HUT Ke-4 APSAS [Ep. 2]

HUT Ke-4 APSAS [Ep. 2]

Ditulis oleh Adi Toha jalaindra di/pada Februari 8, 2009

bagian ke 2 dari 3 tulisan.

apsasDari terminal lebak bulus, saya naik metromini no. 20 sesuai petunjuk Kang Yonathan lewat percakapan di Facebook. Turun di Tugu Tani, nyambung lagi naik no.20 yang ke arah TIM. Sampai di TIM, saya bertanya kepada pak Satpam, di manakah PDS HB Jassin. Saya melangkah sesuai yang ditunjukkan oleh pak satpam itu: di belakang planetarium, ada pagar seng, masuk saja. Tampak beberapa anak kecil tengah berkerumun di depan planetarium. Genangan-genangan air sisa hujan (mungkin semalam) terlihat di sepanjang aspal. Dalam jarak beberapa puluh meter, tulisan plang PDS HB Jassin mulai terlihat. Saya tersenyum senang, ini dia tempatnya. Di bawah plang, menempel di pagar seng selembar kertas putih bertuliskan HUT APSAS dengan tanda panah hitam di bawahnya. Saya pun berbelok mengikuti tanda panah itu menyusuri sebuah jalan sempit.

Hanya dalam beberapa langkah, mulai terlihat beberapa orang yang wajahnya sudah saya kenal, meski lewat foto-foto di facebook atau multiply, tengah duduk di atas tangga yang menuju ke sebuah ruangan. Mungkin ruangan itulah yang akan digunakan untuk kegiatan. Saya pun mulai melangkah menaiki tangga. Di ujung tangga atas, terlihat seorang perempuan yang saya ketahui dari foto-fotonya bernama Gita Pratama tengah duduk sambil menghisap rokoknya. Saya pun menyalaminya, kali pertama saya bertemu dengannya, meskipun telah kenal sekian lama di dunia maya. Di sana juga ada Mirza, sang “bayi sehat”, dan beberapa teman dari kemudian.com.

Masuk ke dalam ruangan, ternyata berpuluh orang sudah datang ke tempat acara. Saya melihat Kang Yonathan Rahardjo, Setiyo Bardono, Budhi Setyawan, Mbak Ilenk, Cak Lul, Fitri dan beberapa nama lagi serta beberapa wajah yang tidak saya kenal. Setelah mengisi buku tamu dan mendapatkan plester pengenal yang bertuliskan nama, saya melayangkan pandangan mata panggung acara, terlihat banner bertuliskan “SASTRA MILIK SIAPA?” yang merupakan tema HUT APSAS ke-4 tahun ini. Sambil menunggu acara dimulai, saya duduk di luar ruangan, di tangga atas sambil menyalakan rokok. Satu persatu orang datang menaiki tangga. Ada Febi Indirani, Krishna Pabichara, Bambi Cahyadi, Kef, Ana M, Endah dan beberapa orang lagi.

Acara akan segera dimulai. Orang-orang yang datang mulai memenuhi gelaran karpet berwarna merah, menghadap ke panggung acara. Di depan panggung, Febi Indirani dan Busyet memandu acara. Saya menebarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari wajah-wajah yang saya kenal. Ternyata, tak jauh dari tempat saya duduk, saya melihat mas wartax (Anwar Holid) dan Widzar, yang datang dari Bandung naik kereta pagi. Saya menghampiri mereka dan berucap sapa. Mas Wartax lalu menceritakan perjalanannya, bagaimana dia dan Widzar yang tadinya janjian untuk ketemu di Stasiun Bandung dan berangkat bareng, karena sesuatu hal, justru ketemunya setelah mereka masing-masing turun dari kereta di stasiun Gambir . Meskipun kami bertiga sama-sama dari Bandung, tetapi kami berangkat sendiri-sendiri. Perjalanan dari Jatinangor ke Jakarta lebih mudah ditempuh dengan bus Primajasa Jurusan Garut-Lebak Bulus dari pintu tol Cileunyi dari pada harus naik kereta atau travel.

Acara dimulai dengan perkenalan satu persatu orang yang hadir. Dipandu oleh Febi dan Busyet, masing-masing orang memperkenalkan dirinya. Setelah memperkenalkan diri, seseorang harus menunjuk satu orang lain untuk memperkenalkan diri, begitu seterusnya. Saya ditunjuk oleh Veve, teman di kemudian.com untuk memperkenalkan diri. Dan saya menunjuk MbahYus (Yuswan Taufik) untuk memperkenalkan diri. Perkenalan diri Krishna Pabichara, disekaliankan dengan pembacaan puisi yang cukup panjang olehnya, pembacaan puisi pertama di acara yang cukup membuat mereka-mereka yang datang bertepuk tangan.

Acara demi acara bergulir satu persatu. Ada pidato kenegaraan dari mbak Ochi mewakili moderator Apsas, pidato kenegaraan mbak Ilenk yang dilanjutkan dengan tiup lilin kue ulang tahun Apsas yang ke-4, dilanjutkan dengan potong tumpeng. Ada yang menarik dan bikin heboh, tidak hanya bagi semua pengunjung yang hadir, bahkan bagi jagad sastra Indonesia, di mana APSAS menjadi mediator bertemunya dua kubu Perang Sastra Bumipoetra VS Utan Kayu, dalam satu keakraban potong tumpeng. Ya, Saut Situmorang mewakili Bumipoetra dan Sitok Srengenge mewakili Utan Kayu didaulat oleh panitia untuk potong tumpeng bersama dan saling tukar tumpeng potongannya. Keakraban dua kubu ini tak pelak lagi menjadi sasaran para juru foto dadakan yang akhirnya menemukan momen paling bersejarah di awal tahun 2009, yang bakal menjadi Head Line surat-surat kabar. Bahkan ada celetukan, bahwa keduanya telah bertukar nama. Saut Situmorang menjadi Saut Srengenge dan Sitok Srengenge menjadi Sitok Situmorang!

Acara wawancara dan diskusi dengan pemenang sayembara novel DKJ 2008, mbak Anindita, dengan novelnya yang berjudul Tanah Tabu, dipandu oleh kang Yonathan Rahardjo, yang juga salah satu pemenang sayembara novel DKJ tahun sebelumnya (2007) dengan novelnya yang berjudul Lanang. Kang Yonathan memancing mbak Anin dengan pertanyaan-pertanyaan seputar prestasi penulisan, proses kreatif Tanah Tabu, dan proses kreatif novel-novel mbak Anin secara umum. Ternyata, mbak Anin tidak hanya menulis novel Tanah Tabu, tetapi juga menulis novel remaja dan bahkan buku non-fiksi budidaya Kaktus dan merawat kucing. Ada sesuatu yang bisa dipelajari, bahwa untuk menulis novel, dibutuhkan konsentrasi dan fokus terhadap apa yang akan kita tulis. Jika ingin menulis novel remaja, maka sebelumnya disarankan membaca banyak novel remaja, agar sense remajanya masuk ke dalam novel yang akan kita tulis tersebut. Begitupun jika ingin menulis novel genre lain. Kang Yonathan memeragakan penjelasan mbak Anin tentang pindah-pindah genre dalam proses kreatifnya ini dengan memutar tombol khayal di kepalanya seperti tengah mencari chanel radio. Di jeda acara, dilakukan pembagian doorprize. Saya termasuk yang beruntung mendapatkannya. Hehehe. Lumayan, dapat tambahan koleksi tiga buku. Saya kaget sewaktu nama saya dipanggil untuk menerima doorprize, kebetulan waktu itu, saya sedang ngobrol dengan mas Enda Nasution, tokoh blogger Indonesia, dan meminta sedikit saran darinya untuk pengembangan Bahureksa Blogger Community, sebuah komunitas blogger Pekalongan yang sedang saya gagas. Kebetulan mas Enda duduk di dekat saya, langsung saya sapa dan ajak ngobrol sebelum akhirnya dia dipanggil ke depan untuk menjadi salah satu pembicara.

Semakin acara bergulir, semakin banyak orang yang datang, tidak hanya para Apsasian, juga beberapa sastrawan lain. Di antara mereka, yang bisa saya kenali adalah Sitor Situmorang, Wowok Hesti, Agus Noor, Afrizal Malna, Rachmat Ali, Kurnia Effendi, Endah Sulwesi, Ana Mustamin, Damhuri Muhammad, Joko Sumantri, Dedy TR, Yohanes Sugiyanto, Pakcik, Kirana Kejora dan banyak lagi. Dalam acara HUT APSAS, yang selalu tidak ketinggalan adalah Bung Kelinci dengan rombongan teater dan musiknya. Kali ini BK menampilkan adaptasi novel Lanang dalam bentuk tari teatrikal.

Salah satu rangkaian acara adalah bedah buku “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 2” yang ditulis oleh salah satu moderator Apsas, Sigit Susanto. Diskusi menghadirkan Anwar Holid yang dipandu oleh Sahlul Fuad (cak lul). “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 2” adalah buku catatan perjalanan Sigit Susanto dalam berkunjung ke beberapa negara di Eropa, yang dilengkapi dengan informasi kebudayaan dan kesusastraan di negara-negara yang dikunjunginya tersebut. Anwar mengupas kelebihan dan kekurangan buku tersebut. Menurutnya, selain berisi data-data tentang negara beserta sastrawan di negara yang dikunjunginya, sisi-sisi dramatis perjalanan seorang Sigit Susanto juga dituliskan di sana. Buku tersebut bisa digolongkan sebagai travel-guide, juga bisa sebagai travel literature, genre yang belum banyak digeluti para penulis kita.

Sesi diskusi utama dengan tema “Sastra Internet dan Masa Depan Sastra” menampilkan empat pembicara yakni Saut Situmorang, Nurudin Asyhadie, Hudan Hidayat dan Enda Nasution, dipandu oleh moderator Agus Noor. Enda Nasution mengatakan bahwa internet atau dunia maya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan dunia nyata. Para penghuninya, dalm konteks ini, mereka yang mengoptimalkan blog, forum online, facebook dan lain-lain sebagai media berkarya, adalah individu-individu yang berani, karena ketika mereka menampilkan karyanya di internet, mereka harus siap dengan segala komentar dan diskusi yang muncul. Media online juga memungkinkan kekinian, interaksi dan kesalingterkaitan. Hal inilah yang seharusnya menjadi keunikan dan kekuatan yang tidak dimiliki media cetak. Nurudin mengutip tagline WordPress, salah satu penyedia platform blog, “Code is Poetry” dan penafsiran-penafsiran lain tentang sastra cyber. Mendengar penjelasan Nurudin, terus terang saya tidak mudheng. Satu hal yang saya tangkap, bahwa untuk benar-benar menjadi sastrawan cyber, seseorang harus mengetahui dan mengerti bahasa pemrograman. Doooh.. segitu rumitkah untuk bersastra di dunia maya? Saut Situmorang menggaungkan kembali ajakan untuk melawan dominasi sastra Koran, salah satunya dengan ajakan agar tidak lagi menulis atau berlangganan Koran, terutama kompas dan tempo yang menurutnya kental akan dominasi kelompok sastra tertentu. Saut juga mengatakan bahwa sastra Internet sampai sekarang masih belum diakui keberadaannya. Ia mengingatkan kembali akan tulisan Ahmadun beberapa tahun silam yang mengatakan bahwa sastra internet adalah tong sampah. Hudan Hidayat yang pada pembukaan diskusi tampil energik dengan gerakan striptease-nya mengatakan dengan penuh semangat bahwa Sapardi Djoko Damono adalah pembunuh terbesar sastra Indonesia.

Diskusi berlangsung sebagaimana wajarnya diskusi. Celetukan-celetukan Agus Noor, dan pernyataan-pernyataan Saut yang kadang mengundang tawa, membuat diskusi tidak sunyi. Yang menarik adalah, pernyataan dan pertanyaan dari salah seorang penanya, penyair Suparwan Parikesit yang menyatakan bahwa ia sangat mendukung kelompok-kelompok yang anti-kemapanan, termasuk dalam sastra. “Jangankan kelompok sastra, jika kalian mau mendirikan negara baru pun, saya akan mendukung,” ujarnya menyemangati forum diskusi. Ia juga menuntut Hudan untuk menguraikan dengan lebih jelas, mengapa Hudan mengatakan bahwa Sapardi adalah pembunuh terbesar sastra di Indonesia.

Acara dilanjutkan dengan baca puisi oleh beberapa orang pengisi acara, dilanjutkan dengan pembagian doorprize dan pengumuman pemenang lomba-lomba Apsas. Karena saya tidak mengikuti satu pun lomba-lomba dalam HUT Apsas kali ini, saya memilih keluar dari ruangan, duduk di tangga atas dan merokok. Tak berapa lama, Agus Noor keluar ruangan juga, duduk di beberapa tangga di bawah saya, dan merokok. Saya memberanikan diri untuk menghampirinya, berkenalan dan mengajak ngobrol. Kami ngobrol sebentar tentang proses kreatifnya dan penting tidaknya soal kubu-kubuan dalam bersastra bagi penulis pemula. Agus mengatakan bahwa pada dasarnya, persoalan proses kreatif adalah persoalan soliter. Sebuah komunitas, kadang bisa menjadi candu dalam berproses, ketika sudah merasa nyaman dalam sebuah komunitas, kecenderungan untuk keluar dari itu akan susah, karena ketika keluar, seseorang harus berani dan percaya diri akan dirinya sendiri, dengan segala karya dan proses kreatifnya sendiri. Sebuah karya yang diakui oleh kelompok manapun.

Tak terasa waktu semakin sore. Doorprize-doorprize telah habis dibagikan. Acara demi acara telah selesai ditampilkan. Puisi-puisi telah dibacakan. Acara peringatan HUT Apsas Ke-4 diakhiri dengan foto bersama dengan latar belakang backdrop acara. Satu persatu Apsasian mulai berpamitan pulang. Saya bingung memutuskan apakah langsung pulang ke Jatinangor sore itu juga, ataukah menginap dulu di tempat seseorang dan ikut acara keesokan harinya, ziarah ke makam Chairil dan Pram. Kebetulan Om Yo menawarkan diri agar saya menginap di rumahnya. Namun, setelah acara makan-makan bareng panitia di warung Alex, saya memutuskan untuk menginap di rumahnya Cak Lul saja. Paginya, saya yang membonceng Cak Lul, langsung ke pemakaman Karet Bivak.

http://jalaindra.wordpress.com/2009/02/08/hut-ke-4-apsas-ep-2/

Tidak ada komentar: