KEBUN PISANGNYA YONATHAN RAHARDJO

KEBUN PISANGNYA YONATHAN RAHARDJO

oleh: Asahan Aidit

Dalam cerpen Yonathan ini saya seperti bertemu dengan Gabriel Garcia Marquez. Realisme magis. Hanya saja realismenya Yonathan tidak sejelas realismenya Marquez. Yonathan melapisi realismenya dengan romantisme yang itu juga ada pada Marquez hanya saja pada Yonathan terasa seperti bernyanyi-nyanyi dengan kata-kata yang juga sebetulnya adalah prosa berirama yang sangat digemari pernulis-penulis muda moderen Indonesia. Sedangkan elemen magisme pada cerpen Yonathan yang sekarang ini, cepat mengingatkan elemen magisme Marquez. Saya anggap Yonathan cukup berhasil membangun ceritanya dengan tema dari secuil sejarah masa silam yang masih dekat ini. Di kebon pisangnya Yonathan ini, kita diingatkan kembali pada cerpen Martin Aleida: "Mangku mencari doa di daratan jauh": soal dendam sejarah. Hanya saja pada Martin, sikap anti dendam itu lebih jelas dan dia tegas berdiri di belakang Putu Oka Sukanta sebagai bapak anti dendam sejarah, melalui Mangku-nya. Tapi Yonathan masih ragu, malah masih bilaaaang pemutar balikan atas reaksinya terhadap malaikat penjaga kubur dan mengatakan: "Ah, betulkah ini. Pemutarbalikan fakta macam apa lagi ini ? "Tapi di ahir ceritanya, Yonathan memastikan keraguannya: "Aku tidak tahu harus bertindak mengikuti siapa. Mengikuti orang tua kandungku yang dikubur secara kejam di bawah kebun pisang, ataukah mengikuti bapak,perwira tentara orang tua angkatku" yaitu antara meneruskan dendam dengan mengikuti "bidadari"cantik anti dendam tapi yang sudah tidak bernyawa terkubur dalam tanah, menurut tafsiran orang tua angkatnya. Setidaknya keraguan Yonathan telah turut ikut meruntuhkan misi besar Putu Oka Sukanta yang anti dendam sejarah. Bahkan Soeprijadi Tomodihardjo dalam cerpennya: "Fir dan "Sis", juga di ahir ceritanya menulis: "Sisbandi, ah Sisbandi! Mengapa kau jadi begini? Kita semua kaum terhina, korban kebiadaban. Engkau boleh lupa segala.Tapi Suharto...". Cerita tamat. Bahkan pada seorang kawan yang sudah menderita demensi berat, Soeprijadi masih menuntut jangan sampai lupa kebiadaban Suharto. Dua menguak Putu dan mungkin masih ada yang lain dalam satu kumpulan TITIAN ini.

Masaalah dendam sejarah dalam sastra maupun dalam cabang-cabang seni lainnya, akan mempengaruhi sangat dalam pada orang-orang yang terlibat di bidang ini. Sastra memperhalus tujuannya melalui seni dan bisa menyentuh dalam ke hati sanubari manusia. Sedangkan media lainnya seperi berita koran, majalah, siaran radio , TV, dan media lainnya meskipun lebih mudah dipahami dan dan cepat dimengerti pesan langsung maupun tak langsungnya, tapi tak akan sedalam seperti yang dikesankan oleh sastra melalui seninya. Dalam RBKP (Revolusi Kebudayaan di Tiongkok masa lalu) kita tahu, semua buku-buku atau tulisan sastra yang dianggap reaksioner, adalah menjadi sasaran tombak yang paling tajam dengan kampanye pengganyangan besar-besaran. Jadi kita tahu pengaruh seni sastra bisa luar biasa besarnya.
Apa sesungguhnya pengertian orang-orang tentang dendam sejarah? Sungguh ironis, musuh atau Suharto, lebih mengerti apa itu dendam sejarah dari pada korban-korban terornya sendiri. Kalau Suharto dan kelompok perwira militernya melampiaskan dendam sejarahnya dengan menghabisi secara total, habis-habisan, tanpa ampun musuh-musuhnya (PKI) tapi kemudian sebagian kecil musuh-musuh korbannya yang masih hidup, menjawabnya dengan "Lupakan masa lalu, mari melihat ke depan"atau pengakuan-pengakuan yang dianggap berbudi luhur seperti: "Saya tidak punya beban, saya tidak punya dendam" yang pengkuan demikian datang dari yang bahkan di antaranya yang mempunyai "sertifikat" 13 tahun buangan pulau Buru atau dari penjara-penjara siksaan lainnya.
Orang Vienam bisa menang perang melawan Amerika karena sebuah dendam yang teramat sederhana, mereka bilang: :Kami dendam terhadap Imperialis Amerika yang telah dan sedang membunuhi kami, karena tanpa dendam kami tidak akan bisa menang meskipun punya senjata moderen dan dibantu oleh seluruh dunia".Dan mereka telah menang.

Tanpa dendam , Suharto tidak mungkin berhasil membunuhi tiga juta manusia. Suharto tidak punya ideologi karena untuk punya sebuah ideologi mungkin dia tidak cukup pintar . Tapi kalau dendam bisa dianggap sebuah ideologi, maka ideologi dendam itulah satu-satunya yang dipunyai Suharto dan dia menang. Tapi orang naif dan kaum oportunis bisa menukar atau memperjual belikan dendam untuk satu keuntungan mereka sendiri.

"Kampung kebun Pisang" nya Yonathan Rahardjo adalah tumpukan dendam yang ingin dijinakkan orang tua angkatnya yang membunuh generasi ayah kandungnya (dalam cerita) dengan menciptakan bidadari mati sebagai tumbal anti dendam. Apakah bidadari yang tidak bernyawa yang kecantikannya sepuluh kali lebih cantik dari manusia cantik yang hidup, yang menjadi idolanya Martin Aleida dan Putu Oka Sukanta yang dengan segenap bakat sastranya yang ada dikerahkan untuk bikin banyak film, bikin buku, bikin antologi untuk menghidupkan bidadari mati anti dendamnya di tengah rakyat Indonesia?. Saya kira Nobel sastra yang diimpikan Putu Oka Sukanta, lebih cocok diganhti sebagai peraih Nobel perdamaian yang gagal diterima SBY beberapa tahun lalu. Bukanlah kebetulan kalau Guthe Institut telah menjadikan Putu sebagai langganan besarnya yang namanya sudah lekat mati di komputer. Ia hanya memerlukan merekrut sebanyak-banyaknya teman seideologi dengannya. Sponsor menjamin segala-galanya. Masaalah yang tinggal apakah itu akan berhasil atau tidak.
BISAI.

Tidak ada komentar: