Turquoise: Pukauan Prosa Laga

wawanekoyulianto.multiply.com, 25 Desember 2007

Resensi Oleh: Wawan Eko Yulianto

Category: Books
Genre: Literature & Fiction
Author: Titon Rahmawan

DI TENGAH-TENGAH sebagian besar prosa Indonesia yang memilih latar Indonesia sendiri, baik masa lalu atau kini, novel Turquoise menjadi sesuatu yang unik: dia berlatarkan kehidupan di negeri bernuansa Arab-Afrika. Jika sebelumnya kita hanya mengenal kisah kepahlawanan dalam bentuk cerita-cerita silat yang sulit ditemui pada prosa Indonesia hari ini, maka Turquoise adalah sebuah penyegaran dan alternatif baru bagi kita: berkisah kepahlawanan dan cinta, berlatarkan kehidupan di masa lalu, di sebuah negeri yang deskripsinya tak jauh-jauh dari Arab atau Turki, pedang dan kuda muncul di berbagai bagian buku, adegan tarung pedang digelar di beberapa bagian. Dua hal ini, setting Arab-Afrika dan persilatan, mungkin akan mengingatkan kita kepada Negeri Senja Seno Gumira Ajidarma. Namun, terlepas dari dua hal itu, kedua novel ini jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Berikut akan digambarkan sejumlah kekhasan Turquoise yang mungkin juga akan bisa menunjukkan perbedaan novel ini dengan Negeri Senja, dengan novel-novel silat yang dulu pernah ada, dan dengan novel-novel Indonesia hari ini.

Dikisahkan, seorang pemuda terlahir dan tinggal bersama orang tuanya sebagai pelayan di rumah besar milik saudagar kaya raya Youssef. Pemuda ini, Husayn namanya, tumbuh menjadi seorang perjaka yang tampan dan mempesona di mata Safira, putri tuan Youssef. Pada akhir masa remajanya, Qadrii, sepupu Safira, anak kepala kampung yang terhormat, juga sahabat Husayn, meminang Safira. Namun Safira yang telanjur menyukai dan mengikat janji dengan Husayn dengan serta-merta menolaknya. Bahkan, kepada ayahnya, Safira memproklamasikan cintanya kepada Husayn, si anak pelayan. Murka, dan kehilangan muka, membuat tuan Youssef mengusir Husayn beserta keluarganya. Safira pun menjadi sasaran kemarahan. Sebuah "wahyu" membimbing Safira menjadi seorang mistikus tabib yang menyerahkan hidupnya di jalan Tuhan. Husayn pun menemukan jalan takdirnya, menjadi penjaga gerbang kota, dan kemudian menjadi tentara pembela kota dari para penyamun padang pasir.

Dengan latar belakang seperti ini, kisah pun berkembang: Safira menemui ajal dan Husayn, yang telah terputus kabar dari Safira, bertumbuh menjadi "Singa Padang Pasir".

Ada beberapa hal yang harus disampaikan tentang Turquoise, yakni:

(1) Turquoise menegaskan kembali bahwa kisah romansa dan kepahlawanan adalah sebuah kombinasi yang selalu pas. Pasti kita ingat kisah romansa Aragorn dan Arwen dalam trilogi Lord of the Ring: seorang pangeran terbuang dan seorang putri raja nan Liv Tyler. Atau kisah William Wallace dan istri yang baru semalam dinikahinya dalam Braveheart. Atau kisah Maximus dan instri serta anaknya dalam Gladiator. Betapa kita selalu tergetar saat mendapati "pahlawan" kita adalah juga seorang manusia yang bisa lembut hatinya, dan bahkan tampak rapuh, di hadapan asmara. Dalam Turquoise, kita yang di awal cerita disodori adegan action antara Husayn sang singa melawan serigala-serigala "peliharaan" sang penyihir hitam keturunan iblis (?), Maqtuf Kharkani. Dan ketika kita dapati Husayn ternyata pernah begitu rapuh saat menghadapi pergolakan cinta, kita pun akan berempati dengan pahlawan kita ini.

