang semacam ini bisa dicipta dan dilipatgandakan? Sehingga penikmat karya sastra yang dibacakan bukan hanya dari kalangan kesenian dengan seniman-senimannya semata?

Ya, sebetulnya terkait tata kota, Sastra Senja bisa di mana-mana.

Kalau untuk pengisi acara, tak perlu diragukan, mereka akan datang karena merekalah yang dihormati dengan kebijaksanaan memilih mereka dari antara pesaing-pesaingnya... Bukankah Violetta dari setengah lebar pulau Jawa? Bukankah Linda datang dari ujung pula melewati sepanjang pulau Sumatera yang maha besar dan panjang dibanding pulau Jawa? Bukankah Laksmi datang dan pergi melintasi laut, selat, pulau, bahkan perbatasan negara?

Itu sudah cukup bukti.

Setidaknya untuk acara pertama Sastra Senja yang sudah disegelkan sebagai salah satu tradisi Dewan Kesenian Jakarta, acara kali ini sudah membuktikan nilainya, begitu penting acara ini.

Acara berjalan dari matahari masih benderang menghibahi bayang-bayang pada pohon, daun, ranting dan bangunan peneduh para hadirin, hingga suara puji-pujian Sholat Isha berkumandang bahkan sayup pergi.. menjerat malam dalam jaring lampion merah yang mencipta aksen malam...

Meski hadirin dikhianati dengan tidak dilangsungkannya Acara Bincang-Bincang dan diganti dengan acara permaafan dengan bincang-bincang tidak resmi... hanya karena yang tersisa dari pengisi acara hanyalah Violetta Simatupang, sedangkan Linda Christanty entah sudah terbang bersama kuda terbangnya ke mana.. dan Laksmi Pamuntjak sudah jelas terbang ke Kuala Lumpur.. dengan sebagian hadirin cukup setia sampai acara usai...

Bukankah ini suatu bukti masih ada suatu harapan terhadap lebih baiknya acara dirancang untuk waktu-waktu selanjutnya?

Dirancang siapa-siapa siapa sastrawan terpilih sesuai dengan kriteria yang memagari orang-orang ‘suci’..

Atau lebih baiknya dirancang pementasan karya-karya terbaik.. bukan berdasar siapa orangnya tapi karya yang layak dipanggungkan.. sehingga masyarakat tidak dikecewakan dengan ‘pembacaan koran’ untuk suatu pementasan baca karya sastra. Bukankah karya terbaik itu tidak memandang siapa penciptanya tapi karya-lah yang berbicara?...

Dirancang siapa-siapa yang layak membacakan karya-karya orang pilihan itu agar pembacaannya memenuhi kaidah-kaidah pementasan panggung...

Dirancang tata panggungnya yang membuat nyaman perasaan dan perhatian hadirin yang datang dari berbagai tempat secara susah payah menembus debu dan asap timbal ibukota..

Dirancang alur acara yang tidak mencla-mencle dan terkesan sekenanya asal acara berlangsung dengan menampilkan para orang dan karya terpilih...

Dirancang siapa pembawa acaranya sehingga meski ia bukan orang penting dalam komite sastra ia tetaplah layak untuk menjadi presenter dengan kaidah-kaidah artistik, dan teknis seorang pembawa acara?

Dirancang persiapan-persiapan acaranya sehingga tidak perlu ada orang sibuk memasang lampion, memasang ini itu justru ketika jam J waktu pementasan acara sudah harus berlangsung?...

Ataukah perlu digagas suatu bentuk lain untuk suatu sikap Dewan Kesenian Jakarta dalam menjalankan tugas, amanah dan tanggung jawabnya dalam mendinamisasi perkembangan sastra dengan para pelaku, media dan komunitas-komunitas penggerak utama dunia sastra.

Bagaimana bentuk dukungan untuk mendinamisasi dunia sastra dan perkembangannya itu?

Cukupkah hanya dengan menyuguhkan orang-orang pilihan yang ternyata kapasitas kreativitas dan pengarungan dunia sastra belum tentu menghasilkan karya-karya puncak, bahkan kesetiaannya dalam berproses belumlah atau setidaknya mengundang pro-kontra kelayakan untuk mendapatkan bintang penghargaan itu?

Cukup puaskah dengan penerbitan buku acara berisi karya-karya bintang yang dibacakan pada acara pementasan yang konon menghabiskan biaya begitu besar?

Bukankah biaya besar itu cukup untuk sebuah penerbitan suatu buku karya sastra? Bukankah kalau mau memberi tempat pada mereka yang berprestasi dengan karya mutakhir sementara secara finansial belum ada dana, biaya alokasi buku acara seperti itu bisa menjadi penyaluran Dewan untuk lebih bermanfaat bagi penerbitan karya baru?

Pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di antara hadirin, antar teman, antar komunitas, antar pengisi acara, antar pengisi acara dengan hadirin, antar panitia dengan pengisi acara, antar pengisi acara dengan hadirin, antar pengurus komite sastra dengan pembawa acara, dengan hadirin, dengan pengisi acara...

Pertanyaan demi pertanyaan menggelayut dalam pikiran-pikiran sunyi...

Pertanyaan demi pertanyaan bertarung dengan pendapat, protes, hujat, pujian, sanjungan, pujaan, dan kidung-kidung malam..

Zen Hae dan kawan-kawan tentu berpikir keras untuk menggandakan manfaat. Dia telah kunjungi kantung-kantung sastra, minta masukan sana-sini dan coba memformulasi...

Ketua DKJ Marco Kusuma Wijaya telah minta tim reviewer, berdialog dan mencoba-rumuskan metode yang terbaik untuk mengkaji, evaluasi dan rumuskan langkah berikutnya...

Pembacaan sastra DKJ sudah berhasil menyedot masyarakat? Setidaknya nama yang membubuhkan tanda tangan pada buku hadir sejumlah 103 orang... tentu masih banyak yang belum menorehkan jati diri... Indikasi keberhasilan? Prematur bila tolok ukurnya hanya jumlah hadirin yang mayoritas para seniman atau penikmat seni... Apalagi dengan ambisi besar mengembalikan daya sihir sastra pada masyarakat luas..

Sekali lagi... Bagaimana dengan dukungan terhadap komunitas yang telah melakukan hal yang sama?

Gelap terus merambat..

Lampion masih bersinar,

Merah masih menyala...

Malam kelam, merah berpijar..

Semilir udara malam..

Ini bukan lagi senja.. Senja telah menjadi malam..

Senja hanya sekejap.. ketika matahari pergi ke peraduannya, di telan malam..

Kala hantu berjubah hitam berkeliling, tersenyum, mengerling mata.. menyapa yang ia kenal...

Senja sudah pergi...

Sapa kata ucap perempuan-perempuan yang ingin jadi penyihir dengan kata-kata... masih tersimpan di dedauan yang tunduk..

Dalam batang yang tegak..

Dalam ranting yang merunduk..

Dinding ruang kreativitas terbuka memotret gerak mereka yang tak terlalu berlagak.. hanya berkata-kata dalam membaca karena merasa yang mereka tunjukkan bukanlah gaya teater, meski ada yang mencoba berteater dalam naik-turunnya kata-kata...

Namun yang berhasil merasuk kalbu penonton adalah mereka yang membacakannya tidak sekedar membaca, mereka yang memakai ilmu-ilmu seni yang lain.. mereka yang tahu bahwa yang mereka tampilkan bukan naskah mereka yang dibacakan..

Tapi... pembacaan naskah mereka..

Pengucapan setiap kata dan kalimat mereka

Penyampaian tulisan yang ada di kertas-kertas mereka..

Dalam suatu wujud media yang lain..

Media penyampaian lisan.. yang disaksikan.

Bukan sekedar pembacaan di radio yang hanya terdengar

Bukan hanya pemanggungan bisu..

Apalagi hanya pembacaan bisu dalam hati..

Butuh suatu kolaborasi dengan seni pentas untuk mendapatkan dan mengeluarkan energi terbaik..

Agar betul-betul menyihir dengan kata-kata yang dibacakan dalam suatu pentas...

Bukan hanya bajigur dan pisang rebus yang menyihir..

Bukan hanya lampion merah yang menyihir..

Bukan hanya senja yang menyihir..

Agar Sastra dan Senja yang akan menyihir kita.

Agar jangan sampai terulang lagi suatu kesemata-mataan yang terasa kali ini...

Senja yang menyihir Sastra.

Bukannya Sastra yang menyihir Senja.

Terlalu agung masa ilahi yang begitu mempesona dalam pergantian waktu dan masa..

Terlalu menyihir masa ilahi yang memindahkan bumi dari kala siang menuju kala gulita...

Terlalu menyihir datangnya malam gelap yang mencekam dan mencemaskan...

menyapa rasa

menggetarkan rasa

mendebarkan jiwa

ada misteri dalam sihir masa ilahi..

Terlalu menyihir masa ilahi..

Dibanding sihir sastra yang dibacakan dengan persiapan dan segalanya yang pas-pasan..

Meski.. ada penghiburan bilamana senja dan kegelapan usai.. diganti terang untuk berbenah dan menyambut senja lagi......

Asal bukan berarti ‘senja kala’ bagi dunia sastra yang semua sudah tahu maknanya..

Ketika kaum sastrawan masih saja berkutat pada dunia lama yang tidak ada perubahan, pembaharuan dalam kaidah-kaidah bersastra dan berkesenian..

Ketika para pesastra sudah merasa puas terhadap karya-karyanya sehingga hanya mengulang-ulang pencapaian kaum terdahulu, mengekor puncak-puncak dan makin memperkukuh diri dalam kesempitan pola pikir dan eksplorasi ide, bahasan, bahasa dan cara penyampaian..

Ketika penulis sastra berhenti lagi berkarya karena merasa tak ada lagi yang akan dieksplorasi..

Ketika sastrawan dan sastrawati mudah nyinyir mengungkapkan dan bercerita seluk beluk di sekeliling proses kreatifnya namun lupa untuk mengevaluasi dan mencoba tahu diri di mana ia berada, berhadapan dengan siapa dan tak tahu apa yang mestinya disampaikan pada dunia-dunia tertentu..

Ketika kaum seni dengan mudah mengkotak-kotakkan diri dalam kelompok-kelompok yang merasa lebih unggul dibanding kelompok lain sehingga terjadi chauvinisme di dunia yang dia merasa sudah seluas samudera tapi sesungguhnya ia hanya berenang dalam baskom di bawah meja...

Ketika birokrat-birokrat sastra dan kesenian dengan mudah menembakkan kembali peluru-peluru yang diarahkan padanya dan dimentalkan ke arah penembak.. baik peluru nyasar ataupun peluru terfokus... tanpa pernah mencoba menangkap peluru itu dengan tangan dan dada perkasa untuk membuka dan tahu isinya dengan keyakinan peluru itu tak semata-mata akan meledakkan tangan dan mengambrolkan jantung perikehidupannya...

Ketika pemegang birokrasi sastra sudah merasa menjadi dewa yang bisa melakukan apa saja sampai hal-hal yang semestinya bisa didelegasikan pada masyarakatnya...

Ketika para penggede lembaga penandatangan kegiatan sastra mudah menerima surat kesempatan berkembang, menganggapnya itu adalah bagiannya, bukan bagian khalayak yang diwakilinya...

Ketika sastrawan dan birokrat sastra lupa untuk bertemu dan sering bagi kesaktian untuk mencapai puncak-puncak tertinggi kesaktian yang bukan diletakkan di atas gunung batu tapi dibagikan di kalangan yang lebih luas dan lebih luas...

Ketika kesenian lupa untuk berbaur, menyerap energi, membagi energi dan mengembangkan peradaban dan kebudayaan yang mewakili kepentingan hak-hak azasi manusia yang adil, bebas, setara, tanpa paksaan untuk suatu perikehidupan yang lebih berbudaya dan berperadaban...

Ketika...

Ketika....

Ketika itulah... yang terjadi Sastra tak bakal mampu menyihir Senja...

Yang bakal terjadi malah sebaliknya...

Senja yang Sihir Sastra

Hingga terjadilah yang semua tak bakal menginginkannya..

Senjakala Dunia Sastra.....

Maka..

Berteriaklah pada Matahari.... untuk membiarkan senja itu datang hanya sekali-sekali pada putaran dan waktunya yang pasti... untuk suatu ...

Fajar yang lebih benderang.



Ragunan, 15 September 2006

Tidak ada komentar: