NURDIANA: "JELITA SENANDUNG HIDUP"

oleh: Dian Su

Peluncuran Kumpulan Puisi Nurdiana JELITA SENANDUNG HIDUP berlangsung di Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, Jakarta, dengan moderatornya Yonathan Rahardjo dan pembahas Putu Oka Sukanta dan Bonnie Triyana. Berikut ini adalah bahasan Putu Oka Sukanta:

MEMBACA TEKS DAN EFEKNYA.

Saya ingin mengucapkan selamat kepada Bung Suar Suroso atas terbitnya buku ini. Saya belum pernah membaca buku-buku lain yang sudah diterbitkan oleh politisi ini, baik bahasan politik apalagi buku puisinya. Secara pribadi saya belum kenal dengan Bung Suar Suroso.

Karena saya diminta membahas bukunya, maka kenal apa tidak kenal menjadi hal yang kedua. Dari buku yang ditulisnya, pembaca mestinya bisa mengenal apa yang ada di dalam kepala dan hati penulisnya.

Saya selalu menyambut usaha setiap orang untuk menulis dan menerbitkan bukunya, sebab buku yang baik dapat memperluas wawasan berpikir. Sedangkan buku yang buruk (menurut saya) tidak bedanya dengan mengunyah permen karet yang sudah kehabisan gulanya.

Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan untuk membahas sebuah buku. Di antaranya adalah pendekatan sejarah, pendekatan politik, pendekatan estetika maupun pendekatan pasar.

Saya melakukan pendekatan dari keinginan penulis yang disampaikan pada kata pengantarnya. Pertanyaannya apakah keinginan tersebut sampai apa tidak. Dapat dirasakan atau tidak oleh pembaca bukunya.

Dari Kata Pengantar yang ditulis “Jelita Senandung Hidup” bahwa buku ini sebagai nyanyian rohani, dendang sayang, kumandang harapan yang ditujukan kepada Ibunda, tanah air tercinta dan rakyat. Senandung hidup adalah perasaan-perasaan tersiksa dipisah dengan orang-orang yang dicintainya. Rasa tersiksa yang disebabkan oleh ORBA yang membunuh orang-orang di kampung dan mencabut paspor yang di luar negeri, kehilangan kewarganegaraan. Jadi kelayaban di pengasingan.

Silakan merasa-rasakan apakah keinginan tersebut bisa terwakili oleh teks di dalam buku itu.

Nurdiana atau Bung Suar Suroso yang lahir di Padang, melalui kumpulan puisinya menunjukkan adanya pengaruh bentuk sastra tradisional Padang yang kental. Mungkin itu alasan Asahan Aidit dalam kata pengantarnya mengatakan buku ini terdiri dari “irama puisi lama, pengaruh Pujangga Baru”

Kita tidak bisa mengatakan buku ini baik atau buruk tanpa menyepakati terlebih dahulu tolok ukur yang akan digunakan untuk mengukurnya. Oleh karena itu, kita menerima apa adanya, kalau senang dan bergairah membacanya silakan terus membacanya, tetapi kalau membosankan dan tidak mendapatkan sesuatu yang dicari dari padanya, silakan ditinggalkan.

Seni mempunyai beberapa dampak : berdampak hiburan, pendidikan, informasi, pengasah rasa dan pikiran, dan sebagainya.

Seniman sebagai seorang intelektual berkewajiban mengungkapkan hal-hal substansial di belakang fenomena yang dirasakan dan dilihat secara kasat mata. Kalau seni yang hanya mengungkapkan apa yang sudah ada dan diketahui secara umum, maka fungsi seni itu menjadi sekadar pengungkapan ulang yang biasa-biasa saja, boleh jadi sangat klise sifatnya.

Dengan sikap saya seperti ini, saya merasakan dan menemukan banyak pengulangan-pengulangan klise bahkan jargon-jargon masa lalu dalam buku ini.

Terasa kurangnya kemampuan imajiner untuk mengungkapkan perasaan pengarang dan kejelitaan obyek di pihak lain. Saya berpendapat bahwa puisi bukan penggalan-penggalan kata dari sebuah kalimat panjang. Puisi adalah santan dari sebutir kelapa, dari segumpal kehidupan.

Baca puisi Serba Ber-anti-poda (hal. 25)



Tak ada putih tanpa hitam,

tak ada terang tanpa kelam,

tak ada cinta tanpa benci,

tak ada hidup tanpa mati.



Tak ada manis tanpa pahit,

tak ada sehat tanpa sakit,

tak ada badai tanpa tenang,

tak ada damai tanpa perang.



Tak ada senang tanpa susah,

tak ada benar tanpa salah,

tak ada menang tanpa kalah,

tak ada bebas tanpa batas.



Sastra, apakah itu sastra revolusioner, progressif atau sebaliknya membutuhkan kemampuan pengungkapan, antara lain dengan metafora-metafora. Sebab seni itu tidak langsung menyentuh otak, melainkan dari hati ke otak. Dari emosi ke rasio. Oleh karena itu metafora, perumpamaan-perumpamaan, irama dan makna kata menjadi hal penting untuk mendukung isi yang bernas.

Lekra pernah mendorong para seniman untuk memahami apa yang disebut Dua Tinggi. Tinggi mutu ideologi (pikiran, cara pandang, sikap hidup) dan tinggi artistik. Estetika memang tidak selalu universal, saya lebih cendrung mengatakan estetika itu kontekstual.

Saya kira semua seniman paham akan hal ini. Bentuk dan isi, menyatu, dukung mendukung sehingga yang menyentuh hati kita bukan lagi bentuk ekspresi, dan juga hanya isi (misi yang dikandung), tetapi telah tak terpisahkan antara isi dan bentuk. Contoh yang paling dekat adalah Juice buah atau juice sayur.

Lekra juga pernah memperkenalkan kepada senimannya sebuah semboyan : Bentuk lama isi baru. Apakah Jelita Senandung Hidup, menggunakan pendekatan seperti bentuk lama is baru? Boleh dibilang ya, tetapi penggarapannya belum matang. Masih memerlukan pengendapan sampai pada menemukan ungkapan-ungkapan, simbul-simbul baru, metaphor-metafor yang lebih merangsang daya bayang untuk mewakili misi yang mau disampaikan.

Saya ingat dengan puisi Bung Agam Wispi almarhum:



Pita merah dan matahari,

cinta berdarah sampai mati.



Tetapi saya juga ingat dengan seloka sewaktu di sekolah rakyat:



Gendang gendut kecapi

Kenyang perut senang hati.



Saya tutup uraian saya dengan membaca puisi lagi dari kumpulan ini:



Malam di Pengasingan (hal.39).



Menengadah tampak rembulan,

menekur ingat kampung halaman,

terbayang setan bertakhta s’rakah,

membina zaman jahiliyah.



Tanah Airku hal 57,



Untaian Zamrud Khatulistiwa,

pualam kemilau menghias bumi,

bermawar-melati semerbak wangi,

menghias sanggul Ibu Pertiwi.



Bagaikan gadis menghampar badan,

panjang membentang Bukit Barisan,

Singgalang Merapi dan Papandayan,

Menjulang tinggi menggapai awan.



Indah mempesona juita sayang,

sepanjang masa beriklim nyaman,

tiada salju menggigit tulang,

tiada terik memanggang badan



Tanahnya subur alamnya kaya,

rakyatnya giat membanting tulang,

pemudanya perkasa membela Nusa,

berani maju tangkas berjuang.



Aneka suku hidup bersama,

ber-Bhinneka Tunggal Ika,

serba beragam satu jua,

bagai pelangi indah jelita.



Tapi kini …..



Di negeri kaya seindah ini,

semenjak Orba pegang kuasa,

sengsara hidup rakyat jelata,

di Neraka Buatan dan Zaman Edan..





Mao Zedong, hal.68



Belasungkawa Buat Kawan Aidit,

Pejuang Komunisme Internasional. *)

(menurut irama: Bu Suan Zi **) )



Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang,

Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang***),

Sayang wajah girang tak berwaktu panjang,

Malahan gugur menjelang musim semi datang.



Yang akan gugur, gugurlah pasti,

Gerangan haruskah itu mengesalkan hati ?

Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri,

Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi



Untuk penerbitnya: tinta tidak rata sehingga ada furuf-huruf yang hampir tak terbaca.***



Jakarta 29 Mei 2008

Putu Oka Sukanta..





Keterangan:



*) Terjemahan Nurdiana. Dari buku Mao Zedong Shi Ci Quan Ji, Kumpulan Lengkap Sajak-Sajak Mao Zedong, terbitan Cheng Du Chu Ban She, Desember 1995, halaman 310.

**) Di antara sajak-sajak Luo Binwang (640-684?), penyair dinasti Tang, terdapat sajak berjudul Bu Suan Zi. Semenjak itu, sajak bentuk ini, yaitu yang dengan irama dan susunan jumlah aksara 5, 5, 7, 5; 5, 5, 7, 5, disebut berirama Bu Suan Zi.

***) Penyair menggambarkan mekarnya Bunga Mei, Meratia Praecox. Bunga ini, yang berwarna merah muda atau kuning, selalu mekar di puncak musim salju, dalam keadaan pohonnya tak berdaun karena seluruhnya gugur di musim rontok, menjelang musim dingin. Dalam keadaan belum adanya bunga yang mekar, mekarnya Bunga Mei mendahului bunga-bunga lainnya juga menjadi pertanda akan datangnya musim semi.



*****