(2) Turquoise menunjukkan sebuah vitalitas menulis yang luar biasa. Titon Rahmawan, seorang penulis yang di kalangan sasta cyber telah dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan esais sejak awal 2000-an, menampilkan kejelian dalam menyusun kisah yang berlatar sebuah kota dan sekaligus dia "buatkan" elemen-elemen pembentuknya. Lihatlah, pertama-tama, bagaimana dia memberi wujud fisik kotanya dengan penyajian peta yang membantu kita membayangkan posisi geografis Negeri Allah dan Makarresh serta penggambaran arsitektur kota yang langsung mengingatkan kita pada negeri-negeri Arab atau Turki. Lebih mendalam, dia beberkan penggolongan kelas sosial yang antara lain terdiri dari kaum Rahibi dan Rabani. Kemudian, yang tak bisa lepas, ditampakkan pula betapa Islam telah begitu terinternalisasi dalam kehidupan warga kota, terutama pada diri "pahlawan" kita, meskipun ada juga yang beragama lain seperti misalnya keluarga Safira. Titon juga bisa dengan sama terampilnya menggambarkan adegan action (lihatlah pertarungan Husayn melawan serigala, melawan Zoreth sang penyamun dari oase Turim, melawan si sahir Maftuq Kharkani, dsj.), adegan romansa (lihatlah saat-saat ketika Husayn dan Safira saling memproklamirkan cinta di tepi danau Kalkausar), dan juga adegan persedihan (lihatlah bagaimana Husayn dihumbalangkan lara hati atas pengusiran tuan Youssef, juga nikmati bagaimana Safira yang hancur hatinya sampai tiba pada kesimpulan akan menempuh hidup di jalan Tuhan. Kesabaran Titon untuk mengajak kita larut dalam detik-demi-detik dalam kisah (baik itu saat-saat laga maupun saat-saat hati bicara) adalah sesuatu yang membuat kita patut menghargai Turquoise lebih dari sebuah kisah kepahlawanan biasa.

(3) Turquoise memiliki tabiat yang unik terhadap bahasa. Sebagai sebuah novel yang tidak berlatar di Indonesia, Turquoise benar-benar memperlakukan bahasa Indonesia hanya sebagai pengantar. Meskipun dihantarkan dengan halus, dan pada beberapa bagian bahkan terdengar berpuisi, tampak sekali bahwa sepertinya penulis berpandangan bahwa bahasa Indonesia seolah tidak bisa dengan mudah mengakomodasi makna dari sejumlah hal yang ada di Makarresh. Tampak bertebaran kata-kata bercetak miring di sekujur buku. Ada kalanya, memang, kata-kata itu tercetak miring, hadir dalam bahasa Negeri Allah (Arab?), karena bahasa Indonesia tidak cukup mewakilinya. Yang seperti ini bisa kita lihat pada nama-nama tanaman, semisal al kastanaa, arbutus, lauz, al-misymisy, dsb. Namun, pada banyak bagian lain, seperti misalnya ketika nama-nama binatang harus disinggung, tampak bahwa penulis seolah-olah ingin memberikan nuansa Makarresh (Arab?) kepada pembaca. Nama-nama binatang yang dalam bahasa Indonesia sebenarnya ada, malah disebutkan nama Makarreshnya: alih-alih onta, Turquoise menyebutnya Jamalu, alih-alih serigala, di sini disebut ibnu alwaa. Yang terakhir ini sepertinya agak ambivalen. Di satu sisi memang kita dibawa lebih dekat ke Arab dengan nuansa yang Arab; namun, di lain pihak, tentulah penikmatan kita akan terganggu jika harus mereka-reka (atau melihat catatan kaki) dulu ketika kita dipertemukan dengan kata alkamar dan kaukab serta qahwah dan syaaya, yang sebenanya hanyalah ingin mengatakan planet dan bintang serta kopi dan teh.

Sebagai kisah kepahlawanan sekaligus romansa, Turquoise telah berhasil memberikan keasyikan membaca sekaligus pencerahan. Kita dibikin kerasan dengan teka-teki dan pengharapan akan bagaimana akhir kisah Husayn ini, adegan laganya juga mengasyikkan dan–pada diri saya–berhasil membuat harap-harap cemas dan memberikan kepuasan saat laga benar-benar telah rampung. Kita pun juga diajak merenungi arti persahabatan yang sirna karena cinta, cinta yang musnah karena ketamakan, dan rasio yang kalah oleh amarah (tentang ini Yonathan Rahardjo menyinggungnya pada endorser di sampul belakang Turquoise). Dan satu keasyikan yang hanya ditemui pada buku ini dan buku-buku sejenisnya adalah kita akan diajak merasakan kehidupan di sebuah negara Arab atau bagian benua Afrika pada masa lalu, dengan sejumlah aspek hidupnya: perekonomian, kehidupan sosial, dan arsitekturnya.

Jika kita adalah jenis orang yang selalu tertarik akan hubungan antara cerita dengan latar sosial kita, maka kita pun akan dipaksa mengiyakan bahwa di sini, nilai-nilai universal direnungkan kembali melalui permasalah-permasalahan yang mungkin dihadapi seorang manusia di tempatnya hidup. Dan betapa cinta yang menghanguskan persahabatan, ketamakanan yang memakan cinta, atau rasio yang terhapus oleh emosi, sebenarnya adalah tema yang diulang-ulang dalam sejarah manusia. Sekarang pun, jika kita sempatkan membaca secara lengkap kasus-kasus kriminal atau pembunuhan yang ada di halaman-halaman koran atau di berita kriminal televisi, besar kemungkinannya kita akan temukan modus operandi berikut ini: cemburu, perebutan warisan, terbakar kemarahan, tersulut emosi, dsb. Dan itu pulalah yang menggerakkan kejadian-kejadian penting dalam Turquoise.

Tidak ada komentar: